seorang sahabat hanya datang satu kali dan tak akan pernah meninggalkanmu |
Kata
orang, seribu teman bisa datang lalu pergi, namun seorang sahabat hanya datang
satu kali dan tak akan pernah meninggalkanmu. Dulu, aku ragu bisa memiliki seseorang
seperti itu. Tak pernah optimis bahwa kata-kata bijak tentang sahabat yang
pernah kudengar adalah benar, sampai aku menemukannya sendiri di awal-awal masa
remajaku. Al, orang yang aku yakini diutus takdir untuk menunjukkan padaku apa
dan bagaimana seharusnya persahabatan itu. Al, sahabat yang aku pikir akan jadi
teman sejatiku hingga tua nanti. Seiring waktu kami menjadi karib erat.
Ketika
remaja, kami sering membayangkan jika suatu hari kelak akan duduk bersama di
kursi panjang sebuah taman dengan jaket wol tua beraroma menthol, sambil memerhatikan cucu-cucu kami bermain kejar-kejaran
satu sama lain.
Sekarang,
saat aku tengah tergesa-gesa mengentakkan sepatuku di lorong serba putih ini,
aku teringat kembali ucapannya suatu ketika dulu padaku.
‘Kita akan tua sama-sama, Jun. Kita akan
melihat anak-anak kita berumah tangga. Kita akan menceritakan pada cucu-cucu
kita kelak, seperti apa persahabatan kakek mereka. Akan kita tuturkan lagu
persahabatan yang pernah kita dendangkan .…’
Aku
tak ingin percaya ketika kabar itu sampai padaku. Bahkan aku sempat tertawa
ketika adiknya memberitahuku lewat sambungan telepon, ‘Mas Al dipukuli orang ....’ Bagaimana mungkin ada orang yang tega
mencelakakan sahabatku yang baik? Namun begitulah kenyataannya. Sahabatku jadi
korban penganiayaan.
Sepanjang
perjalananku menuju kemari, kukutuk habis-habisan bedebah-bedebah yang telah
menyebabkan kesakitan atas diri Al. Dia tak pernah punya musuh. Aku sangat tahu
seperti apa sahabatku itu. Hanya bedebah yang sanggup menyakiti orang sebaik
Al.
Langkahku
kian berderap, dibarengi kenangan bersamanya yang berkelebat satu-persatu,
seperti kaset video yang diputar terus dan terus di kepalaku. Betapa tak
tergantikan waktu yang telah kuhabiskan dengannya. Bermacam keisengan dan
kenakalan masa remaja sudah pernah kulakonkan dengan Al. Menggoda gadis-gadis
ber-rok mini di mall. Menggombali
cewek-cewek di kelas. Mencoret gravity
di tembok gedung terbengkalai di belakang sekolah. Pesta petasan di depan rumah
Kepsek saat malam pergantian tahun. Mengganggu anjing tetangganya hingga
menyalak ribut saat malam buta. Hingga nyaris berhasil diseret ke kantor polisi
ketika nekat ikut balapan liar untuk pertama kalinya jika saja dia tak cepat
membawaku kabur dari sana. Aku juga masih punya gambaran ketika kami menghabiskan
malam kelulusan SMA dengan gitar dan rokok hingga subuh di balkon kamarku. Pun masih
tak lupa, dulu kami acap kali melewati waktu sore dengan cangkir mengepul dan
sepiring penuh kentang goreng renyah di kafé favorit, sementara lagu kesukaan
kami mengalun dari pemutar musik ponselnya.
Sekarang,
rasanya seperti semua itu baru saja kualami. Kebersamaan itu masih segar di
kenanganku, begitu segarnya bagai baru terjadi kemarin.
Mataku mulai mengabut ketika entah dari
mana lagu itu terdengar sayup.
Ingatkanku
semua wahai sahabat, kita untuk slamanya wahai sahabat, kita bagai cerita wahai
sahabat…
Aku
menoleh ke belakang disela derap langkahku. Suara itu seperti mengekor di
belakangku. Entah berasal dari mana. Rasanya seperti menyeruak keluar dari
memoriku sendiri. Hanya saja, ini terlalu nyata. Lagu yang sering
kusenandungkan bersama Al. Lagu yang telah memberi warna bagiku dan baginya
selama bertahun persahabatan kami, kini sedang mengiringi langkahku menuju
pintu ruang operasi yang tinggal belasan meter di depanku. Mataku kian
berkabut. Aku mulai berlari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar