Selamat tinggal, Juliet... |
Cinta adalah sesuatu yang agung
Sesuatu yang indah hingga membuat
takjub
Ia membahagiakan
Ia menggembirakan
Ia mencerahkan
Ia menyemarakkan
Ketika cinta mulai menyengsarakan
maka lepaskanlah
Lepaskanlah…
*
“Sayang, nanti kamu pakai
baju yang cakepan dikit ya! Pasti di party-nya
Nola yang hadir anak-anak kelas atas semua. Jadi, kamu harus menyesuaikan.
Jangan nanti aku udah dandan cantik-cantik, eh kamunya malah gak ngimbangin,
kan gak lucu…”
Masih terngiang kalimat
Juliet, pacarku hampir satu tahun ini saat tadi siang meneleponku untuk ke
sekian kali mengingatkan agar aku tidak terlewat menemaninya ke pesta ultah
Nola temannya, sekaligus mewanti-wanti penampilanku. Ini bukan kali pertama
Juliet bersikap demikian. Seingatku hampir tiap kali ada pesta temannya aku
harus menghadapi setuasi seperti ini. Mungkin karena terlanjur cinta, aku tak
pernah merasa salah dengan keiinginannya. Toh itu juga demi kebaikanku sendiri,
aku ingin menjadi pacar membanggakan buatnya.
Aku berdiri di depan
cermin, memandang pantulan diriku sendiri di sana, meneliti apakah masih ada
cela yang bisa membuat Juliet uring-uringan seperti bila kukunya patah jika
mendapati penampilanku tidak sesuai harapannya. Kurasa sudah cukup pantas,
kemeja dan jeans yang sengaja kubeli
untuk momen ini sudah membalut badanku dengan begitu pasnya, meski aku tak suka
warna kemejaku. Marun adalah warna Juliet.
Aku menyambar kunci motor,
berikut helmku. Tak berapa lama, aku sudah berbaur bersama kendaraan lainnya,
membelah kepadatan jalanan ibukota. Aku menyalip sebisaku, membunyikan klakson
berkali-kali dan merutuk pengendara yang balas menyalipku.
Juliet sudah berjanji pada
Nola akan ikut membantu mempersiapkan pestanya, aku dan Juliet sudah harus
sampai di sana sebelum petang turun. Aku salut dengan solidaritas pacarku
kepada sahabatnya.
Aku mengumpat sendiri
begitu motorku harus benar-benar berhenti. Sial, jalanan petang ini benar-benar
menguji kesabaran. Antriannya meng-gerbong, tampaknya seluruh kendaraan yang
ada di Jakarta sedang dikemudikan oleh semua pemiliknya, lalu lintas bagai
merayap saja. Aku mulai mengeluh, cemas. Kulirik jamku, jelas sudah aku akan
terlambat sampai di rumah Juliet.
Ponselku berdering.
Panggilan masuk dari Juliet. “Iya, Sayang… aku hampir sampai nih.” Nyatanya,
aku tidak akan sampai secepat kata ‘hampir’ yang kusuarakan untuknya.
“Buruan, aku gak mau
telat. Udah ditungguin dari tadi juga gak sampai-sampai kamunya. Kebiasaan
deh!”
“Kan aku udah bilang ada
kuliah sore…”
Kudengar Juliet berdecak,
dia sedang kesal. “Cepetan, ini udah sangat telat dari yang kujanjikan sama
Nola!”
Klik
Sambungan terputus.
Aku menarik napas panjang.
Sudah dapat kupastikan bagaimana reaksi Juliet nantinya ketika aku tiba. Pasti
aku akan dicerca habis-habisan. Juliet tidak bisa menolerir sedikitpun
kesalahan meskipun itu tidak niat kulakukan. Tak jarang, sedikit salah bisa
menjadi fatal dalam pandangannya. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering muncul
antara aku dan dia, tapi sejauh ini kami selalu bisa akur lagi dan mesra
kembali. Aku sangat menyayanginya, dia cinta pertamaku.
Juliet tipe cewek
perfeksionis yang menginginkan semua sempurna dalam penglihatannya. Dia ingin
aku sempurna sebagai kekasihnya, demi untuk membuatnya bangga memilikiku aku
akan selalu berusaha untuk jadi seperti yang dia ingini. Walaupun kadang tak
sesuai dengan mauku. Namun demikianlah lumrah cinta. Cinta harus rela
berkorban, begitu selalu aku berfikir bila Juliet mulai mendikte ini dan itu.
Seperti yang kusangka
sebelumnya, aku benar-benar terlambat, sangat terlambat. Gelap sudah turun
sempurna begitu aku mematikan mesin motor di halaman rumah Juliet. Pacarku,
yang selalu cantik sudah menungguku di beranda rumahnya yang megah. Dia
menatapku dengan tatapan tajam, wajahnya benar-benar keruh.
Aku melangkah menghampiri,
berusaha untuk tidak memperdulikan raut marahnya itu. “Sudah siap, Princess?
Ayo kita pergi…” ujarku lembut sambil memberinya seulas senyum. Berharap dapat
melunturkan marahnya.
“Kamu tau kan, Nola itu
temen dekatku?” Juliet tidak merepon ajakanku, dia berdiri kaku tak beranjak
sedikitpun dengan tangan terlipat di dada.
“He eh. Aku tahu, Beib…”
jawabku.
“Dan aku terlambat datang
ke pestanya gara-gara punya pacar yang gak bisa diharapkan kayak kamu,
Rayhan!!!” Juliet berteriak.
Aku menelan ludah
mendengar ucapannya. Kali ini dia benar-benar mengamuk. Belum pernah aku
melihat dia semarah ini padaku. “Jul, aku minta maaf. Aku udah berusaha pulang
cepat dari kampus, tapi tadi jalanan benar-benar macet.” Aku masih berusaha
lembut.
“Katakan alasan sialan itu
pada orang bodoh lain, tidak padaku!” dia mengibaskan tangannya, “Aku selalu
kecewa bila berharap sama kamu. Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi
pacar terbaik.”
Rasanya bagai dipukul
godam. Aku terhenyak mendengar perkataan Juliet. ‘Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi pacar terbaik…’ Jadi
selama hampir satu tahun ini aku belum pernah menjadi yang terbaik buatnya?
Segala yang dia mau selalu berusaha kuturuti. Apakah semua pengorbananku tak
pernah terlihat olehnya selama ini?
Aku menahan amarahku yang
siap tersulut karena kalimatnya tadi. Dengan ramah kembali kubujuk dia.
“Daripada kita ribut-ribut gak jelas di sini, baiknya kita langsung ke tempat
Nola, ini belum terlambat untuk ikut pesta. Dia pasti akan mengerti kenapa kita
gak bisa ngebantu mempersiapkan harinya…”
“Aku gak punya muka lagi
untuk datang ke sana, semua karena kamu!” Juliet membalikkan badan dan bergegas
masuk ke dalam.
Aku berusaha menyambar
pergelangannya, tapi ditepisnya dengan kasar. Pintu terbanting demikian
kerasnya tepat di depan hidungku. Beberapa saat lamanya aku termangu di depan
rumah Juliet. Mencerna apa yang baru saja terjadi. Walaupun sudah dapat menerka
bahwa dia akan marah, tapi sama sekali aku tidak menyangka reaksi Juliet bakal
separah ini. Yang membuatku hilang semangat adalah perkataannya yang mengatakan
aku belum dapat menjadi pacar terbaik baginya, lalu apa arti cinta dan kasih
tulus yang kucurahkan untuknya selama ini?
Aku berjalan gontai menuju
motorku, menyalakan mesinnya lalu keluar dari pekarangan rumah Juliet.
Perasaanku kacau, tak menentu, kalimat Juliet memenuhi indera dengarku
sepanjang jalan pulang. Kuakui aku memang salah karena terlambat, walau
menurutku tidak terlalu terlambat untuk hadir di pesta hari jadi seseorang,
bahkan pestanya mungkin belum pun dimulai. Yang membuatku tampak begitu salah
di mata Juliet adalah karena dia tak bisa datang lebih cepat untuk membantu
sahabatnya itu. Meski aku salah, Juliet tak sepatutnya meluapkan kemarahannya seperti
tadi kepadaku. Dia berhak marah, tapi seharusnya dia menerima ajakanku untuk
segera pergi ke tempat temannya. Aku sudah berusaha lembut dan mengesampingkan
kesalku karena ucapannya.
Ah, mungkin esok Juliet
akan mesra kembali, seperti kebiasaan selama ini. Kami tak pernah benar-benar berperang.
Aku menghibur diriku.
*
Tiba di rumah, aku menuju
kamar. Kuhabiskan beberapa saat lamanya dengan berdiri termenung menatap langit
malam dari balik jendelaku. Memoriku bersama Juliet berputar-putar di kepala.
Aku jatuh cinta pertama kali padanya ketika sama-sama menjalani masa orientasi
kampus. Pesona Juliet yang menyihirku masih terasa hingga saat ini, tak bisa
kulupa. Cerita bersama Juliet bergulir semuanya di kepalaku. Saat aku
menyatakan cinta padanya di bawah hujan di halaman kampus, saat aku dan dia
kerap makan semangkuk bakso berdua di kafetaria, saat bercengkerama di kursi
taman, saat kami berlarian di bawah gerimis seperti anak kecil. Semua saat-saat
indah bersama Juliet menjajah pikiranku.
Lalu pertengkaran-pertengkaran
kecil antara aku dan Juliet bertandang kemudian. Teringat olehku
kemarahan-kemarahan Juliet yang seringnya disebabkan hal sepele atau kesalahan
kecil yang tak niat kulakukan. Teringat bagaimana Juliet mencak-mencak ketika
tahu aku bergabung dengan beberapa mahasiswa untuk menggalang sumbangan bagi
korban banjir dengan berdiri di persimpangan-persimpangan, kemarahan Juliet
ketika aku menjemputnya di salon dengan keadaan dekil karena baru siap baksos,
kemarahan Juliet ketika aku tak bisa berbaur di acara-acara temannya, kemarahan
Juliet ketika aku kerap tampil sederhana di sampingnya yang begitu wah,
kemarahan Juliet karena aku terlambat dari waktu yang diharapkannya. Semua itu
bagai diputar ulang dalam kepalaku.
*
Sudah lima hari sejak
kejadian dimana Juliet marah besar padaku gara-gara terlambat menjemputnya ke
pesta Nola. Selama itu pula dia tak pernah menghubungiku. Teleponku tak sekali
pun dijawab, SMS-ku tak satu pun yang berbalas. Aku mencari-carinya di kampus
setiap hari namun tak pernah bertemu, beberapa kali ke rumahnya tapi pembantu
di sana selalu bilang kalau Juliet sudah keluar atau belum pulang atau baru
saja dijemput temannya, tapi aku tahu itu semua adalah alasan Juliet untuk
tidak menemuiku, dia menyuruh pembantunya mengatakan alasan-alasan itu padaku.
Lima hari tanpa
melihatnya, lima hari tanpa mendengar suaranya. Cukup lima hari saja, rindu
sudah menikamku sedemikian dahsyatnya.
*
“Marahan lagi, Ray?”
Akmal, teman kentalku di
kampus bertanya ketika kami sedang makan di kantin. Aku tidak bersemangat sejak
masuk kantin, tadinya ingin menolak saja ajakan Akmal tapi aku tak mau suasana
hatiku yang sedang kacau berimbas pada sahabat baikku ini, aku tak harus
mengacuhkan Akmal hanya karena sedang punya masalah dengan pacarku.
“Ray… kalian marahan
lagi?” Akmal kembali mengulang pertanyaannya ketika menunggu lama aku tak
merespon.
Aku mengangguk.
“Gara-garanya?” dia
bertanya lagi di sela-sela kunyahan bakso dalam mulutnya.
“Telat jemput dia ke pesta
ultah temennya…” jawabku tak bersemangat.
Akmal menelan kunyahannya,
meneguk setengah isi gelasnya lalu melipat tangan di meja dan menatapku.
Aku mengernyit
memandangnya yang tampak begitu serius saat ini.
“Rayhan, ini minta maaf ya
jika kamu kesinggung, tapi sebagai temanmu aku merasa berkewajiban bicara
seperti ini…”
“Gak usah berbelit, bicara
saja…”
Akmal menarik napas, “Ray,
satu kali dulu aku pernah bilang kalau Juliet bukan cewek yang tepat buatmu…”
Aku langsung memandang
tajam pada Akmal, “Aku gak mau dengar omong kosong begini lagi!” cetusku
sengit.
“Aku gak minta kamu untuk
mendengar omong kosongku, tapi aku mau kamu untuk mikir pakai otakmu, nilai
pakai hatimu sendiri.”
Aku mendengus.
Akmal tak peduli
kekesalanku karena ucapannya, dia terus buka mulut. “Sekarang sudah saatnya
kamu bangun, Ray. Buka matamu, lihat kenyataan bahwa selama ini kamu bukan
dianggap sebagai pacar oleh Juliet, dia tak pernah memandangmu se-istimewa
itu…”
“Kamu gak tahu apa-apa,”
potongku masih sambil menatap tajam pada Akmal.
“Kamu gak pernah
benar-benar jadi kekasih di matanya, Juliet memandangmu sebagai robot yang bisa
diperintahnya, yang bisa dikendalikan dengan begitu mudah olehnya, yang
remote-nya ada dalam tangannya. Selama ini kamu dianggap tak lebih sebagai benda
yang bisa digerakkan kemanapun dia mau…”
“Aku gak mau dengar…!”
kataku beringas.
Tapi Akmal tak peduli, dia
terus menyambung kalimat demi kalimatnya yang menohokku. “Kamu harus begini,
kamu gak boleh begitu, kamu harus kemari, kamu gak boleh kesana, kamu wajib seperti
ini, kamu gak boleh seperti itu. Apa dia pernah menempatkan kepentinganmu
sekali saja sebagai pertimbangan?” Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan
menggeleng mantap, “Karena kamu robot, jadi dianggapnya tak punya perasaan dan
kebutuhan.”
Aku diam.
“Bukan aku
menjelek-jelekkan dia, Ray. Namun aku berusaha obyektif, karena sebagai sahabat
aku gak ingin kamu tenggelam dalam cinta buta dan masa bodoh dengan kenyataan
yang terpampang di depan mata.” Akmal meneguk habis isi gelasnya, ngomong
panjang lebar ternyata membuat mulutnya kering. “Okey dia cantik, semua cowok
yang matanya masih bagus tak akan berucap jelek untuknya. Tapi cantik paras
saja tak cukup dijadikan standar kekasih buat cowok baik kayak kamu, Ray…”
Sadar atau tidak, Akmal
baru saja memujiku.
“Kamu butuh gadis yang
tidak hanya cantik rupa, tapi cantik sifat dan kelakuan, cantik hatinya…”
“Tapi aku tulus menyayangi
dia, Mal… dengan sepenuh hatiku,” ujarku lirih.
“Itulah masalahmu, kawan… kamu
tulus memberikan cinta dan sayangmu seratus persen buatnya hingga jadi buta
mata dan buta hati. Apa kamu yakin Juliet juga membalas cinta dan sayangmu
dengan kadar yang sama?” kembali Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan
gelengan mantap. “Lihat pada pertengkaran-pertengkaran kalian, lihat
kemarahan-kemarahannya yang beberapa tak cukup beralasan, lihat bagaimana
Juliet mendikte hidupmu. Aku percaya, sedikit, dalam hatimu pasti kamu merasa
tak nyaman hidupmu diatur-atur seperti itu, tapi kamu memilih mengabaikan
ketidaknyamananmu dikarenakan cinta butamu padanya, Ray.”
Aku memandang Akmal lebih
lekat, selama beteman dia tak pernah berbicara seserius ini, kalimat-kalimatnya
adalah kesungguhan, aku benci mengakui bahwa ucapan-ucapannya adalah kebenaran
tak terelakkan. Aku disaput bimbang.
“Sejelita dan sesempurna
bagaimanapun rupa seorang cewek, tak ada artinya bila dia tidak mencintai apa
adanya diri kita. Sebuah hubungan adalah bualan belaka bila mereka tidak
mencintai kekurangan kita… begitu juga sebaliknya.”
Sepertinya Akmal sudah
selesai, dia menarik lagi mangkuk baksonya lalu berseru memesan minum tambahan
pada pelayan kantin.
Aku masih membisu, mangkuk
di depanku masih utuh.
“Maaf jika aku terkesan
kurang ajar barusan…” ternyata dia belum selesai. “Tapi aku harap kamu bisa
memikirkannya lagi. Tanya dirimu, apa yang diinginkan hatimu saat ini dari
sebuah hubungan, apa yang kamu mau. Apa kamu mau terus didikte Juliet dan
mengabaikan terus-terusan rasa tak nyamanmu, atau melepaskannya dan hidup
seperti apa-adanya dirimu…” Akmal mulai menyendok, sepertinya kali ini dia
benar-benar telah mengkhatamkan ceramahnya.
Aku masih diam membisu, mencoba
mencerna muntahan petuah Akmal yang berjejalan masuk sulkus otakku. Semakin aku
mencerna dan mengurai petuah Akmal, semakin aku sadar bahwa Akmal tidak membual
kosong. Selama ini aku memang selalu menuruti kehendak Juliet tanpa memperdulikan
apa kemauanku sendiri. Apapun tentang diriku kuanggap tak penting lagi bila itu
sudah menyangkut Juliet. Perihnya, setelah sekian banyak pengorbananku tetap di
mata Juliet aku belumlah sempurna sebagai kekasihnya. Aku tidak bisa menjadi
pacar terbaik, begitu katanya.
Kutatap Akmal yang sedang
bertarung dengan isi mangkuknya, dia juga berstatus sebagai kekasih. Setahuku
dia belum pernah punya satu pun kasus pertengkaran dengan Ifada, pacarnya. Apa
bagi Ifada sosok Akmal sudah menjadi kekasih terbaik? Aku yakin jawabannya IYA.
Akmal tak pernah mengutarakan satu saja keluhannya tentang Ifada padaku,
selalunya dia akan menjawab dengan begitu mantapnya tiap kali aku bertanya
bagaimana hubungannya dengan Ifada, ‘Aku masih jadi satu-satunya cowok terbaik
di hatinya…’ demikian Akmal sering menjawab tiap kali aku bertanya dengan niat sekadar
basa-basi setelah menumpahkan masalahku dan Juliet padanya, banyak kali sebelum
ini.
“Mal…”
“Ya.” Akmal menyahut tanpa
mengalihkan perhatiannya dari mangkuk bakso.
“Bagaimana hubunganmu
sendiri dengan Ifada?”
“Kamu sudah tahu
jawabannya…”
Aku tersenyum. Pencerahan
datang kepadaku seketika itu. Lantas aku bangun dari kursi, kutepuk bahu Akmal.
“Trims, buddy… sekalinya ini kamu
ngomong panjang banget…”
Akmal tercenung, “Mau
kemana? Ini baksomu masih utuh.”
“Ada sesuatu yang harus
kulepaskan,” jawabku mantap, lalu mulai beranjak. Sempat kutatap senyum di
wajah Akmal.
“TENANG SAJA, KAMU GAK
AKAN JADI JOMBLO UNTUK WAKTU YANG LAMA! IFADA PUNYA CALON YANG TEPAT
UNTUKMU…!!!”
Sialan, Akmal sukses
mencuri perhatian seluruh pengunjung kantin dengan teriakannya. Aku kaku di
pintu keluar, melotot besar pada karibku yang cengengesan tak tahu malu di
mejanya. Bangsat, kini perhatian pengunjung kantin ganti tertuju padaku, dengan
muka merah aku bergegas meninggalkan tatapan-tatapan aneh menyelidik itu.
*
Kini aku di sini, di depan
pintu rumah Juliet. Meski si pembantu berkali-kali menegaskan kalau anak
majikannya sedang tidak berada di rumah, aku tak peduli. Masih tetap ngotot
berada di depan pintu. Aku tahu dan yakin Juliet ada di dalam sana.
“Sampaikan pada Juliet, saya
gak akan pulang sebelum bicara! Saya akan nunggu di sini sampai dia keluar!”
kataku agak kasar di muka pembantunya. Aku duduk di kursi teras sementara si
pembantu langsung nyelonong masuk setelah kuteriakin.
Aku mulai panas sendiri,
sudah setengah jam duduk hingga pantatku rasanya bagai tercucuk paku, tapi
tidak satu orangpun yang membuka pintu lagi. Juliet benar-benar kukuh menguji
kesabaranku. Kulirik jam, dan kuputuskan aku akan terus menunggu.
Hampir setengah jam lagi
aku menunggu, pintu itu baru terbuka. Juliet menampakkan diri dengan raut
dingin tak bersahabat.
“Kesalahan kamu kali ini
sulit untuk dimaafkan, Ray.” Juliet buka suara, dia bersandar di bingkai pintu
bersidekap tangan ke dada. Pandangannya sama seperti malam saat aku datang
terlambat, pandangan kesal dan marah. Namun dia tidak menatapku langsung, dia
menatap melewati pundakku.
Aku tersenyum simpul,
“Kamu salah, Juliet… perkiraanmu jika aku kemari untuk minta maaf adalah tidak
benar.” Aku menghela napas, “Kemarin-kemarin saat mencarimu mungkin benar bahwa
aku datang untuk memelas mengemis maafmu, tapi sekarang tidak lagi…”
Kali ini Juliet fokus
menatapku, bukan lagi ruang kosong di atas bahuku. “Apa maksudmu?”
“Aku lelah.”
Simpul itu sudah mulai
kubuka, siap untuk kulepaskan diawali satu kata, LELAH. Aku sadar kalau hati
dan jiwaku memang sudah merasa lelah.
Juliet tak merespon.
“Aku lelah selalu berusaha
untuk jadi sempurna dalam pandanganmu yang tak pernah memandangku sempurna. Aku
lelah selalu berusaha benar menurut penglihatanmu yang tak pernah benar-benar
melihatku. Aku lelah selalu berusaha menuruti keinginanmu yang kadang tak
sesuai dengan inginku sendiri. Aku lelah selalu menjadi bukan diriku yang
sebenarnya ketika berada di sampingmu, dan semua itu tak pernah cukup berarti
di matamu…”
Juliet kian tajam
menatapku.
“Aku lelah menjadi
bonekamu, Juliet…”
“Lalu apa maumu sekarang?”
Ya Tuhan, bahkan nada suaranya
jauh dari kesan terkejut. Seakan kalimatku baru saja tidaklah penting baginya,
seakan ucapku hanyalah angin lalu yang tak perlu dipikirkan, yang tak perlu
diambil tahu.
“Aku sadar sekarang…
untukmu aku tak mungkin bisa jadi sesempurna pangeran. Aku tak bisa menjadi
selayaknya Rama buatmu yang indah seperti Sinta. Aku tak mungkin bisa jadi
Romeo bagimu, Juliet… meski aku terus berusaha hingga kaki ke atas kepala ke
bawah, aku tak bisa jadi Romeo seperti harapmu.” Aku menelan ludah, cukup berat
bagiku untuk berucap seperti ini. Bagaimanapun aku pernah mencintai gadis di
depanku ini demikian hebatnya. “Maaf aku tak bisa lagi, Juliet… kamu terlalu
tinggi untuk kujangkau sementara aku berada di kerendahan mampuku, sangat jauh
dari pengharapanmu. Aku sudah berusaha untuk jadi yang terbaik, tapi kamu lihat
sendiri nyatanya aku sering gagal.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan
kalimat yang sudah kupersiapkan sebagai alasan aku ke sini, “Juliet, aku ingin
mengakhiri semuanya.”
Lepas sudah, aku sudah
selesai. Berat, namun baik. Berat karena perasaanku masih cukup condong
padanya, baik karena inilah yang seharusnya kulakukan untuk membebaskan diriku
sendiri.
Juliet menatapku lekat,
“Kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu ucapkan? Sekali kamu berani
meninggalkanku, Rayhan… jangan harap aku akan menerimamu kembali,” ucapnya
membekukan, sama sekali tak ada nada sesal atau sedih dalam suaranya, malah aku
merasakan keangkuhan di sana. “Kamu mau kita putus?”
Aku memberinya satu kali
anggukan. “Ya, semua berakhir hari ini di sini. Hampir setahun ini kita telah
salah, bukan aku yang kamu ingin, sebaliknya bukan kamu pula yang tepat
untukku. Salah satu dari kita terlambat menyadari itu hingga kita
membuang-buang masa hampir satu tahun lamanya…”
“Ray…”
“Aku pergi…” aku
membalikkan badan.
“Rayhan…”
Sial. Apa Juliet bermaksud
menahanku agar tidak pergi? Apa dia akan meyakinkanku bahwa dia akan berubah?
Kutolehkan kepalaku, memandangnya tanpa berbalik.
“Kamu benar, aku
membuang-buang waktuku denganmu selama ini. Semoga berhasil dengan cintamu
selanjutnya.”
Dan pintu Juliet sukses
terbanting. Aku tak akan menghampiri pintu ini lagi. Kini aku yakin setelah
mendengar kalimatnya baru saja, aku tidak pernah benar-benar jadi kekasih
buatnya.
“Kamu juga, Juliet… semoga
sukses dengan robotmu selanjutnya,” ujarku lirih lalu memulakan langkah.
Ah, rasanya aku bagai
narapidana yang bebas kembali menghirup udara segar setelah sekian lama
terkungkung di balik terali besi. Begitu yang kurasakan setelah melewati
gerbang Juliet. Sebegini melegakankah bila kita melepas cinta yang menyengsarakan
kita? Meski sedikit rasa masih bersisa, tapi ketika kita yakin bahwa keputusan
kita adalah benar… itu sangat membuat lega.
Selamat tinggal cinta
lama. Semoga cinta baru yang lebih baik dan bisa menerima apa adanya diriku
akan kutemui di depan sana. Entah esok, entah lusa, entah hari-hari
selanjutnya. Semoga saja…
Nulis lagi ya...
BalasHapusaku tinggalkan jejak ya Jun
BalasHapusNulis lagi dong Bang..
BalasHapusUdah banyak sarang laba2nya nih...
Aq rindu baca cerpen2mu Bang...