Semesta berkonspirasi untuk mendekatkan mereka |
Hari ini, sangat
kebetulan, mereka duduk sebangku. Dara selalu menemukan laki-laki ini berada di
angkot yang sama dengannya saat berangkat kuliah. Berkacamata, bercelana katun,
dan kemeja lengan panjang terkancing sempurna hingga ke kerahnya. Sepatunya
adalah pantofel tua, dan tas ranselnya yang berwarna hitam tanpa aksen apa-apa itu
selalu kelihatan berat.
Penampilan laki-laki ini
selalu begitu. Hanya warna celana katun dan kemeja lengan panjangnya saja yang
berganti-ganti setiap hari. Gaya rambutnya pun sangat sederhana, belah tengah. Dapat
dipastikan, sekali pandang saja orang-orang akan langsung menilainya sebagai
laki-laki cupu, tak tahu mode, tak mengikuti tren, dan ketinggalan zaman. Bahkan
pasti ada yang menilainya lebih parah.
“Kampungan…”
Dara menoleh pada dua gadis
yang tampak saling berbisik sambil sesekali melirik ke arah tempat duduknya dan
laki-laki berambut belah tengah yang sedari tadi terpekur pada bukunya itu.
Tempat duduk mereka dengan dua gadis yang sepertinya mahasiswi ini saling
bersisian. Dara dan si lelaki di satu sisi sementara dua gadis mahasiswi itu di
sisi berseberangan. Dara tahu, yang menjadi bahan bisik-bisik kedua gadis itu
bukanlah dirinya, tapi laki-laki yang sebangku dengannya.
Karena khawatir kalau si
lelaki akan mendengar bisik-bisik mencemooh dua mahasiswi itu, Dara memaksakan
diri untuk berdeham. Bermaksud mengirimkan isyarat kepada dua cewek mahasiswi
di kursi sebelah. Sayangnya, dehaman itu ternyata tak membuat mereka paham. Padahal
jarak mereka sangat dekat. Dengan jarak demikian dekat, bukan mustahil
laki-laki yang mereka bicarakan dengan mimik merendahkan itu akan mendengar.
“Aku yakin dia anak udik
yang baru tiba di kota…”
“Kuper pastinya…”
Bisik-bisik itu masih terus
berlanjut. Sampai…
“Apa pribadi seseorang selalu
dinilai berdasarkan cara mereka berpakaian?”
Dara terhenyak di
kursinya, tepat di sebelah lelaki itu. Dia memang sudah menduga kalau si lelaki
ikut mendengar omongan usil dua cewek di sebelah, tapi dia tidak menyangka
laki-laki di sampingnya akan merespon secepat itu. Nada bass-nya terdengar sedap meski kalimatnya terkesan menikam.
Dua cewek di bangku
berseberangan melongo menatap pada laki-laki yang sekarang sudah menutup bukunya
dan melepas kacamatanya. Kini dia sedang memandang dengan tatapan teduh dan berkharisma,
jauh dari kesan marah, pada dua cewek di bangku sebelah.
“Saya memang berasal
dari kampong. Udik dan kuper. Tapi setidaknya saya lebih tahu sopan-santun
ketimbang saudari berdua, yang tampaknya sangat menikmati ketika membicarakan
orang lain yang dianggap aneh dengan cara yang begitu merendahkan. Saya berdoa
semoga saudari berdua tidak dibicarakan orang dengan cara tidak baik di masa
mendatang. Karena saya percaya… karma itu ada.”
Dua cewek di bangku
sebelah semakin melongo, diam bagai ada yang menahan lidah mereka. Si laki-laki
mengenakan kacamatanya kembali dan meneruskan membaca.
Di tempat duduknya, Dara
tersenyum samar. Dia kagum pada kepintaran laki-laki di sampingnya dalam hal
membungkam mulut orang yang kurang ajar. Tapi, dalam hati diam-diam Dara
berterima kasih pada dua cewek di bangku sebelah. Hari ini, setelah sekian lama
kerap satu angkot, karena ulah dua cewek itu, Dara akhirnya mendapat kesempatan
mendengar suara lelaki ini untuk pertama kalinya. Dan dia menyukainya. Rasa
kagum itu membuat rasa tertarik Dara semakin berkembang.
*
Pagi ini, Dara masuk ke
angkot dan segera menyadari kalau hanya bangku di samping si laki-laki yang
masih kosong. Ke sanalah dia membawa langkah dan menghempaskan bokongnya. Hari
ini, mereka kembali sebangku untuk kedua kalinya.
Tak ada buku yang
terbuka di pangkuan si lelaki hari ini. Dia hanya bersidekap lengan di dada dan
memandang ke luar melalui jendela. Sampai angkot berhenti di halte dekat kampusnya
dan dia turun, si lelaki masih memandang ke luar jendela.
Dalam perjalanan menuju
gedung kuliahnya, Dara bertanya-tanya, apakah si lelaki menyadari keberadaannya
selama ini? Apa lelaki itu sadar kalau mereka selalu satu angkot setiap hari?
Apakah si lelaki tahu kalau tadi adalah kali kedua mereka duduk sebangku?
*
Besoknya mereka sebangku
lagi, dan masih saling diam. Besoknya dan besoknya dan besoknya lagi terus
sebangku dan masih juga saling diam. Semesta sepertinya tengah berkonspirasi
untuk mendekatkan Dara dan si lelaki lewat tempat duduk angkot. Entah keanehan
apa yang sedang terjadi, bangku di samping si laki-laki selalu saja kosong
begitu Dara masuk angkot. Kadang hanya tinggal satu-satunya dan kadang tidak,
namun meski bukan satu-satunya yang kosong, Dara akan tetap menuju bangku di
samping si laki-laki.
Lama-lama, itu menjadi sebuah
hal yang menciptakan gambaran bagi penumpang angkot itu yang seringnya selalu
ditumpangi oleh orang-orang yang sama setiap hari. Bangku itu tidak boleh
diduduki oleh orang selain mereka di jam pagi. Mereka, Dara dan si lelaki
sederhana itu, adalah kawan sebangku.
Benar, sejauh ini mereka
hanya kawan sebangku.
Dara tidak tahu kalau si
lelaki sudah menyematkan cincin di jari seorang gadis di kampungnya. Dara tidak
tahu kalau si lelaki sudah diikat janji pertunangan, Dara tidak tahu kalau
perasaan yang dipendamnya pada si lelaki hanya sebatas perasaan selama mereka
sebangku di dalam angkot, tidak bisa lebih lagi.
Hingga suatu hari, mata
dan pikiran Dara terbuka. Langsung terbuka ketika mereka bicara untuk pertama
kali. Dan sayangnya… itu juga menjadi percakapan terakhir mereka.
“Rasanya aneh ya…
tidakkah kamu merasa begitu?” Si laki-laki membuka percakapan.
Dara mengangguk. “Aneh
yang berterusan… Tapi aku senang mendapat teman sebangku yang sama tiap hari.”
Si lelaki mengangguk. “Kamu
ambil ilmu apa?”
“Hukum.”
“Wah, hebat… dulu aku
gagal.”
Mereka saling menatap,
untuk pertama kali. “Kamu pernah ingin kuliah di jurusan yang sama?” tanya
Dara.
Si lelaki mengangguk.
“Nyatanya tidak berjodoh. Aku malah nyasar ke Biologi. Tapi aku mencintai
pekerjaanku sekarang, jadi guru biologi asik juga.”
Dara mengangkat alis,
“Kamu seorang guru?”
Si laki-laki mengangguk,
“Apa aku kelihatan tidak meyakinkan sebagai seorang guru?”
Dara tertawa, “Aku kira
kamu masih mahasiswa sepertiku.”
“Hei, bukankah aku tak
pernah turun di halte yang sama denganmu? Sekolah tempatku mengajar ada di
halte setelahnya.”
Dara tersenyum. “Ya ya
ya… aku tahu kamu tak pernah turun di halte kampus. Hanya saja, kamu tampak
terlalu muda untuk jadi guru.”
“Yah, aku langsung
melamar jadi guru honor setelah kuliahku selesai. Aku tak ingin menggantung anak
gadis orang terlalu lama. Ada mahar yang harus kutunaikan. Dan aku hanya bisa
menunaikannya dengan bekerja.”
Dara merasa lidahnya
kelu. Setelah sekian hari hatinya bahagia berada sebangku dengan si lelaki,
kini dia harus menelan pahitnya kenyataan. Selamanya cinta dalam hatinya tak
akan pernah tersampaikan. Dara salah. Kesalahannya karena telah lancang
menyimpan cinta untuk calon suami orang.
Begitulah. Mata dan
pikiran Dara terbuka. Kenyataan sudah terpampang, jelas dan tanpa ragu. Kini
dia tahu, cincin di jari si lelaki yang selalu dilihatnya bukanlah sekedar
cincin suasa penghias jari, tapi cincin tanda ikatan tak boleh diganggu. Bahkan
sekedar menyimpan suka saja adalah dosa.
Itu adalah percakapan
pertama dan terakhir Dara dengan si lelaki. Setelah hari itu, mereka tidak lagi
sebangku. Dara memilih untuk berhenti menggunakan angkot itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar