Aku tak menyimak satu pun kata yang
diucapkan sang juru nikah. Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Ini bukan
pertama kalinya aku hadir di pernikahan orang yang kukenal, ini
adalah yang kesekian kalinya, aku bahkan sudah bisa menghapal kalimat-kalimat
itu. Aku hanya memerhatikan kedua mempelai yang berpegangan tangan, menatap
penuh damba, dan akan berciuman setelah mereka diikrarkan sebagai suami-istri.
Selalu, aku merasa iri.
“Sayang,
aku ingin terlihat seperti mempelai wanita itu di pernikahan kita nanti .…” Seorang
gadis yang duduk pada barisan kursi di depanku berujar pada lelaki di kirinya.
“Kau pasti akan lebih cantik darinya,” balas si lelaki sambil menyampirkan
lengan kanannya merangkul pundak si gadis, kekasihnya.
“Aku jadi ingat pernikahan kita tahun
lalu .…” seorang pria yang duduk di sampingku berbisik sambil mengecup punggung
tangan wanita di sampingnya, istrinya. Si istri tersenyum, merangkul lengan lalu
meletakkan kepala di bahu suaminya itu.
Aku
ingin merasakan cinta seperti pasangan suami istri di sampingku. Hidup serumah. Bertemu tiap hari. Menghabiskan sore dengan duduk bersama di beranda, sambil ditemani
poci teh dan cangkir mengepul. Aku ingin makan malam di satu meja. Berbicara setiap saat tanpa
bosan, dan juga bercinta. Suami istri yang saling melengkapi. Saling
menjaga dan saling menguatkan seperti yang pernah kulalui suatu masa dulu
bersama istriku.
‘Menikahlah. Aku
tidak ingin kau kesepian setelah kepergianku. Temukan seseorang yang tepat untukmu. Jatuh cintalah lagi. Aku khawatir kau akan kesepian setelah aku pergi. Kumohon, jatuh cintalah lagi ….’
Penyakit
jahanam itu merenggutnya dariku. Membawa pergi seorang istri dari sisi
suaminya. Gambaran sosoknya yang rapuh ketika berucap menyuruhku menikah
setelah ketiadaannya masih jelas tergambar. Sejelas siang hari. Dia
mencemaskan kesendirianku. Kenyataannya, hingga bertahun setelah kepergiannya,
aku tidak membawa seorang wanita pun ke rumah untuk
menempati bagian ranjang yang pernah menjadi kepunyaannya. Wanita yang akan mengambil
alih peralatan dapurnya dan juga pot-pot geranium-nya
di halaman belakang. Aku tak pernah bisa jatuh cinta lagi seperti yang
diingininya. Hingga kini, ketika warna kelabu mulai menyelip di antara helai
hitam rambutku, aku masih berada dalam kesendirian yang dicemaskannya.
‘Jatuh cintalah lagi.’
Setelah
selesai mengucap janji di depan altar beberapa saat lalu, pesta pernikahan
berlanjut ke ruang hingar-bingar ini, ruang maha luas yang dipenuhi meja-meja besar
di mana menu-menu mahal berjejer di atasnya. Di tengah ruangan, pengantin baru
tampak saling merengkuh mesra sambil membalas sapaan dan ucapan selamat yang
ditujukan buat mereka.
Aku
berusaha menikmati pesta ini sebisaku. Seperti kebanyakan pesta pernikahan yang
pernah kuhadiri setelah kepergian istriku. Aku berdiri di sudut agak sepi
dengan satu seloki anggur di tangan kanan, sementara tangan kiri berada dalam
saku celana. Cara pria tak beristri menikmati pesta pernikahan.
“Yang
mana kenalan Anda, mempelai pria atau mempelai wanita?”
Aku
menoleh pada sosok yang menegurku. Dia adalah lelaki
yang tadi duduk di kursi di depanku sambil merangkul pundak kekasihnya. Lelaki
muda yang berencana untuk menikah. Jika tadi aku hanya bisa melihat sisi wajah
dan bahunya saja, kini aku bisa melihat tampilan keseluruhannya. Eksekutif
muda.
“Mempelai
prianya, kami sekantor.”
Dia
mengangguk. “Saya kerabatnya, kami sepupu jauh,” beritahunya tanpa kuminta. Lalu dia seperti mencari-cari, “Anda datang sendirian? Di mana istri Anda?” Dia
bertanya sambil menunjuk pada tanganku yang memegang seloki. Sepertinya lelaki muda ini
menemukan cincin kawinku.
Selama
aku hadir seorang diri ke pernikahan-pernikahan orang yang kukenal, baru kali
ini ada yang tertarik dengan cincinku, Baru kali ini ada orang yang bertanyakan
istriku. “Dia meninggal tujuh tahun lalu," jawabku.
Lelaki
muda itu tampak menyesal, “Maaf .…”
“Bukan
salahmu.” Aku meneguk isi selokiku.
“Pasti
dia wanita yang hebat.”
Aku
tersenyum. “Dia wanita pertama yang membuatku jatuh cinta. Dan hingga sekarang
tetap menjadi satu-satunya. Tak ada yang bisa membuatku jatuh cinta lagi meski
keinginan untuk itu sering datang .…”
Si
Lelaki Muda menatapku. “Saya ingin menjadi seperti Anda. Mencintai satu wanita
saja seumur hidup.”
Aku
menggeleng. “Sebenarnya, aku ingin jatuh cinta pada wanita lain, ingin
mencintai seseorang seperti aku mencintainya dulu. Namun itu hanya akan jadi
keinginan saja. Aku bagai tak punya cinta lagi.”
“Sayang…!”
seseorang berseru.
“Oh,
hai … kau mendapatkannya?”
Lelaki muda yang baru saja menjadi lawan bicaraku menyongsong
kekasihnya yang bergerak cepat ke arah kami dengan buket bunga di tangan.
Gadis itu akan segera jadi pengantin. Mereka berpelukan sambil tertawa.
Aku
tersenyum memandang mereka. Diawali jatuh cinta, tak lama lagi mereka akan
menikah lalu hidup berumah tangga.
Ah, aku ingin jatuh cinta, menikah dan
berumah tangga, sekali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar