Dia begitu menyukai pantai. Menyukai senjanya |
Lidah
ombak kembali menyentuh kakiku. Membuat ujung celanaku semakin basah. Aku
sengaja tak menggulungnya, sengaja kubiarkan ujung celana panjangku basah air
garam itu. Kuhirup udara yang juga beraroma garam sebanyak yang sanggup ditampung
rongga dadaku. Kemudian kuhembuskan perlahan.
Kupejamkan mata dan kurasakan angin yang bertiup tenang di pantai ini. Terasa
sejuk di kulitku. Aku tersenyum, berada di pantai ketika senja seperti sekarang
selalu bisa membuatku damai. Entahlah, rasanya segala penat dan lelah setelah
berkutat dengan kertas-kertas dan bermacam file
di kantor menguap hilang begitu aku sampai di sini.
Melepas
lelah.
Itu bukanlah alasan mengapa aku sering menghabiskan senjaku dengan datang
ke pantai ini. Aku masih melihatnya di sini. Berlari berkejaran dengan lidah
ombak sementara angin mengibarkan baju dan mengacak rambutnya yang hitam legam
hingga berantakan. Aku masih bisa mendengar suara tawanya sambil melambai
memanggilku mendekat. Aku juga masih bisa merasakan lembut jemarinya dalam
genggamanku ketika berjalan menyusuri tepian pantai di bawah langit keemasan
suatu masa dulu.
Aku ke sini untuk mengenangnya. Itulah tepatnya alasanku.
Dia
begitu menyukai pantai. Menyukai senjanya, menyukai saat langitnya bersalin warna
dari kelabu menjadi jingga keemasan. Dia menyukai anginnya yang menghembus sejuk, seperti
yang kurasakan sekarang. Dia suka menyusurkan jari-jarinya di
atas pasir yang menurutnya selembut kapas itu. Dia akan duduk bersamaku, langsung di pasir, hingga matahari perlahan-lahan mencelup masuk dan hilang dalam laut.
Kini, aku tengah melihat hal itu terjadi. Sendirian, duduk termangu di atas
pasir yang sama di pantai yang juga sama.
Segerombolan
camar melintas di atasku. Aku mendongak mengamati mereka melesat di angkasa
lalu menukik tajam ke permukaan laut sebelum akhirnya kembali terbang meninggi. Mereka berputar-putar ke segala penjuru. Camar dan pantai adalah sejoli. Seperti aku
dan dia dulu.
Puas
memerhatikan burung laut, aku memandang pada deretan perahu yang berjejer di
bibir pantai. Sepasang muda-mudi terlihat di dekat perahu-perahu itu. Mereka
juga sedang menikmati senja sepertiku, bedanya mereka menikmati senja sambil
berpegangan tangan dan saling bicara. Sementara aku duduk sendiri memeluk
lutut. Tak ada siapapun bersamaku.
Ketika gelap perlahan turun untuk mengukuhkan kehadiran malam, aku
bangkit berdiri lalu menepuk pasir dari celanaku. Sudah tiba masa aku berpisah
dengan senja. Sebelum pergi, kubawa lagi pandanganku pada sisa langit merah di ujung
nadir, pada permukaan laut yang beriak berirama, juga pada nyiur yang melambai
di sepanjang garis pantai.
Aku berbalik. Esok aku akan ke sini lagi untuk
mengenangnya. Mengenang istriku dan senja yang pernah kuhabiskan bersamanya, tujuh kali dua belas purnama yang lalu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar