Pada banyak kasus, cinta memang membodohi |
Note :
Cerita ini adalah lanjutan cerita pada postingan sebelumnya. Untuk mendapatkan gambaran cerita yang utuh, kusarankan untuk membaca postingan sebelumnya terlebih dahulu di sini.
-----------------------------------------------------------------
“Sesingkat
apapun, kebahagiaan tetaplah kebahagiaan. Denganmu, tak peduli waktu yang
kupunya begitu singkat, tak peduli esok hari buat kita mungkin tiada, selama
kita hidup dan gembira, maka aku ingin melalui setiap detik yang kita miliki,
setiap detiknya…”
*
Aku
benci membayangkan diriku bakal jadi penyebab tangisan banyak orang yang
kusayang suatu saat nanti. Hal itu membuatku merasa jadi pencuri, aku mencuri
kebahagiaan dari mereka, menggantikannya dengan kesedihan. Di saat bersamaan,
aku juga merasa jadi pembunuh, aku membunuh banyak harapan, mematikan banyak keceriaan,
memadamkan banyak tawa, meninggalkan kekosongan. Tapi, akan lain ceritanya jika
aku tidak dicintai.
Gemini
bilang, aku tidak punya hak untuk memilih siapa yang kuizinkan untuk bersedih
dan siapa yang tidak ketika masa bagiku untuk jadi pencuri tiba. Katanya, aku
juga tidak punya hak untuk memilih harapan siapa-siapa saja yang kupadamkan
ketika masa bagiku untuk jadi pembunuh juga tiba.
Dan
aku menyesal telah memilih Gemini sebagai orang yang padanya akan kutinggalkan
kesedihan dan kubunuh harapannya. Sungguh, aku menyesal.
Tanpa ditambah Gemini
pun, sudah terlalu banyak orang-orang yang dari mereka kucuri sesuatu berharga
seberharga kebahagiaan sebelum kemudian kubunuh. Mama dan papaku adalah dua di
antaranya. Adik kembarku di urutan berikutnya. Kakekku dari pihak Mama. Kakek
dan nenekku dari pihak Papa. Para tetanggaku yang baik hati dan suka memanggilku Cah Ayu. Pamanku dan bibiku. Tanteku dan omku. Teman-temanku sebelum Gemini, dan Efron―kalau dia juga bisa kugolongkan sebagai
orang, tapi katanya, perasaan hewan bisa lebih peka dibanding manusia. Kubayangkan
Efron akan mengeong ribut ketika tidak lagi menemukanku di rumah suatu hari nanti.
Sudah
cukup banyak. Aku tak ingin memperpanjang daftarnya lagi dengan menambahkan
nama Zamrian Aries di baris penghabisan.
Ada
sesuatu yang salah dalam darahku. Kata dokter, leukositku sedikit lebih rakus
dari leukosit orang lain. Dan ya, masih kata dokter, aku bisa mengucapkan selamat tinggal ppada dunia
sewaktu-waktu.
Oh,
yang benar saja, apa tak ada skenario yang lebih drama dari itu?
Sayangnya, tak
ada. Kupikir, ini sudah yang paling drama. Aku tak ingin membahas penyakitku di
sini. Abaikan stadiumnya, abaikan terapinya, abaikan sejarahnya bagaimana dan
kapan aku tahu diriku mengidap penyakit yang bisa membuatku mengucapkan STK
kapan saja ini. Oh, kalian tidak paham apa itu STK? Ah, itu bukan apa-apa,
hanya leluconku saja dengan adik kembarku. STK itu adalah penghematan kata dari Selamat Tinggal Kehidupan―jika
kalian sungguh ingin tahu.
Jadi,
masih kata dokter-dokter itu, aku bisa mengucapkan STK lebih segera jika
menolak terapi. Kataku, persetan dengan donter-dokter itu. Mereka bukan Tuhan. Apa jaminannya
terapi-terapi itu bisa memperpanjang umurku dan menundaku untuk jadi pencuri
lalu pembunuh? Sama sekali tak ada jaminan. Sekali lagi, TAK ADA JAMINAN. Aku
mungkin saja mati saat diterapi, bahkan aku mungkin saja mati dalam perjalanan
menuju rumah sakit untuk diterapi. Lagipula menurutku, aku juga punya kemungkinan untuk hidup lebih lama tanpa
segala macam terapi itu jika Tuhan mengizinkan. Jadi kupikir, ini hanya masalah
keberuntungan yang sudah diatur Tuhan. Aku beruntung jika tidak segera
mengucapkan STK dan tidak beruntung jika mengucapkannya terlalu cepat. Selesai. Hanya begitu saja.
Yang
kupikirkan sekarang justru tuduhan menyakitkan Gemini yang dikatakannya sambil
berlinangan air mata. Katanya, aku egois. Sialan benar calon pacarnya si Virgo
itu. Apanyaku yang egois coba? Apa dia kira penyakitku ini bisa dibagi-bagi? Di-share kepada semua orang? Apa dia kira
penyakitku ini status Facebook hingga bisa dibagikan dengan mudah kepada semua kenalan? Gemini mengatai aku egois, aku bilang, dia dungu.
Namun,
ketika berada sendirian seperti sekarang, aku memikirkan tuduhannya itu.
Egoiskah aku dengan tidak membiarkan seseorang bersedih ketika aku pergi?
‘Kak Aries mencintaimu, Lib… dan
kamu malah membunuh cintanya begitu aja…?’
Itu
pertanyaan gak percaya Gemini saat aku menceritakan padanya tentang pengakuan
Kak Aries ketika aku membantunya menata kamar kos barunya dulu. Pertanyaan Gemini itu
jugalah yang membuatku menceritakan tentang penyakitku padanya. Dan ketika itulah Gemini
mulai menangis dan mengataiku egois tanpa sungkan. Padahal, baru beberapa jam
sebelumnya aku membantunya pindah kos. Harusnya dia sujud sukur di depan high heels-ku, ini alih-alih dia malah mengataiku.
Namun nyatanya kini aku malah sedang memikirkan kalimat Gemini itu.
Aries…
ah… kalau saja dia tahu…
*
“Mau
sampai kapan, Lib?”
Aku
mencibir, “Sampai dia sembuh sendiri,” jawabku asal.
“Udah
mau sebulan lho…”
“Belum
juga setahun.”
“Kamu
harus ketemu dia deh. Kemarin aku jumpa di perpust, dia kurusan. Matanya dalam kayak abis diare sebulan. Terus,
penampilannya berantakan. Kasihan, Lib.”
“Kalau kamu kasihan padanya, pinjamkan saja setrikaanmu buat ngerapiin penampilannya yang berantakan itu?”
Gemini
menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara aku menarik helai-helai rambutku yang
tidak lagi melekat di kulit kepalaku, membebaskannya dari belitan pita
rambutku dengan santai, sesantai mengupas kacang rebus.
“Dia
berhak bahagia, Libra…”
Sekarang
aku memandang Gemini lekat.
“Lebih
dari itu semua, kamu juga berhak bahagia…”
Sepeninggal
Gemini, aku termenung lama di jendela sampai Efron mendatangi dan
menjilat-jilat telapak kakiku yang telanjang.
“Apa
yang harus kulakukan, Efron?” tanyaku sambil kuletakkan Efron di pangkuanku.
Meaow...
“Menciumnya katamu?
Yang benar saja?”
Meaoow…
“Yah,
kupikir itu juga mesum. Lagipula, aku gak tahu bagaimana caranya.”
Meaow…
“Ya,
aku tau dia kurusan dan berantakan, salahnya sendiri, kan? siapa suruh naksir
aku.”
Meaooow…
“Ah,
kau memihaknya karena dia juga lelaki sepertimu. Hei, bukan karena dia selalu menggendongmu dulu saat main ke sini, kan?”
Meaow…
Aku
menerawang ke luar jendela, gerimis baru saja turun. “Aku tahu kamu kangen digendong dia lagi. Kita sama, Efron… Aku juga
kangen dia…”
*
Seharusnya
aku menolak tawarannya di perpustakaan saat itu. Dengan begitu, tak akan ada
hati yang tersakiti. Tapi aku bodoh. Pada banyak kasus, cinta memang membodohi.
Seharusnya, dia tidak mengungkapkan perasaannya padaku. Dengan begitu, aku tak
akan pernah tahu perasaannya yang sebenarnya, cukup aku saja yang punya
perasaan itu terhadapnya. Seharusnya, penyakit sialan ini memilih orang lain
untuk di-STK-kannya dengan segera…
“Seseorang
memintaku untuk berbicara dengan Virgo, bagaimana menurutmu?”
Gemini
membuyarkan lamunanku di kursi kantin, dia juga mengalihkan tatapanku dari
sebuah meja di pojok sana. Kupandang Gemini dengan kerutan di kening.
Ternyata dia masih memikirkan Virgo. Kadang aku berpikir kalau Virgo yang seorang superstar itu tidak pantas mendapatkan cinta Gemini, bahkan tidak di saat laki-laki itu dicampakkan ceweknya, artis baru yang numpang ketenarannya Virgo.
“Seseorang? Siapa?” tanyaku.
Gemini
menggeleng.
“Bukannya
kita udah saling janji, no more secret…?”
Gemini
tersenyum. “Leo…”
Rahang
bawahku jatuh. “Kamu ketemu dengannya?”
Gemini
mengangguk.
“Dan
kamu gak berpikir untuk mengajakku?”
“Leo
gak bilang aku boleh bawa teman.”
“Hemm…
jadi, kapan kamu akan menemui Virgo?”
“Menurutmu
aku harus menemuinya?”
Aku
mengangguk mantap. “Pindah kos pun ternyata tidak manjur, kan?”
Gemini
mendesah. Dia tahu aku benar. Tak ada yang berubah padanya meski dia sudah
tidak tinggal di dekat lingkungan Virgo lagi. Gemini tentu lebih tahu hatinya
ketimbang aku.
“Dan apa yang harus kukatakan padanya? Bahwa aku rela ngontrak rumah di sekitar tempat tinggalnya hanya biar bisa melihat dia melintas di jalan? Kalau aku pernah setengah mati jadi pengagum rahasianya?”
“Dan apa yang harus kukatakan padanya? Bahwa aku rela ngontrak rumah di sekitar tempat tinggalnya hanya biar bisa melihat dia melintas di jalan? Kalau aku pernah setengah mati jadi pengagum rahasianya?”
“Pernah? Memangnya sekarang tidak lagi?” sindiriku.
Gemini
mendiamkan diri.
“Kamu bisa mulai obrolan via fanpage-nya, kan? Kebanyakan hubungan pertemanan yang ideal itu dimulai dari rasa nyaman yang timbul karena kita saling tahu dan paham kondisi satu sama lain. Maksudku, kamu tahu Virgo sedang galau habis diputusin, dan dia tahu kamu salah seorang penggemar terbesarnya, sama sekali bukan cewek beken. Mulailah dari situ…”
Ekor mataku menangkap gerakan pada meja di salah satu pojok kantin. Pandanganku hanya teralihkan sepersekian detik dari sosok Gemini, tapi gadis di depanku ini benar-benar peka. Dia langsung memalingkan wajahnya ke pojok kantin sebelum kembali menatapku.
“Kamu pandai sekali menyarankanku ini dan itu, tapi kamu sendiri malah dengan bodohnya tidak melakukan apa-apa untuk menyembuhkan perasaanmu dan orang yang kamu cintai.”
Sekarang, giliranku yang mendiamkan diri mendengar kalimatnya.
“Kak Aries…!!!” teriak Gemini lantang.
WHAT THE FFFF....!!!
Rasanya aku ingin menelan Gemini bulat-bulat dan akan kukirim ke septic tank esok pagi. Di pintu kantin, laki-laki itu berbalik dan memandang tepat ke meja tempatku dan Gemini berada. Aku gemetaran ketika laki-laki itu bergerak menghampiri kami.
Dasar Gemini kurang ajar!
*
Efron
menggosok-gosokkan bulunya ke kaki Aries dengan manja. Kupikir, kucing itu sedang
melepaskan kangennya. Sebenarnya aku ingin mengikuti Efron menggosok-gosokkan
tumitku ke tumit Aries untuk melepas kangenku juga, tapi aku takut
laki-laki itu akan memandangku aneh. Maka, aku hanya duduk diam di sebelahnya.
“Diminum, Kak…” Kupersilakan laki-laki di sampingku untuk mencicipi teh manis yang baru saja diletakkan pembantu rumahku di meja beranda.
“Bagaimana kabarmu?” Dia mengabaikan tehnya dan memandangku. Apa dia lupa sudah menanyakan kabarku ketika di mobil tadi?
“Tugasku salah mulu,” jawabku jujur. Memang benar, semenjak tidak ada lagi bantuan darinya, tugas-tugas kuliahku seringnya salah.
Dia tertawa pendek lalu menggaruk-garuk dagunya yang sekarang ditutupi rambut-rambut halus. Kupikir, selain malas makan, dia juga jadi malas bercukur akhir-akhir ini. “Salah sendiri, gak minta tolong kubuatin.”
Aku menyengir. “Takut membuat repot. Lagipula, Kak Aries tentu juga punya kesibukan sendiri.”
“Takut membuatku repot, atau takut aku semakin jatuh cinta padamu?”
Di antara sekian banyak kemungkinan kalimat yang bisa dia katakan untuk menanggapi ucapanku tadi, mengapa dia malah memilih kalimat itu? Aku tak bisa berkata apapun. Yang ingin kulakukan adalah meneriakkan padanya kalau aku tak ingin dia sedih dan terpuruk ketika aku pergi nanti.
“Kamu jahat, Libra…”
Aku menolehnya.
“Kamu egois…”
Sekarang aku mengernyit.
Laki-laki ini berkaca-kaca. “Jangankan untuk membagi kebahagiaanmu pada orang lain, membagi kesedihan pun kamu gak ingin," katanya penuh luka. "Kamu egois…”
Di kursiku, seluruh sarafku seperti sedang merespon semuarasa sakit yang ada di alam semesta. Melihat dia terpuruk dan siap menangis langsung di depan mataku membuatku tak rela. Sekarang pun dia sudah semenyedihkan ini, bagaimana lagi jika suatu hari nanti aku hilang selamanya dari pandangannya?
Tangannya menyeberangi meja, menggenggam erat tanganku. “Sesingkat apapun, Libra… kebahagiaan tetaplah kebahagiaan,” ujarnya penuh yakin, membuatku ikut berkaca-kaca bersamanya. “Denganmu, tak peduli waktu yang kupunya begitu singkat, tak peduli esok hari buat kita mungkin tiada, selama kita hidup dan gembira, maka aku ingin melalui setiap detik yang kita miliki, setiap detiknya…”
Dia tahu.
Pikiranku berkelebat cepat. Gemini pasti sudah mengkhianati kepercayaanku padanya saat aku ke toilet saat kantin tadi, sebelum Aries menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Gemini benar-benar tidak bisa dititipin kepercayaan. Aku hanya meninggalkannya dengan Aries sebentar, dan dia malah membuka seluruh rahasiaku pada laki-laki ini. Baik sekali dia.
Namun, mendengar dan meresapi setiap kata yang melintas dari bibir Aries kini, aku tak tak tahu apakah harus marah atau berterima kasih pada sahabatku itu.
“Denganku… kamu gak punya banyak waktu, Kak…” suara tercekat.
“Aku gak peduli…”
“Aku hanya gak ingin meninggalkan kesedihan buat terlalu banyak orang. Tanpa ditambah Kak Aries pun, hitungannya sudah terlalu banyak…”
“Aku gak peduli,” dia mempererat ganggamannya. “Kamu dengar!? Aku gak peduli. Silakan saja kamu meninggalkanku kesedihan sebesar dunia, aku gak peduli dan akan tetap mencintaimu.”
Kini aku menangis.
“Aku hanya ingin kita jujur satu sama lain, Libra. Jujur dengan perasaan kita masing-masing. Apa jaminannya orang sehat bisa menulis kisah cinta hingga punya anak cucu? Gak ada. Mereka juga bisa mati kapan saja. Salah satunya bisa saja ketabrak truk, atau tersedak risoles, atau kecebur sungai, atau dimakan buaya…”
Siapa bilang manusia tidak bisa melakukan dua hal yang bertolak belakang di saat bersamaan? Buktinya, aku sekarang melakukannya. Aku tertawa dan menangis di saat bersamaan, karena ucapan laki-laki memesona ini.
“Bodoh!” cetusnya sambil membenturkan keningnya ke dahiku.
Meaow…
Di kaki kami, Efron mengeong dan memandangi kami dengan mata hijaunya. Ekornya bergerak-gerak sibuk. Kurasa, memang benar naluri hewan lebih peka ketimbang manusia. Efron akan selalu sibuk menggerakkan ekornya bila sedang melakukan hal-hal yang disukainya, seperti ketika dia bercengkerama dengan bola bekelnya di pojok kamarku, atau bila mendapatkan makanan kucing kesukaannya, atau ketika aku mebagi jatah susuku buatnya. Dan sekarang, dia juga sedang menggerak-gerakkan ekornya. Aku yakin, dia senang melihatku dan Aries. Aku bertanya-tanya jika seandainya Gemini punya ekor, apa dia juga akan menggerak-gerakkannya ketika esok kukabarkan bahwa aku sudah memutuskan untuk menambah nama Zamrian Aries ke daftar orang-orang yang kebahagiaannya akan kucuri dan semangatnya akan kupadamkan ketika aku pergi?
“Menikahlah denganku…”
Ah, aku terlalu senang hingga telingaku jadi berkhayal kalau Aries memintaku untuk menikahinya.
“Zamera Libra, menikahlah denganku!”
What the…
Meaow…
Ternyata telingaku tidak berhalusinasi. Aku tersenyum memandang laki-laki di depanku dalam ketidakpercayaan. Dia, yang baru resmi jadi pacarku hari ini, memintaku untuk menikah dengannya. Dan Efron baru saja bilang kalau aku harus menganggukkan kepalaku.
Meaow…
Iya, Efron, aku tahu… ini kisah cinta yang berakhir yang bahagia.
Kupandang laki-laki bernama Aries ini lekat dan lalu kuanggukkan kepalaku. Persetan dengan kata orang-orang tentang pernikahan dini, bukan mereka yang saldo umurnya mau kadaluarsa. Kalau aku tidak menganggukkan kepala sekarang, maka besar kemungkinannya aku bakalan mati perawan.
"Apa KUA masih buka jam segini?" tanyaku.
Aries tertawa besar-besar, sementara Efron mengeong ribut.
= FIN =
Tidak ada komentar:
Posting Komentar