Pernahkah kau memutuskan seseorang sebelumnya? |
Keadaan di Taman Riyadhah sungguh ramai sore ini. Anak-anak
berlarian ke sana-sini di bawah pengawasan ibu atau ayah mereka. Ada yang
sedang bermain ayunan, memanjat rangka besi, atau bermain jungkat-jungkit. Beberapa
juga tampak asik merosot malas-malasan di prosotan. Para penjaja makanan juga
sudah mulai memadati sisi-sisi sekeliling taman. Kebanyakan adalah pedagang
gerobak dengan berbagai jenis jajanan.
Ranti memandang ke seluruh penjuru taman kecil
tempat dia sudah membuat janji bertemu dengan Ranto, pacarnya. Tidak, tepatnya
akan segera jadi mantan pacar setelah kata putus terucap dari bibirnya nanti.
Ranti baru saja datang. Di gerbang taman dia masih mematung, enggan masuk.
Terlalu banyak orang sore ini, terlalu banyak anak-anak. Ke mana perginya
muda-mudi yang sering berada di sini saat sore seperti sekarang? Ranti hanya
menemukan beberapa sosok sebayanya duduk bersisian di kursi taman. Selebihnya, hanya
anak-anak kecil dan orang tua mereka.
“Aku salah memilih tempat,” bisiknya pada diri
sendiri. Gadis ini memandang lagi ke segala penjuru, berusaha menemukan sudut
yang layak untuk duduk menunggu. Tak ada sudut yang sepi. Taman Riyadhah sangat
difavoritkan hari ini. Ranti tidak menemukan satu pun kursi taman yang masih
kosong.
Ranti mendesah, memandang pada jam tangannya, pukul
empat lewat empat lima. Dia masih punya lima belas menit lagi sebelum Ranto
tiba. Mereka janji bertemu jam lima sore. Di
mana aku bisa duduk menunggu? Ranti membatin. Matanya masih liar
mencari-cari kursi taman yang kosong. Ekor matanya menangkap satu kursi yang
baru saja ditinggalkan pasangan orang tua dan anak balita mereka. Bergegas Ranti
membawa kakinya menuju kursi itu sebelum didahului pengunjung taman lain.
Ranti menghempaskan bokongnya di atas kursi,
bernafas lega karena berhasil mendapatkan tempat duduk. Di sini, Ranti melirik
jamnya lagi. Masih seperti tadi, jarumnya belum jauh bergeser.
Lima
belas menit. Apa yang harus aku lakukan untuk membunuh waktu selama lima belas
menit ke depan? Mempersiapkan diri? Iya. Mempersiakan diri sebaik-baiknya.
Ranto mungkin akan mengamuk saat kuputuskan.
Ranti menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi,
memaksakan sedikit kenyamanan di tempat duduknya. Padahal saat ini hatinya
sungguh tidak nyaman. Dia sudah merasa tak tenang ketika menelepon Ranto siang
tadi untuk membuat janji bertemu. Bisakah Ranto menerima keputusan yang akan
diucapkannya nanti dengan lapang dada? Bisakah Ranto menerima kata putusnya?
Apa yang harus diucapkannya pada lelaki itu bila dia menanyakan alasannya
meminta putus? Bagaimana pula bila Ranto merespon dengan reaksi ekstrim dan
tidak bersahabat? Bagaimana bila Ranto marah-marah atau memaki-makinya?
Ranti menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya
perlahan. “Tenang Ranti. Kamu bisa mengatasi situasi ini. Kamu hanya perlu
mengucap kata putus padanya. Cukup kata putus saja lalu segera pergi.” Kembali gadis
ini berbisik sendiri.
Namun nyatanya tidak semudah itu menenangkan diri.
Ranti belum punya pengalaman memutuskan hubungan. Dia belum pernah mengucap kata
putus pada seorang lelaki. Ini akan jadi pengalaman pertamanya. Dalam hati, gadis
ini terus mengancang-ancang. Dia mencari-cari kalimat yang tepat untuk disuarakan
kepada Ranto, tanpa menyinggung perasaan lelaki yang sudah menjadi pacarnya
nyaris penuh satu tahun ini. Ranti ingin berpisah baik-baik, tanpa dendam,
tanpa kesan buruk sehingga dia dan Ranto masih bisa menjaga hubungan baik
sebegai sahabat setelahnya.
Hatinya masih terus mencari.
Ran,
aku ingin kita menjadi sahabat saja mulai hari ini.
Ran,
mungkin akan lebih baik bila mulai sekarang kita hanya berteman saja.
Ran,
maafkan aku. Aku tak bisa lagi jadi kekasihmu, mulai sekarang anggaplah aku
sahabatmu.
Apa semua pasangan yang sudah berpisah tetap
menjalani hubungan sahabat setelahnya? Seberapa banyak pasangan yang berpisah
secara baik-baik?
Ranti mendongak, memandang dahan-dahan rindang yang
meneduhi seluruh area taman. Orang-orang menjuluki taman ini dengan Taman
Cinta, bahkan segelintir juga menyebutnya sebagai Taman Jodoh. Entah bagaimana
taman ini mendapat julukan-julukan hebat itu. Ranti jadi berpikir, sungguh
ironis keadaannya sekarang. Apa yang akan dilakukannya sebentar lagi akan
sangat bertolak belakang dengan julukan-julukan tempat yang menjadi pilihannya
mengatakan putus. Taman ini taman jodoh, tapi dengan memutuskan hubungannya
dengan Ranto maka dia telah menyalahi satu julukan taman ini, dia tak berjodoh
dengan Ranto. Taman ini taman cinta, tapi dengan mengakhiri hubungan percintaannya
dengan Ranto maka dia telah menyalahi satu lagi julukan taman ini. Ironi sekali.
Mereka baik-baik saja. Ranti sadar selama ini Ranto
sudah menjadi pacar yang baik, sangat baik malah. Ranto tak pernah absen
mengucapkan selamat tidur buatnya setiap malam. Kadang langsung didengarnya,
kadang dibacanya. Ranto tak pernah telat bila dia minta dijemput di kampus atau
di manapun itu. Ranto bersedia mengantarnya ke manapun. Ranto sukses jadi pacar
yang baik dengan tak lupa hari lahirnya, bahkan jadi orang pertama yang
mengucapkan selamat buatnya. Ranto berhasil jadi kekasih yang baik dengan
memberinya kado yang tepat, gelang berbandul hati.
Refleks Ranti menyentuh pergelangan tangan kirinya.
Gelang itu masih ada di pergelangannya. Dia menunduk menatap gelang itu. “Maaf,
Ran. Aku tak punya perasaan mendalam lagi untukmu,” bisiknya lagi.
Apakah itu kalimat yang tepat? Ya, itu lebih baik.
Ranti membatin.
Maaf,
Ran. Aku tak punya perasaan mendalam lagi untukmu, aku ingin kita mengakhiri
kisah kita dan jadi sahabat saja.
Sepertinya gadis ini sudah mendapatkan kalimat yang
tepat untuk disuarakan pada Ranto ketika pacarnya itu tiba nanti.
“Ramai sekali, ya?”
Ranti kaget. Seorang cewek baru saja duduk di
sampingnya. Kursi yang didudukinya ini memang cukup luas untuk ditempati oleh
dua orang, bahkan tidak akan kesempitan untuk menampung tiga bokong sekaligus.
Semua kursi di taman sepertinya sudah terisi, wajar saja cewek ini duduk
bersamanya. Toh kursi ini bukan milik Ranti pribadi.
“Ya, kebanyakan anak-anak,” respon Ranti
sekadarnya. Ekor matanya memerhatikan gadis yang baru saja menghempaskan diri
di sebelah kirinya. Dia menaksir usia si gadis sama dengannya. Mereka sebaya.
“Hemm, semua kursi terisi. Untungnya aku menengok
ke sini,” ucap cewek itu sambil memencet-mencet tombol ponselnya. Sepertinya dia
sedang mengetik pesan.
“Aku juga baru saja mendapatkan tempat duduk,”
respon Ranti.
“Oh, ya?” Cewek di samping Ranti menoleh. “Kau juga
baru datang?” dia tampak antusias, “Janjian dengan siapa?”
Ranti tersenyum. Begitulah, selain jadi tempat
bermain bagi anak-anak, taman ini juga menjadi lokasi pilihan bagi orang-orang
untuk membuat janji bertemu, juga berpacaran bagi muda-mudi. Cewek di sebelah
Ranti tak salah langsung bertanya demikian. Dia bahkan menebak dengan benar. Ranti
memang sedang ada janji.
“Aku Riri.” Cewek bernama Riri itu mengulurkan
tangannya pada Ranti. “Aku sedang menunggu pacarku. Dia akan datang sebentar
lagi.” Sepertinya Riri ini tipe cewek yang suka bicara blak-blakan.
Ranti menyambut uluran tangan cewek bernama Riri itu.
“Ranti,” jawabnya. Haruskah aku memberitahu gadis ini kalau aku juga sedang
menunggu pacarku? Ranti bertanya dalam hati.
Riri tersenyum. “Kau juga sedang menunggu pacarmu, Ranti?”
Ranti mengangguk sambil menarik tangannya. “Ya, aku
punya janji bertemu di sini.”
“Kencan?” tembak Riri.
Ranti menggeleng. “Aku akan memutuskannya.” Agaknya
Ranti tertular bicara blak-blakan.
Mulut Riri menganga. Tetap ternganga hingga
beberapa detik. Lalu dia bersuara. “Wow… satu kisah cinta ternyata akan berakhir
hari ini.” Nadanya terdengar riang. “Maaf, aku turut sedih mendengarnya.” Kali
ini suara Riri lebih berempati.
Ranti mengernyit. Dia menatap heran cewek di
depannya. Satu kalimat bernada ceria, lebih seperti orang yang sedang bercanda
lalu disusul kalimat bernada bela sungkawa. Cewek aneh.
“Aku juga kerap punya masalah dengan pacarku, tapi
sampai saat ini kami belum ingin putus. Yah, tergantung cara kita menyikapi
masalah itu juga sih.” Riri mengira kalau Ranti ini ingin putus dengan sang
pacar karena punya masalah yang tak bisa diselesaikan. Masalah yang cuma bisa
diselesaikan dengan memutuskan hubungan.
“Kami baik-baik saja,” sahut Ranti kalem.
Giliran alis Riri sekarang yang bertaut. Dia
menatap bingung pada Ranti. “Kalian baik-baik saja tapi ingin putus?” Riri
menggeleng beberapa kali. “Aneh.”
“Tidak aneh jika kau sudah tak merasa cinta lagi.”
Mulut Riri membulat. “Masalah utamanya memang
selalu antara cinta dan tak cinta ya…”
Ranti mengangguk.
“Kau sudah kepincut lelaki lain, ya?”
Ranti melotot. Untuk orang yang baru bertemu di
bangku taman, dia menilai cewek di sampingnya ini terlalu berani, dan… tidak
sopan.
Riri tersenyum. “Jangan tersinggung, mulutku memang
ceplas-ceplos begini.”
“Tak apa,” jawab Ranti. “Kebanyakan kita memang
memutuskan hubungan karena telah berjumpa dengan seseorang yang lebih di atas
orang yang sedang jadi pacar kita. Berjumpa dengan yang lebih cakep, dengan
yang lebih pintar, atau yang lebih perhatian. Intinya lebih baik dari pada
pacar. Namun aku tidak begitu. Aku tidak sedang tertarik dengan seorang pun. Aku
hanya tak cinta lagi. Itu saja.” Ranti menatap gadis di sampingnya. “Kau tak
salah kok bertanya begitu.”
Riri tersenyum lalu menepuk tangan kawan
sebangkunya. “Aku mengerti,” ujarnya. “Bukankah alasan karena tidak cinta lagi
itu lebih baik ketimbang alasan bahwa kita sedang tertarik dengan seseorang
yang lebih segalanya dari sang pacar? Kamu punya good reason, Ranti.
Karena sudah tak cinta lagi. Seharusnya begitulah alasan semua orang ketika
hendak memutuskan hubungan dengan pacar mereka, bukan karena sudah punya
pengganti, bukan karena selingkuh.”
Ranti tersenyum, “Trims, Riri.”
“Tunggu, apa sih yang baru kukatakan?” Riri
memasang mimik bingung.
Ranti tak bisa menahan tawa. “Kau baru saja
membuatku tak merasa buruk karena berniat mengakhiri hubunganku dengan Ranto.”
“Namanya Ranto?”
Ranti sadar kalau baru saja memberitahu nama Ranto
pada orang asing. “Ya,” jawabnya. Ranti lalu sadar kalau dirinya dan cewek
bernama Riri ini sudah terlalu akrab, tapi dia merasa nyaman mengobrol dengannya.
Tak ada salahnya mencari teman.
“Namanya laki banget, ya?”
Ranti tertawa lagi. “Kami sudah pacaran hampir
setahun.”
“Aku dan Kifli sudah jalan dua tahun,” sahut Riri.
“Namanya Kifli?” Ranti membalas.
“Tak kalah jantan dengan nama pacarmu, kan?” Riri
bertanya penuh percaya diri.
“Ya, namanya juga laki banget.”
“Terima kasih.”
Mereka sama-sama tertawa. Keduanya sudah bagai
kenal lama. Dua orang anak dengan balon gas di tangan berlarian di depan
mereka. Ibu anak-anak itu mengekor di belakang sambil tak henti meneriaki
putra-putrinya agar tak berlari terlalu kencang.
“Kau pernah mengalami situasi sepertiku, Riri?”
Riri menoleh. “Duduk di taman menunggu pacar datang
untuk kemudian memutuskannya?”
“Tepatnya situasi di saat kau ingin memutuskan
pacarmu. Tak mesti tempatnya di taman. Situasinya, pernahkah kau memutuskan
seseorang sebelumnya?” Ranti memperjelas pertanyaannya.
Riri diam, menunduk lalu menggeleng. “Tapi aku
pernah diputuskan satu kali,” ucapnya, sedikit bernada sendu.
Ranti kaget. Dia memusatkan seluruh perhatiannya
pada cewek di sampingnya. “Bagaimana perasaanmu ketika diputuskan?”
Riri mengangkat wajahnya, menatap lurus ke depan.
“Sakit, karena aku masih mencintainya saat itu…”
Ranti merasa bagai dihantam telak. Apa Ranto juga
akan merasa sakit ketika dia memutuskan hubungan mereka nanti? Ranti meremas
jarinya. Mendadak dia merasa tak siap untuk mengakihiri hubungannya dengan
Ranto. Padahal sebelumnya dia sudah menemukan kalimat yang tepat untuk
diutarakan pada pacarnya itu.
“Bila kau diputuskan ketika masih begitu mencintai
pacarmu, percayalah Ran… rasanya bagai mati suri.” Riri melanjutkan kalimatnya
sambil menatap Ranti. “Keadaannya akan lain bila kau tidak lagi memiliki
perasaan pada pacarmu ketika kau diputuskan. Itu rasanya tentu bagai lepas dari
belitan tali di seluruh badan. Lepas dan bebas, seperti beban mahaberat baru
saja diangkat dari pundakmu.” Riri menarik napas, ceplas-ceplosnya hilang entah
ke mana. “Tapi keadaan begitu tak sering terjadi…”
“Keadaan yang bagaimana?” Ranti menukas.
“Keadaan kau diputuskan saat sudah tak cinta lagi.
Itu jarang terjadi. Kebanyakan adalah, diputuskan ketika masih begitu cinta.”
Ranti terdiam. Dia mencoba memahami perasaan
seperti yang diutarakan Riri. Pikiran Ranti bercelaru. Ucapan-ucapan Riri
berputar di kepalanya, diuraikan saraf-saraf berpikirnya.
Dari
mana aku bisa tahu kalau Ranto sudah tak mencintaiku lagi?
“Tapi aneh juga, kan? Sepertimu misalnya. Kau akan
memutuskan hubunganmu karena sudah tak cinta lagi, sedangkan ada kemungkinan
pacarmu masih mencintaimu. Itu berarti kau telah menyakiti satu hati, kan?
Lalu, kalau kau tak memutuskannya, maka artinya kau akan melewati hubungan tanpa
cinta. Itu pasti akan membuat dirimu sendiri tersiksa. Tidakkah menurutmu
begitu?” Riri meminta persetujuan Ranti.
“Mungkin…” ucap Ranti tak yakin. “Tapi yang
mendorongku untuk memutuskan Ranto adalah, aku tak ingin terus memberinya
kepura-puraan. Berpura-pura masih mencintainya padahal tidak. Berpura-pura
masih memiliki perasaan seindah saat pertama kali jatuh cinta padanya, padahal
perasaan seperti itu sudah tak ada. Aku tak ingin terus jadi penipu dengan
memberinya cinta bohongku.”
Riri mengangguk. “Kau benar.”
“Apakah menurutmu Ranto akan terluka?”
Sekarang Riri tertawa. “Aku tak tahu. Kau yang
menjalin hubungan dengannya, tentu kau sendiri yang lebih tahu.”
Ranti terdiam.
“Aku pernah membaca, katanya laki-laki lebih cepat
bisa move-on ketimbang perempuan. Entahlah
benar atau tidak. Tapi aku rasa itu bisa menghiburmu. Berpikir saja begini,
Ranto memang akan terluka, tapi dengan cepat dia akan melupakanmu. Karena dia
lelaki, pasti lebih kuat.”
“Hemm…,” gumam Ranti. “Menurutmu, kalimat seperti
apa yang paling baik untuk kuucapkan pada Ranto nanti? Kalimat yang membuatnya
tak terlalu terluka.”
Riri tertawa lagi. “Apa kalimat yang sudah kau
persiapkan?”
Ranti berdeham. “Tak banyak.” Dipandanginya Riri. “Mungkin
kau bisa menyarankan beberapa?”
“Well,
aku sendiri tidak punya pengalaman memutuskan lelaki. Tapi jika boleh
kusarankan, tinju sedikit bahunya setelah kau mengucapkan apapun kalimat
putusmu, lalu lanjutkan dengan kalimat begini…” Riri mendeham. “Ranto, lihat,
dengan jadi sahabat kita tak perlu segan memukul. Kita bisa bebas bercanda
apabila kita bersahabat saja.”
Ranti bengong sejenak. “Apa bagian pukul-memukul
itu penting? Bagaimana kalau dia marah diputuskan lanttas balas memukulku? Bisa
saja aku terjungkal dari kursi, kan? Kau tahu, itu mengerikan.”
Riri terbahak. “Baiklah, lupakan bagian pukul bahu
itu. Kekhawatiranmu bisa mungkin terjadi mengingat kau yang akan mengucap kata
putus. Namun, jangan lupakan kalimat yang menggambarkan bahwa kalian akan baik-baik
saja dengan jadi sahabat. Itu perlu agar kalian tetap bisa memiliki hubungan
baik sebagai mantan pacar di kemudian hari.”
Ranti mengangguk. “Aku tak akan lupa.”
Ponsel Riri berdering. “Kifli, sepertinya dia sudah
datang.” Riri memberitahu setelah melihat layar ponselnya.
Ranti mengangguk lantas mempersilakan cewek yang
baru dikenalnya beberapa menit lalu itu untuk menjawab teleponnya.
Riri berbicara di corong ponsel, tak banyak, hanya
dua kalimat saja. “Iya sayang…” dan “Aku segera ke situ.”
“Selamat kencan, ya!” seru Ranti begitu Riri
selesai bicara.
Riri tersenyum. “Kau juga, semoga sukses dengan
agenda memutasikan pacarmu,” balasnya dengan candaan. “Aku pergi ya, Kifli
sudah di gerbang.” Riri mengulurkan tangan pada Ranti mereka bersalaman
kembali. “Senang berbicara denganmu, Ranti.”
“Ya, terima kasih juga untuk beberapa menitmu di
sini.”
Riri mengangguk, “Sampai ketemu lagi.” Lalu dia
berbalik pergi, menyongsong kekasihnya di pintu gerbang taman.
Sendiri. Ranti kembali melirik jamnya. Jarum
panjang hampir tepat menunjuk angka dua belas. Jam lima sore sudah di ambang
pintu. Apa Ranto akan terlambat? Pacarnya itu tak pernah terlambat sebelum ini.
Jika hari ini dia terlambat, maka itu akan jadi kali pertama sekaligus kali
penghabisan dalam sejarah hubungan mereka.
Ranti kembali menyentuh gelangnya. Apa aku harus
mengembalikan gelang ini? apa aku harus mengembalikan beberapa hadiah yang
pernah diberikan Ranto untukku? Berapa banyak mereka yang mengembalikan
benda-benda pemberian pacar ketika sudah tidak lagi berstatus pacaran?
Ya,
mungkin aku harus mengembalikan gelang ini, juga kado lain yang pernah
diberikannya.
Tidakkah itu akan semakin melukai perasaannya?
Ranto akan semakin terluka karena barang-barangnya dipulangkan balik. Seolah
benda-benda itu tak pernah punya arti. Seakan benda-benda yang diberikannya
dengan sepenuh hati itu tak pernah dihargai. Seolah-olah dirinya tak pernah
dianggap.
Tidak,
aku tak harus mengembalikan apa-apa. Ranto tak akan terlalu terluka. Malah
mungkin dia akan merasa terhibur karena aku masih memakai benda-benda
pemberiannya.
Ranti memandang sekitar. Taman semakin ramai.
Gerobak-gerobak jajanan mulai dikerubungi pengunjung. Seperti gula dikerubungi
semut. Riuh rendah suara anak-anak ikut meramaikan suasana. Anak-anak yang
menangis, yang berteriak-teriak, atau yang tertawa bergelak. Semuanya tumpang
tindih bersama deru mesin kendaraan yang lalu lalang di jalan sekeliling taman.
Kalimat Riri, cewek yang hanya dikenalnya hitungan
menit beberapa saat lalu, kembali mengiang.
‘Jangan
lupakan kalimat yang menggambarkan bahwa kalian akan baik-baik saja dengan jadi
sahabat. Itu perlu agar kalian tetap bisa memiliki hubungan baik sebagai mantan
pacar di kemudian hari.’
Kalimat yang menggambarkan bahwa mereka akan
baik-baik saja dengan bersahabat. Seperti apa kalimat itu tepatnya?
Ran,
aku tak punya perasaan lagi untukmu. Aku ingin kita mengakhiri kisah kita dan
jadi sahabat saja. Percayalah, kita akan baik-baik saja dengan jadi sahabat.
Tak ada yang berubah. Aku akan menyayangimu… sebagai sahabatku.
Apakah begitu? Ya, sepertinya begitu saja cukup. Utarakan
kalimat itu lalu pergi. Ranti memantapkan diri.
Sepasang muda-mudi melintas di depannya lalu duduk
di bawah pohon dekat dengan kursi tempat dia menunggu. Pasangan itu duduk di
akar pohon. Meski tanpa berpegangan tangan, Ranti bisa mengetahui kalau mereka
adalah sepasang kekasih. Bahasa tubuh muda-mudi itu menjelaskan status mereka.
Pandangan mata mereka ketika berbicara memperlihatkan formula rumit yang tak
bisa dijelaskan. Formula yang sedang melanda keduanya. Formula cinta.
Ranti pernah merasa seperti sepasang muda-mudi itu.
Ketika untuk pertama kalinya dia jatuh cinta. Pertama kalinya tertarik. Pertama
kalinya terpesona dan semakin terpesona. Ranti ingat bagaimana rasanya ketika sudah
menjalin hubungan percintaan dengan Ranto. Tapi sejak perasaan cintanya pada
Ranto terkikis sedikit demi sedikit, seiring waktu dia sudah tidak merasa begitu
lagi.
Tidak,
jangan sekarang. Aku tak ingin mengenang kisah cintaku dengan Ranto. Tidak di
saat aku siap untuk mengakhiri kisahku.
Kenyataannya, Ranti tak bisa melarang memorinya
untuk mengingat. Menunggu membuatnya mengingat kembali perjalanan cintanya
besama Ranto. Namun ingatannya semata-semata hanya untuk membunuh waktu dalam
menit-menit menunggu, bukan untuk membangkitkan lagi gelora cinta yang pernah
membara di hatinya kepada Ranto dulu.
Mereka bertemu di kegiatan bakti sosial di sebuah
panti asuhan. Ranti bersama beberapa rekan satu jurusannya bertemu dengan Ranto
dan beberapa teman satu ruangnya ketika kegiatan bakti sosial itu. Love at the first sight, begitulah Ranti
menyebutnya. Saling pandang, dari mata turun ke hati, maka hati pun
berdesirlah.
Selanjutnya, selama beberapa hari kegiatan baksos itu,
dia dan Ranto menjadi akrab. Ranto menyatakan cintanya pada Ranti di hari
terakhir kegiatan bakti sosial mereka, disaksikan rekan-rekan mereka berdua, di
hadapan anak-anak panti. Tak perlu pikir panjang, Ranti langsung berkata ‘ya’
ketika Ranto bertanya dengan sangat gentle.
Bersediakah kau jadi pacarku?
Lalu hari-hari terlewati dengan predikat sepasang
kekasih yang mereka sandang. Semakin lengket dan semakin membara saja perasaan
di hati keduanya. Kemudian hari menutup bulan-bulan, perasaan mereka masih
menyala, masih cinta, masih sayang, masih mendamba. Setelah bulan, bulan, bulan,
dan bulan terkumpul lagi, Ranti merasa hatinya hambar, perasaannya menjadi
tawar, api cintanya tak lagi berkobar. Padam. Saat itulah dia bertopeng di
depan Ranto. Dia bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Cintanya tidak lagi ada
buat seorang Ranto. Cintanya hilang tak berbekas lagi, menguap bagai air yang
terus dipanaskan hingga kering. Ranto bukan lagi yang tercinta. Ranto bukan
lagi pemilik hati.
Puncaknya, hari ini dia bersiap-siap untuk
mengakhiri kebohongannya, mengakhiri kepura-puraannya. Semoga Ranto bisa
menerima, dengan lapang dada dan tangan terbuka, dan kemudian jadi sahabatnya.
Seperti yang sudah diniatkannya sejak punya hajat untuk berkata putus.
Ranti lagi-lagi melirik jam. Empat menit melewati
pukul lima sore. Ranto terlambat, untuk pertama kalinya selama mereka pacaran,
dan pasti akan jadi terakhir kalinya juga. Jika mereka membuat janji lagi untuk
bertemu di kemudian hari dan Ranto datang terlambat lagi, maka itu adalah terlambat
di ranah lain, ranah persahabatan.
Sekarang Ranti melihat layar ponselnya. Barangkali
dia tak peka saat benda itu berdering kerena terlalu bising di sekitarnya.
Layar ponselnya bersih, tak ada tulisan new
message atau missed call di situ.
Ranto tak menelepon atau mengirimkan pesan mengabarkan kalau dia akan
terlambat.
Kini Ranti mulai menoleh kesana-kemari. Dia memandang
ke gerbang masuk taman, mencari-cari sosok Ranto di sana. Tak ada, pacarnya itu
belum datang. Untuk pertama kalinya, Ranti merasa gelisah dalam penantian.
Sesuatu yang tak pernah dirasakan Ranti sebelumnya. Dia tak pernah gelisah
menunggu Ranto karena Sang Pacar tak pernah terlambat. Sekarang, Ranti
merasakannya. Dia gelisah. Dan entah bagaimana, itu melahirkan perasaan lain,
sensasi lain di hatinya. Belum pernah dirasakan sebelumnya. Sensasi gelisah itu
seakan memerangkapnya.
Beginikah
rasanya gelisah menanti kedatangan orang yang dicintai?
Ranti memandang jam lagi. Tujuh menit sudah. Ranto
sudah terlambat selama itu. “Aku akan meneleponnya,” bisik Ranti. Dia tak mau
semakin gelisah, padahal baru tujuh menit saja. Gadis ini mencari-cari nama
Ranto di ponsel, dan segera menemukannya. Nama Ranto tertulis indah di sana dengan
tambahan kata My Prince setelahnya. Ranti segera memencet tombol hijau.
“Ran…”
Ranti mendongak. Sosok jangkung Ranto sudah tegak
di depannya. Jaket pemberiannya sebagai kado ulang tahun beberapa bulan lalu
membungkus pas di badan Sang Pacar. Lalu, semua kata yang telah dipersiapkannya
tercerai-berai, tak bersisa satupun, digantikan oleh satu kalimat yang
menggaung dalam hati dan pikirnya.
Aku
masih mencintai lelaki ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar