Ternyata cara kerja cinta itu begitu diam-diam dan senyap |
“Ketika
cintamu tidak mendapatkan tempat pada hati yang kamu pilih, itu bukan karena kamu
pecundang, tak cukup baik atau tak cukup pantas. Hanya, cintamu butuh sebuah
hati yang sedikit lebih luas, sedikit lebih besar dan sedikit lebih lapang
untuk menampung cintamu yang besar. Kenapa? Karena kamu dan cintamu spesial…”
*
Akhirnya aku jatuh cinta juga.
Kupikir,
aku akan melewati masa mudaku tanpa sempat merasakan jatuh cinta. Kupikir, aku akan langsung menikah
dengan seorang wanita di saat aku sudah bisa disebut pria dewasa, menikah karena tuntutan usia. Meski saat
itu mungkin aku akan jatuh cinta pada istriku, tapi saat itu tentu usiaku tidak
semuda sekarang. Sejauh ini, aku melewati masa mudaku dengan pikiran semacam itu, bahwa aku tak akan pernah jatuh cinta lalu pacaran. Aku bahkan nyaris meyakininya.
Namun sekarang aku jatuh cinta. Aku.
Jatuh. Cinta. Oh, God… this
can’t be real. Tapi aku benar-benar
sedang jatuh cinta.
Aku
mengenalnya pertama kali bukan secara tidak sengaja. Kebetulan berada begitu
jauh dariku. Dia adik kelaku, aku lebih duluan dua tahun jadi mahasiswa di
fakultas kami dibanding dia. Tapi, momen kedekatan kami kupikir bisa jadi adalah
sebuah kebetulan kecil. Aku ingat hari itu dia sedang bergelut dengan tugasnya
di perpust, tampak begitu depresi dan tidak bahagia. Dan ekspresi tidak
bahagianya itulah yang membuatku tertarik memperhatikannya lama-lama. Dan
tahukah, ternyata cara kerja cinta itu begitu diam-diam dan senyap. Ada yang
berdesir di dadaku dalam masa yang singkat itu. Hatiku berujar heran, apa yang terjadi pada mataku selama ini
hingga buta tak melihat kalau Zamera Libra itu ternyata menggemaskan? Jadi,
kuletakkan buku di tanganku untuk kembali terjepit bersama buku-buku lainnya di rak perpustakaan.
Kupikir,
dia siap merobek buku tugasnya ketika aku datang ke mejanya. Ketika
kutawarkan bantuanku, dia tersenyum cerah. Melenyapkan semua rona tidak bahagia
di dirinya. Anehnya, aku juga turut merasa seakan semua energi negatif
meninggalkanku. Lalu, yang dilakukannya adalah, menyodorkan buku tugasnya
padaku sambil berujar, ‘Kak Aries datang
di saat yang tepat, aku hampir aja bunuh diri’. Dan yang kulakukan
hanyalah, terpesona pada anak-anak rambut di sekitar wajahnya yang lepas dari
kuncirannya.
Dan
hanya dengan begitulah, aku jatuh cinta.
*
“Kapan
harus dikumpulin?”
Libra
memberiku cengirannya. Aku hapal sekali gelagatnya yang ini. Cengiran itu mewakili "secepatnya" atau "dalam minggu ini" atau "besok".
“Okey, nanti malam kukerjain. Besok sebelum ke kelas, kamu ambil aja ke kelasku, bisa?” Libra
mengangguk dan sekali lagi memberiku cengirannya.
Kadang,
ingin saja aku meneriakkan padanya kalau aku suka dan sayang dia, kalau aku
sudah jatuh cinta padanya. Tapi yang terjadi padaku pada saat yang "kadang-kadang" itu adalah, aku takut dia akan menolakku, atau memberiku
jawaban yang lebih meyakitkan lagi semisal "Aku sudah
menganggap Kak Aries bagai kakakku sendiri."
Aku tak ingin dia menolakku
dengan jawaban apapun. Itu membuatku takut kehilangan perasaanku padanya. Kehilangan cinta yang sudah sempat kurasakan. Aku juga takut jika kunyatakan cintaku, selain menolakku, Libra juga
akan menjauh. Membayangkan diriku kehilangan saat-saat kebersamaan kami, saat-saat
aku mendapati diriku menyukai semua yang ada pada diri Libra, kehilangan semua
detik yang kulewati dengannya, itu membuatku takut luar biasa. Jadi, "kadang-kadang" itu berlalu begitu saja. Aku tidak meneriakkan apapun padanya.
“Nanti
pulang dengan siapa?”
Libra
menyeruput habis es jeruknya hingga sedotannya mengeluarkan bunyi ribut. Ini
juga adalah kebiasaannya sebelum berlanjut ke kebiasaan lainnya: membersihkan
mulutnya langsung dengan punggung tangannya meski di atas meja jelas-jelas
menggeletak kotak serbet. “Sama Gemini, Kak,” jawabnya.
Gemini adalah sahabat karibnya. Sangat karib sampai aku sempat mengira mereka adalah saudara kembar tidak identik. “Oh.
Bagaimana kabarnya dia?”
Libra
mengangkat bahunya, “Kupikir Gemini butuh suasana baru, kemarin aku baru aja
nyaranin dia pindah kosan.”
“Pindah kosan? Kenapa sampai harus begitu?”
Libra
tersenyum penuh misteri. “Hanya masalah perasaan.”
Aku
mengernyit. Libra bilang, "hanya"? Tidakkah dia setuju kalau "perasaan"
bukanlah masalah yang bisa dikategorikan "hanya"?
Libra
sejenak menerawang. Angin yang berembus dari fan di langit-langit kantin kembali mengusik anak-anak rambut di
sekeliling wajahnya. Aku mati-matian menahan hasrat agar tidak mengulurkan tanganku lalu menyentuh helai-helai
itu dan menyelipkannya di belakang telinganya. Gigiku sampai bergemelutukan karenanya.
“Kak
Aries pernah mengalami, menyukai seseorang dengan begitu dalamnya tapi tak bisa
mengutarakan pada orang tersebut bahwa Kak Aries suka?”
Di
kursiku, seluruh anggota dan indraku berubah kaku demi mendengar pertanyaan Libra.
“Nah,
kira-kira begitulah yang saat ini dialami Gemini. Yang lebih parahnya,
kesempatan buat Gemini untuk bersama dengan orang yang dia sukai itu nyaris nol
besar. Malah kupikir tak ada peluang sama sekali…”
Aku menyukaimu, Libra… apakah
kesempatanku untuk bersamamu juga nol besar? Apakah peluangku dapat bersatu
denganmu adalah tak ada sama sekali?
“Beberapa
hari ini, aku di kosan Gemini sampe larut malam. Dia butuh seseorang untuk mengawaninya melewati fase patah
hatinya. Dan di sini dia hanya punya aku untuk menemaninya. Kasihan dia lho, Kak…”
Aku
berdeham, “Gemini naksir suami orang?”
Sejenak
Libra tertegun, lalu tertawa renyah dan memukul lenganku. “Enggak, bukan. Amit-amit...”
“Terus?
Suka sama suami kakak perempuannya? Kok peluang mereka bisa bersatu bisa sampe nol besar gitu?”
Libra
tertawa makin keras. Ini juga adalah kebiasaannya dalam menanggapi leluconku,
tak pernah tidak tertawa, meski kadang leluconku cukup garing dan biasa bagi orang lain. Kupikir, itu adalah
cara Libra menghargaiku usahaku melucu. Jadi, kini dia tertawa meski menurutku candaanku kali
ini sama garingnya dengan candaanku yang sudah-sudah. Lalu dia meneruskan
kebiasaannya: memukul lengan atau lututku atau kadang menusuk dadaku dengan
telunjuknya. Seperti sekarang.
“Gemini
gak punya kakak ipar.”
“Lantas, dia mendam perasaan buat siapa sampai gak ada peluang sama sekali buat bisa bersatu?” tanyaku ingin tahu.
“Rahasia.”
“Okey, kalau gitu jawaban tugasmu juga bakal rahasia
semua.”
“Yah,
Kak Aries kok gitu,” rengeknya manja.
Ini
juga salah satu kebiasaannya yang kusuka. Kadang aku sengaja menggodanya dengan
menolak membantunya mengerjakan tugas kuliahnya pakai bermacam alasan: ngantar
nyokap ke arisan seminggu penuh, bentrok jadwal fitness, adikku minta dikawani
nonton ke xxi, atau tugas sendiri sedang menumpuk. Dan Libra dengan manjanya
akan merengek-rengek padaku untuk tetap dibantuin, sedang aku menikmati caranya merengek padaku.
“Kak
Aries, Please… please…” Sekarang Libra mencondongkan badannya ke arahku, menumpukan
lengan kirinya di meja sementara tangan kanannya menggoyang-goyangkan bisepku. Wajahnya menampilkan ekpsresi ter-memelas sedunia yang entah dipelajarinya dari
mana. Ini adalah salah satu momen yang paling kunikmati. Aku merasa jadi hero
buat Libra saat aku mengiyakan rengekannya.
Aku
tersenyum. “Iya iya… kan tadi udah kubilang buat ngambil ke kelas
besok.”
Libra
tertawa senang. “Makasih, Kak.”
“Anytime…,” kataku.
Apapun akan kulakukan
demi menyenangkanmu, Libra… apapun.
“Aku
balik kelas lagi ya, Kak. Pak Dharma tidak pernah menolerir keterlambatan sesingkat
apapun.”
“Oke,
sampai ketemu besok.”
Libra
mengangguk.
Gadis
itu menyandang tasnya, tersenyum singkat padaku lalu berbalik pergi.
Kumanfaatkan tempo yang singkat sebelum sosoknya hilang itu dengan memandangi
gerakan kunciran rambutnya yang selaras dengan langkah kakinya. Lalu sebuah
kesadaran mutlak mencuat dalam hatiku. Aku sadar, aku pasti tak bisa hidup tanpa memandang
kunciran itu.
*
Libra
meneleponku pagi-pagi buta. Katanya, dia akan membantu karibnya pindah kosan.
Nyawaku belum terkumpul semua saat dia menyebut nama Gemini. “Siapa
Gemini?” tanyaku setengah tidur sambil menendangi selimut.
“Ya
ampun, Kak…” Di ujung sana Libra terdengar putus asa. “Itu Gemini, temanku,
masa gak ingat sih!”
“Oh…
iya. Gemini yang menyukai seseorang dengan peluang dapat bersatu nol besar, aku
ingat sekarang.”
“Kebangetan,”
kata Libra tidak senang.
Ingatanku
tertuju pada Gemini, cewek enerjik yang selama ini selalu tampak ceria setiap
kali kami bertemu. Kata Libra dia baru patah hati dan baru keluar dari rumah sakit.
Kasihan, cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Pertanyaannya,
apakah nasibku akan sama dengan Gemini jika peluangku bersatu dengan Libra juga nol besar?
“Kak
Aries,” panggil Libra.
“Ya?”
“Bantuin
Gemini pindahan, mau ya?”
Aku
mengucek mata, “Kamu ikut?”
“Tentu
saja.”
Aku
bangkit berdiri dan duduk di tepi ranjang. “Aku mandi dulu.”
“Oke.”
“Bentar
lagi kujemput di rumah…”
“Nah,
itu oke banget.”
Tawa Libra di ujung obrolan menghangatkan pagiku. Aku
turun ke lantai bawah, menemui mamaku dan memberitahukan padanya kalau aku tak bisa mengantarkannya
belanja bulanan karena ada tugas kelompok mendadak. Tapi adikku malah meledekku,
katanya, aku tidak benar-benar ada tugas kelompok, tapi punya kencan dengan pacarku. Pertimbangan adikku karena ini hari minggu. Kalau saja Libra sudah
resmi jadi pacarku, kurasa adikku sedang berkata jujur. Tapi, Libra bukan pacarku.
*
Kata
Libra, Gemini sudah siap menyongsong hari baru di tempat baru. Tapi yang
kutemukan di teras kosan itu adalah, sesosok hantu. Gemini persis orang yang kehilangan
motivasi untuk hidup. Entah karena dia baru saja sakit, entah karena perasaan tak
berbalas atau mustahil terbalas yang dipendamnya terhadap entah siapa, telah
mengikis semua semangat hidupnya hingga tak bersisa. Aku kasihan melihat cewek malang itu. Sejenak kemudian, aku malah mengkhawatirkan diriku sendiri. Apa aku akan jadi seperti Gemini suatu
saat nanti ketika Libra tidak bisa menerima perasaanku padanya?
“Ada
lagi yang mau dibawa, Gem?”
Gemini
menolehku sejenak lalu menggelengkan kepalanya. “Gak ada, Kak. Itu yang terakhir,”
jawabnya lesu. "Makasih sudah bantuin."
Kupikir,
gadis ini tidak sepenuh hati ingin pindah kos. Bagai ada sebagian kecil dirinya
yang masih ingin berada di tempat ini. Tapi dia tentu punya pertimbangan
sendiri, dan aku tak punya hak mempertanyakannya. Kususul Libra―gadis yang
berhak penuh atasku meski aku belum jadi siapa-siapanya dan dia belum jadi
siapa-siapaku selain cinta diamku―yang sudah lebih dulu menuju mobilku dengan
jinjingan berisi entah apa milik Gemini.
*
“Kalau
misalnya aku ingin jadi lebih sekedar teman buat Libra, apa pendapat
Libra?”
Sudah
kuputuskan. Aku tak ingin jadi seperti Gemini. Aku tak siap. Tak akan pernah
siap. Aku tak sanggup jadi seperti Gemini. Tak akan pernah sanggup. Kata Libra, Gemini
memendam perasaannya sekian lama, sekian lama. Dan apa yang terjadi padanya setelah sekian lama menyimpan perasaan? Dia berubah
jadi mayat hidup. Bagaimana jika dia memendam perasaannya lebih lama lagi?
Kupikir, dia akan kehilangan jiwanya.
Maka aku
tak ingin memendam perasaanku kepada Libra lebih lama lagi. Aku tak ingin
kehilangan jiwa ketika cintaku ternyata tak berbalas. Jadi sebelum aku dan
perasaanku berjalan terlalu jauh lagi, sebelum cintaku berlangsung lebih lama lagi, aku patut
mengutarakannya. Jika pun Libra menolak, kupikir aku tak akan jadi serapuh
Gemini yang sudah memendam perasaan terlalu lama. Namun nyatanya, aku keliru…
Libra
menatapku dengan mimik yang sukar kuartikan. Untuk pertama kalinya sejak aku
mengenalnya, aku merasa seperti tak pernah mengenalnya. Libra berubah asing dan tak terkenali dengan
raut wajahnya itu. Kurasakan keringat bergulir di punggungku, luruh mengikuti
lekuk tulang belakangku. AC mobilku mendadak tak dingin lagi. Diam Libra
merubah susunan udara, mengacak-acak detik waktu dan mengacaukan segala
dimensiku. Dan gelengannya serasa bagai tangan gaib yang merobek rongga dada dan meremas hancur hatiku hingga jadi abu. Kurasakan cahaya
di dalam diriku menjauh sebelum akhirnya padam dan menyisakan gelap belaka.
“Aku
gak bisa, Kak… maaf. Aku gak bisa.”
Hanya
itu saja. Hanya begitu saja. Ternyata aku keliru. Kupikir aku akan baik-baik
saja dan tak akan berubah jadi Gemini. Kenyataannya, aku tepat menjadi seperti
Gemini, bahkan mungkin lebih parah.
Libra
memalingkan wajahnya. Apakah terlalu sakit baginya melihat tatapanku yang
hilang binar? Atau dia merasa bersalah telah memadamkan api yang sebelumnya
masih menyala di hatiku? Memadamkan hingga padam, tanpa menyisakan sedikit pun
bara hangat.
Gemini, kini aku tahu seperti apa
patah hati yang kamu rasakan.
Aku
jatuh cinta, tadinya. Kini… aku patah hati.
Libra
menurunkan kaca mobil, menjengukkan kepalanya keluar. “Gemini…!!! Cepatlah…! Kami tidak bisa menunggumu selamanya!”
Di
samping Libra, di balik kemudi, aku ingin menukar semua yang kumiliki demi bisa
mengundur masa ke beberapa menit yang lalu. Akan kuperbaiki kesalahanku
dengan tak pernah mengungkapkan perasaanku pada Libra. Hanya supaya aku tidak pernah tahu betapa perihnya penolakan.
*
So they say that time, takes away
the pain but I’m still the same…
Heartache yang dilagukan One OK Rock mengalun sama pilu dengan judulnya dari music playerku, menemaniku bergeletakan di kasur. Kata adikku saat
membangunkanku tadi pagi, kamarku mulai beraroma tak sedap akhir-akhir ini. Tadinya aku
ingin mengatakan padanya kalau aroma tak sedap itu disebabkan karena kakaknya
jarang mandi akhir-akhir ini. Tapi kupikir sebab utamanya bukan itu, tetapi
patah hati. Bau tak sedap ini adalah aroma patah hati.
Kalau
saja kutahu patah hati bisa sesakit ini, tidak aku membiarkan diriku jatuh pada
cinta ketika anak-anak rambut Libra memesonaku di perpustakaan suatu waktu dulu.
Kalau saja kutahu…
Pintu
kamarku terbuka, sosok Leo muncul di pintu. “Kabarnya ada bangkai mati di kamarmu.”
Bangkai mati katanya? Keparat betul. Bangkai saja sudah predikat yang sangat busuk, dan playboy tengik ini malah berani bilang bangkai mati? Pasti dia belum pernah jadi pihak yang ditolak.
“Enyahlah…,”
sahutku sambil kubenamkan wajahku ke bantal. Kakak sepupuku itu pasti sudah
lebih dulu bicara dengan adikku di lantai bawah. Lalu lagu One OK Rock
berhenti. Aku mendongakkan kepalaku, Leo Faturrahman sialan sok kecakepan itu baru saja mencabut wayer music playerku. “Aku sedang gak ingin bicara tentang apapun,” kataku lalu
kembali kubenamkan kepalaku ke bantal.
Ranjangku
berdecit. Sepupuku itu pasti sudah duduk di tepi tempat tidurku.
“Sekalinya jatuh
cinta malah berujung patah hati, ck…ck…ck… kasian.”
“Pergi
saja!”
“Aku jarang-jarang
datang ke sini, sekalinya aku datang malah diusir? Yang benar saja, Bro!" protesnya. "Patah hati boleh, tapi jangan memusuhi seluruh
dunia dong,” katanya dengan nada menyebalkan.
“Bukan
urusanmu.” Pertanyaannya, darimana dia bisa menyimpulkan kalau aku sedang patah
hati? Jangan bilang dari aroma kamarku.
“Hei,
Dik… mau kuberi nasihat?”
“Urusi
saja urusanmu dirimu sendiri!” Aku sangsi kakak sepupuku itu mau mendengarku.
“Ketika
cintamu tidak mendapatkan tempat pada hati yang kamu pilih, itu bukan karena
kamu pecundang, tak cukup baik atau tak cukup pantas. Hanya, cintamu butuh
sebuah hati yang sedikit lebih luas, sedikit lebih besar dan sedikit lebih
lapang untuk menampung cintamu yang besar. Kenapa? Karena kamu dan cintamu
spesial…”
Aku
terdiam. Rasanya aneh sekali mendengar Leo ngomong begitu. Kukira dia hanya mahir membuat cewek-cewek terpesona dengan ketampanannya, dan pengaruhnya sebagai sahabat dari seorang aktor. Nyatanya dia bisa bijak juga.
“Suatu
saat nanti, kamu akan tahu ketika kamu berjumpa dengan pemilik hati luas itu. Semua hanya masalah waktu.”
Aku
masih mendiamkan diri, tapi kalimat-kalimat Leo masuk sepenuhnya ke kepalaku.
Ranjang
berdecit lagi. “Jangan lupa datang ke resepsi pernikahanku, undangannya sudah
kukasih sama Bibi.”
Apa, dia akan menikah. Apa yang aku lewatkan? Hemm... pantas saja omongannya jadi bijak, rupanya dia sudah insaf jadi playboy. Aku
mendongak dari bantal, sosok sepupuku sudah di pintu. “Hey…!” Dia berbalik.
“Apa kamu pernah patah hati?”
Sejenak
dia diam bagai menerawang lalu menggeleng.
“Tentu saja kamu gak pernah. Kamu, kan, playboy, membuat orang patah hati adalah keahlianmu," kataku sinis. "Kalau kamu gak pernah merasakan patah hati, maka
jangan pernah menasehati orang lain tentang patah hati dengan omong kosong
apapun. Kamu tidak tahu apapun tentang patah hati!”
Sejenak
Leo tertegun. “Maaf, aku memang gak paham.” Ada jeda. “Mungkin karena itu aku
malah membuat orang lain patah hati, dulu...”
“Kamu
bajingan,” umpatku. "Aku jadi berpikir, kalau aku ini hanya korban hukum karma dari bakatmu yang suka bikin cewek-cewek patah hati. Sepupuku suka matahin perasaan orang, dan sekarang aku yang ngerasain karmanya. Sempurna sekali. Jangan harap aku mau datang ke nikahanmu," pungkasku lalu kembali kubenamkan kepalaku ke bantal.
Tak kudengar lagi suara Leo. Pasti dia sudah pergi. Anehnya, kalimat-kalimat mantan playboy itu masih saja terngiang dalam kepalaku. Seperti kalimat-kalimat itu terjebak di dinding-dinding kamarku.
Note :
Loving, Suffering, and Happy Ending berlanjut ke sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar