Love like sunset |
Ranti melihat pemuda itu berjalan ke arahnya, agak
tergesa. Ransel di punggungnya tampak berat. Saat dekat, dia tersenyum pada Si
Pemuda, Ranto. Sampai hari ini mereka masih berstatus pacaran.
“Maaf, aku telat lagi… ada lembar tugas yang harus
kukumpulkan ke meja dosen.” Ranto melepas ranselnya, meletakkannya di atas meja
lalu menghempaskan bokongnya di kursi, duduk tepat di depan Ranti. “Apa kau
sudah menunggu lama?”
Ranti menggeleng, “Tidak selama kemarin, aku bahkan
belum memesan apapun.”
Ranto melihat sekeliling, “Sepi ya…”
“Hemm… tak banyak yang punya kelas sore.”
“Mau pesan sekarang? Atau kita mengobrol dulu?”
tanya Ranto sambil menggulung lengan kemejanya.
Ranti mengangkat bahu.
“Terserah aku? Baiklah…” Ranto mengangkat
tangannya, melambai pada lelaki paruh baya yang berdiri di balik rak bakso di
bagian dalam kantin.
Mang Ujang –pemilik kantin- berbicara pada gadis
yang bekerja untuknya, si gadis segera menghampiri meja pelanggan mereka.
“Pesan apa, Mas?” tanya si gadis sembari siap-siap
mencatat di notes kecilnya.
“Apa yang kau butuhkan, Ranti?”
Ranti menatap pemuda di depannya, kejadian di Taman
Riyadhah kemarin sore masih membuatnya bingung. Di sana, mereka diam cukup
lama, sama-sama duduk terpekur bersisian di kursi taman sebelum akhirnya pulang
tepat jam setengah enam petang. Rencana yang sudah disusunnya tak terlaksana,
dia belum mengucap putus pada Ranto.
“Ran…?” Ranto memanggil setelah tak mendapat respon
gadis di depannya.
Ranti mendesah, “Pesankan apa saja, Ran…” ujarnya.
“Bakso?”
“Mi ayam saja.”
Ranto tersenyum, “Itu melenceng dari apa saja yang
kau sebutkan sebelumnya, Honey…”
Ranti merasa ditampar, dia menunduk. Faktanya dia
masih mendapat panggilan sayang itu. Keraguan semakin menyingkupinya, dia ragu
kalau hari ini dirinya juga tak akan bisa mengucap putus. Ragu kalau cintanya
masih sama besar seperti sejak pertama kali bertemu dulu, hanya saja dia tak
tahu berada dimana cinta itu selama beberapa bulan terakhir ini hingga
memutuskan ingin mengakhiri hubungannya dengan Ranto.
“Mi ayam dua,” ujar Ranto pada gadis pekerja di
kantin Mang Ujang.
“Iya, mi ayam dua. Ada lagi?” tanya Si Gadis.
“Sirup dingin, boleh?” Ranto melirik Ranti.
“Aku sedang tidak boleh minum es.”
Lagi, Ranto tersenyum. “Kalimat pesankan apa
saja-mu tadi berguguran sudah.”
Ranti menunduk, kegalauan pikiran membuatnya tidak
konsen pada apa yang diucapkannya.
“Air mineral saja, Mbak. Bawakan beberapa gorengan
juga ya!” Ranto menyudahi pesanannya.
Si Gadis mengangguk lalu kembali menuju rak
dagangannya di dalam kantin dimana Mang Ujang bersiaga.
Ranto menatap pacarnya yang masih menunduk, memainkan
ujung taplak meja dengan jari tangannya. Apakah
pikirannya sedang kalut sepertiku? Ranto bertanya dalam hati. Apa dia juga berniat memutuskanku seperti
niatku padanya? Ranto ingat kalau di taman kemarin Ranti bersikap aneh,
padahal gadis itu yang punya hajat meminta bertemu di taman. Mengingat sikap
diam Ranti kemarin, Ranto ragu kalau sebenarnya Ranti juga punya maksud yang
sama dengannya. Apakah dia juga menjadi
ragu kemarin? Ranto kembali membatin, apa Ranti merasa masih mencintaiku
seperti aku merasa masih mencintainya ketika menatap matanya di taman kemarin?
“Apa kau akan diam saja, Ran?” Ranti membuka tanya.
“Kau yang mengajak bertemu di kantin, kita di sini sekarang. Tidakkah ada
sesuatu yang ingin kau beri tahu padaku?”
Ranto menarik napas, melipat lengannya di meja lalu
membuang tatap pada rumpun bunga di sisi kanan kantin. “Kemarin kau juga
mengajakku bertemu, begitu aku sampai di sana kau juga hanya diam,” ucap Ranto,
masih memandang pada rumpun bunga.
“Aku bingung kemarin…” Ranti berucap lirih.
“Apa yang membuatmu bingung?”
“Hatiku…”
“Ada apa dengan hatimu?” kejar Ranto, dia semakin
yakin kalau gadis di depannya punya niat yang sama, ingin memutuskan hubungan
mereka.
Ranti menggeleng, “Aku bingung…”
“Apakah kau bingung sejak duduk di taman dan masih
begitu hingga sekarang?”
Ranti menatap Ranto yang kini juga sedang menatap
padanya, lalu dia mengangguk. “Hatiku membuatku bingung.”
“Ya Tuhan, Ran… kau bisa menularkan bingungmu itu
jika terus saja berkata aku bingung, aku bingung…”
“Kau tidak?” Ranti menukas, “Karena aku menilai
bahwa kau juga sama bingungnya denganku kemarin.”
Ranto bagai dibungkam paksa, dia susah menelan
liurnya sendiri.
“Apa yang ingin kau bicarakan…?” Ranti melirik ke
dalam kantin, selain dia dan Ranto yang memilih meja di luar kantin, di dalam
sana hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang asyik dengan laptop mereka
masing-masing. Sejak dia tiba tadi, keadaan kantin yang berada di dekat gedung
fakultasnya ini memang sudah sepi.
“Ran… aku…” Ranto diam. Bagaimana aku mengatakannya?
Ranti mencondongkan badannya ke depan, “Ya?”
Ranto menatap wajah si gadis, “Apa kau masih
mencintaiku?” dia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan terlebih dahulu pada
Ranti.
Giliran Ranti yang merasa bagai didiamkan secara
paksa. Dia kembali menarik badannya, punggungnya kembali bersandar di kursi.
“Pesanannya, Mas…” gadis yang tadi mencatat pesanan
mereka datang dengan nampan penuh di tangan.
Ranti membantu Si Gadis menata mangkuk mereka di
atas meja. “Trims, Mbak…” ujarnya pada Si Gadis yang direspon dengan senyuman
sebelum kembali melenggang masuk ke dalam bersama nampannya.
Ranto mengambil botol air mineral di depannya,
membuka tutupnya dan langsung menenggak hingga menghabiskan setengah dari isi
botol. Lalu tanpa berkata-kata dia mulai memusatkan perhatian pada mangkuknya.
Hening, hanya denting sendok dan garpu di tangan
Ranto yang terdengar. Dia hampir berhasil mengosongkan mangkuk mi ayamnya.
“Apapun yang menjadi ganjalan pikiranmu sekarang, Honey… jangan biarkan dia merusak selera makanmu.” Ranto berhenti
menyendok, ditatapnya sang pacar, “Lupakan pertanyaanku, okey… kita akan bicara begitu mangkuk kita kosong.”
“Apa kau sendiri masih mencintaiku, Ran?” Ranti
berbisik, cukup jelas untuk di dengar pria di depannya. Tangannya terus
mengaduk-ngaduk di dalam mangkuk, membuat daging ayam di dalamnya timbul
tenggelam di antara belitan mi.
Ranto berhenti mengunyah, “Kemarin sore… apakah kau
berencana untuk memutuskan hubungan kita, Ranti?”
Mereka bertatapan, asap dari mangkuk keduanya
meliuk-liuk dalam jarak pandang mereka.
“Jujur, aku ingin mengutarakan itu padamu kemarin sore
di taman. Sepanjang perjalanan menujumu, aku terus meyakinkan diriku bahwa aku
memang benar-benar ingin mengakhiri hubunganku denganmu…”
Meski sudah mengira, Ranti tetap kaget. “Kenapa?” potongnya.
“Entahlah, aku merasa hubungan kita hambar, datar
dan tak lagi bergejolak seperti dulu.” Ranto melepaskan sendok dan garpunya,
dia kembali menatap rumpun bunga. “Tapi ketika tiba di kursimu, aku malah ragu
dengan keputusanku sendiri…”
Ranti terpekur pada sisi wajah Ranto, menatap tak
berkedip pria yang sudah berstatus sebagai pacarnya hampir setahun ini. Benar
sudah, Ranto juga berniat memutuskannya kemarin.
“Bagaimana denganmu, Ran… apakah salah aku menduga
bahwa kemarin kau juga berniat sama sepertiku?” Ranto sudah kembali menoleh
memandang gadis pacarnya ini.
Ranti mengangguk lemah, satu kali, lalu menunduk
dalam. “Maaf…” ucapnya lirih.
Ranto menghembuskan napas perlahan, “Tidakkah aku
juga berhak meminta maaf darimu, Ran? Aku juga berniat memutuskanmu kemarin…”
“Aku yang mengajakmu bertemu…”
“Tahukah, sebelum kau meneleponku mengajak jumpa di
Taman Riyadhah, aku juga sudah berniat meneleponmu untuk meminta bertemu. Kau
mendahuluiku…”
Ranti diam.
“Apa alasanmu, Ran? Apakah ada pria tak kuketahui yang
sedang memikat hatimu?”
Ranti mengangkat wajah lalu menggeleng keras-keras,
“Tak ada pria lain…”
Ranto tersenyum simpul, “Lantas…?”
“Aku merasa tak punya cinta lagi untukmu, aku
merasa… entahlah, seperti kehilangan loncatan listrik di hatiku. Aku tak lagi
merasakan begitu akhir-akhir ini…”
“Jadi, dalam kalimat lain adalah… aku bukan pria
lagi yang tepat untuk menerima cintamu?”
“Ran, aku…”
“It’s ok,
Ranti…”
“Tidak, bukan begitu…” Ranti menelan ludah. “Aku
tahu kau adalah pria baik, kau tak pernah berbuat kesalahan selama menjadi
kekasihku, kau tak pernah marah-marah, tak pernah memaki-maki, tak pernah
bersikap menyebalkan, tak pernah tidak menepati janji, selalu tepat waktu…”
“Kemarin aku terlambat…” tukas Ranto.
“Hanya satu kali saja, itu tak masuk hitungan.”
“Tapi itu tetap terlambat namanya…”
Ranti menggeleng.
“Mendengar dari tuturanmu, sepertinya aku termasuk
kekasih terbaik yang pernah ada, lalu mengapa kau malah kehilangan loncatan
listrik di dadamu?” Ranto menggerak-gerakkan tangannya di depan dada,
memeragakan denyut jantung. “Seharusnya, dengan segala ke-tidak-pernah-an itu,
loncatan di hatimu bukannya makin kuat dan menjadi-jadi, ya?” sekarang dia
semakin kencang menggerakkan tangannya di depan dada, “Seperti ini…”
Mau tak mau, Ranti tersenyum kikuk. “Jangan konyol,
Ran…”
“Aku hanya mencoba memperlihatkan ujud nyatanya saja…”
Ranto berhenti menggerakkan tangannya.
“Bagaimana denganmu? Kau bilang merasa hambar, apa kau
sudah menemukan gadis yang punya sejuta rasa yang tidak kumiliki?”
Ranto tertawa, “Tidak, aku tidak sedang berusaha
menjerat gadis lain. Aku juga sedang tidak terjerat pesona gadis seperti yang
kau gambarkan, punya sejuta rasa…” Ranto tertawa tertahan, kemudian
menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Adakah nama-nama rasa hingga mencacah
hitungan satu juta?”
“Jangan konyol!” ulang Ranti.
“Tidak, aku hanya menganalisis kalimatmu saja…”
Ranti mendecak, “Jadi kenapa, Ran… apa yang membuatmu
merasa hambar padaku?”
Ranto menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi,
“Kau gadis baik, Ranti. Kau adalah cinta pertamaku…”
“Begitu juga kau, Ran…” tukas Ranti.
“Ya, kita sama-sama tahu itu.” Ranto diam sesaat
sebelum melanjutkan. “Mungkin aneh, bagaimana aku bisa kehilangan rasa cintaku
terhadapmu yang selama ini sudah memerankan peranmu sebagai seorang kekasih
dengan sangat baik, tapi itulah kenyataannya… aku merasa hubungan kita tidak
sehangat masa awal-awal pacaran.” Ranto diam lagi, “Mungkin keadaan kita sama,
Ran… kita sama-sama kehilangan rasa cinta satu sama lainnya.”
Hening kembali, tak ada suara denting sendok dan
garpu kali ini. Mangkuk mereka sudah tak tersentuh.
“Apa ini yang namanya fase jenuh dalam sebuah relationship, Ran?”
Ranto diam.
“Bagaimana menurutmu…? Apa perasaan kita ini bisa
dikatakan dengan jenuh? Kita bosan dengan pasangan, jemu hingga mengikis rasa
cinta yang pernah menjadi modal ketertarikan kita pada sosok pasangan…”
“Aku tak tahu, Ran…” ucap Ranto. “Jika jenuh,
seharusnya kita saling menghindar. Tapi kita tidak begitu kan? Selama ini kita
masih sering ketemu di kampus, masih sering saling mengirim pesan singkat, aku
masih sering meneleponmu, kau juga tak pernah mengabaikan teleponku…”
“Mungkin selama ini kita membohongi diri sendiri…”
Ranto melongo.
“Kita berusaha tetap terlihat seantusias dulu padahal
kita tidak dengan senang hati melakoninya…”
“Kau begitu?”
Ranti tidak menjawab.
“Hemm… mungkin kita memang begitu.” Ranto menjawab
sendiri pertanyaannya.
“Kemarin, sebelum kau datang… aku berbicara dengan
seorang gadis, dia sedang menunggu pacarnya. Dia bercerita kalau diputuskan itu
rasanya sakit bila kita masih teramat mencintai sang kekasih, dia pernah
mengalami itu, pacar pertamanya memutuskan hubungan mereka di saat dia masih
begitu mencintai pria itu. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah kau juga
akan merasa sakit ketika kuputuskan nantinya…”
“Hemm…” Ranto menggumam, membiarkan Ranti
menyelesaikan ceritanya.
“Aku juga minta pendapat gadis itu. Katanya, andai
pun kau terluka, kemungkinan kau akan mudah dan cepat sembuh kembali karena
katanya pria lebih kuat dari wanita…” Ranti tersenyum sendiri, “Namun nyatanya,
kau juga punya niat untuk memutuskanku…”
Ranto menyeringai, “Azhar malah bilang aku bodoh
bila mengakhiri hubunganku denganmu.”
Ranti tertawa, “Kau dapat nasihat apa darinya?”
“Kau ingin tahu?”
Ranti mengangguk, “Katanya, andaipun hubungan kita
berakhir, dia berpesan agar aku bisa membuatmu yakin bahwa hubungan kita akan
sama baiknya ketika sudah tak lagi berstatus pacaran. Katanya, aku harus bilang
padamu bahwa kita akan baik-baik saja dengan jadi sahabat dan kau boleh
memintaku untuk mendampingimu kapanpun kau perlu didampingi…”
“Baiknya dia…”
“Yep, gara-gara dia juga aku terlambat menemuimu
kemarin, Azhar bicara terlalu banyak.”
Ranti mengangguk-angguk, “Katakanlah kau jadi
memutuskanku, andai Azhar tidak berpesan demikian padamu apakah kau sendiri
punya pemikiran semacam itu?”
Ranto langsung mengangguk mantap.
“Memang…” ucap Ranti, “Kebanyakan mereka yang break up pasti akan bilang ‘kita akan
jadi sahabat yang baik setelah ini, tenang saja,’ padahal begitu putus, waktu
mereka akan tersita oleh pacar-pacar baru mereka. Tak ada waktu tersisa untuk
menjalin persahabatan dengan mantan pacar… waktu terlalu sempit untuk sekedar
bertanya-tanya apakah sang mantan sudah makan siang hari ini? apakah sang
mantan sehat-sehat saja? Atau hanya sekedar pesan ‘hai’ saja…” Ranti mengambil
jeda sesaat lalu melanjutkan, “Segera, segala sesuatu terkait dengan mantan
pacar tak ada yang penting lagi begitu kata putus terucap…”
Ranto menggeleng, “Aku tak akan seperti itu.”
“Trims…”
“Kita belum putus, Ran…”
“Memang… kita sedang membahasnya sekarang…”
Beberapa mahasiswa masuk ke kantin sambil berbicara
riuh, mereka langsung disambut Mang Ujang dan karyawannya. Ranto mengikuti
kelompok mahasiswa itu hingga ke meja mereka dengan ekor matanya, kantin jadi
sedikit berisik dengan kemunculan mereka.
“Dalam pandanganmu, siapa di antara mereka yang
paling menarik perhatian?” Ranto iseng bertanya.
“Tidak penting…” Ranti bahkan tak melirik meja
tempat beberapa mahasiswa itu berkelakar di dalam kantin sana.
“Ran, serius… cobalah, mana di antara mereka yang
potensial punya kesempatan lebih besar untuk dipilih seorang gadis?”
Ogah-ogahan, Ranti melirik mereka. “Tak ada…”
Ranto langsung tertawa, “Padahal yang pake kemeja
garis-garis vertikal menurutku punya tampang di atasku.”
Ranti melirik sekali lagi, memperhatikan mahasiswa
yang disebutkan Ranto, lalu melengos. “Aku belum rabun, Ran… kau jauh lebih
menarik.”
“Artinya, aku masih menarik kan di matamu?” todong
Ranto.
“Seingatku, dari tadi aku tidak sekalipun
menyebutmu sudah tak menarik lagi.”
Ranto mengangguk-angguk. “Ya ya ya… kau hanya
kehilangan loncatan listrikmu… bukan begitu, Honey?”
Ranti tak merespon.
“Keberatan jika aku menghabiskan mi ayamku?”
“Silakan…”
“Kau tak ingin mengikuti jejakku?”
Ranti kembali mengaduk-aduk isi mangkuknya, daging
ayam kembali timbul tenggelam dalam lilitan mi. Mangkuk itu sudah tidak berasap
seperti beberapa saat lalu.
“Makanlah, Ran… kasihan Mang Ujang bila nanti
berfikir mi ayamnya tak lagi enak karena kau menyisakan mangkuk utuh, bisa-bisa
dia gulung lapak dan berhenti jualan di kampus kita.”
Ranti tersenyum, pria di depannya masih mempertahankan
sifat konyol yang pernah membuatnya klepek-klepek
suatu masa dulu. Dia mulai menyendok dengan enggan. Beberapa menit selanjutnya,
waktu berlalu dalam kediaman.
“Aku selesai…” Ranto mendorong mangkuknya lebih ke
tengah meja. “Hemm… sepertinya Mang Ujang benar-benar akan pindah tugas,”
lanjutnya begitu mendapati kalau mangkuk Ranti masih penuh. “Apa aku harus
menyuapimu, seperti saat di panti asuhan dulu?”
Ranti tertawa, sekilas momen suap-suapannya bersama
Ranto ketika kegiatan Baksos di panti asuhan dulu melintas di kepalanya. Saat
itu mereka belum resmi pacaran. “Apa kabarnya ya anak-anak di sana…” Ranti
menerawang.
“Yang pasti, mereka masih harus ngantri kalau mau
makan dan mandi,” jawab Ranto.
“Jawaban jelek.”
“Itu realita.”
Ranti mengangguk sekilas, “Menurutmu, apa hubungan
kita yang berawal dari sana adalah realita juga seperti halnya kebiasaan
anak-anak panti itu?”
“Menurutmu?”
“Jangan kembalikan pertanyaanku, Ran…”
Ranto menaikkan sebelah alisnya, “Tentu saja, Ran…
hubungan kita nyata kan? Yah, bukankah dulu kita benar-benar jatuh cinta? Aku
mencintaimu dan kau mencintaiku, aku tertarik padamu kau juga sama tertariknya
denganku, kita lewati hari sebagaimana laiknya orang yang sedang jatuh cinta,
itu real kan? Iya sih, sekarang kita
sedang mengalami krisis perasaan, tapi bukankah ini termasuk realita juga?
Realita dalam sebuah hubungan perkasihan, pasang surut…”
Ranti seperti mendapat pencerahan, pasang surut.
Ya, itu dia. Ditatapnya Ranto, lalu berucap, “Pasang surut, tidakkah kau
menganggap kalau kita sedang mengalami fase seperti itu? Saat ini kita sedang
surut, setelah mengalami pasang di masa awal-awal dulu…”
Ranto mengerjapkan matanya beberapa kali, “Perhaps…” jawabnya singkat.
“Jangan membuatku bimbang, Ran…”
“Ya, baiklah… aku setuju. Hubungan kita sedang
memasuki fase surut.”
“Jadi..”
“Jadi?” Ranto menaikkan alisnya lagi.
“Jadi bagaimana menurutmu?”
Ranto bengong. “Mungkin kita bisa membeli kail,
cari cacing lalu pergi memancing. Katanya, saat air surut itu banyak ikannya…”
“Kau konyol lagi…”
Ranto tertawa, “Baiklah, daripada mendengar
kekonyolanku lagi dan lagi dan lagi, bukankah lebih baik kau yang mengutarakan
persepsimu? Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?”
“Yang jelas bukan pergi memancing.”
“Tentu, lantas…?” Ranto mencondongkan badannya.
Ranti tak menjawab, hatinya mencari-cari lagi.
Mencoba mengingat bagaimana persisnya perasaan yang sempat menghantamnya
kemarin sore di Taman Riyadhah ketika gelisah menunggu kedatangan Ranto. Dia
mencoba menjabarkan perasaannya ketika mendongak dan mendapati Ranto tegak
menjulang di hadapannya dibalut jaket pemberiannya. Bagaimana persisnya
perasaanya saat itu? Bukankah dia sempat berkata dalam hati bahwa dia masih
mencintai pria ini?
“Ran…” Ranto memanggil lirih, badannya masih
condong ke arah sang pacar. “Bagaimana?”
Ranti membuka tutup botol minumnya, mendadak dia
merasa mulutnya kering.
“Yah, kau tampaknya memang perlu minum, Honey…” ujar Ranto lalu kembali menarik
diri ke sandaran kursinya. Menunggu Ranti selesai dengan botol air mineralnya,
dia meraih piring berisi gorengan dan mulai mengunyah. “Agaknya rasa gorengan
Mang Ujang beda hari ini…” Ranto mengecap-ngecap.
“Ada apa dengan rasanya?” tanya Ranti.
Ranto masih terus mengecap-ngecap, “Agak hambar…
tidak ada loncatan-loncatan rasa seperti biasanya di lidahku…”
Ranti langsung memberengut, “Kau menyindir hubungan
kita?”
“Tidak, cobalah…”
Ranto menyodorkan piring gorengan pada Ranti, Si
Gadis menyambut dan langsung mencomot satu gorengan dari dalamnya.
Ranti mengikuti tingkah Ranto, mengunyah
perlahan-lahan sepotong gorengan dalam mulutnya. Keningnya mengernyit, “Rasanya
masih sama seperti hari kemarin-kemarin kok…”
“Tidak hambar?”
Ranti menggeleng.
“Ada loncatan-loncatan rasa di lidah?”
Bingung, Ranti mengangguk.
“Berarti masalahnya ada di lidahku.”
“Kau membuatku bego…” tukas Ranti lalu meletakkan
piring gorengan kembali ke atas meja.
“Tidak tidak… rasanya memang beda di lidahku…”
“Rasanya masih sama.”
“Sama seperti dulu?”
Ranti mengangguk.
Ranto mengangkat bahu lalu meraih piring gorengan
kembali, “Carilah kalimat tepat yang ingin kau sampaikan, Ranti… sembari
menunggumu bersuara, aku akan mencoba menemukan kembali rasa gorengan yang sama
seperti yang pernah dikecap lidahku sebelum ini…”
Lalu Ranto mulai mengunyah lagi, sementara Ranti
menatap pacarnya dalam bingung. Apa maksud kalimat Ranto barusan? Apakah dia
menganalogikan perasaannya sebagai rasa gorengan? Dia ingin menemukan rasa
gorengan yang sama seperti yang pernah dikecapnya sebelum ini, apakah itu Ranto
memaksudkan kalimatnya itu bahwa dia ingin membangkitkan kembali perasaan cinta
yang sama kepadanya seperti yang pernah dimilikinya dulu? Ranti membatin, jika
iya… artinya Ranto tidak jadi memutuskannya? Namun bagaimana dengan dirinya
sendiri? apakah dia ingin memutuskan Ranto? Pasang surut, Ranti kembali
mengingat istilah itu. Tadi dia dan Ranto sempat setuju kalau hubungan mereka
sedang memasuki fase surut, artinya, pasang akan kembali terjadi.
Ranti berdehem, “Ran…” panggilnya.
“Ya?!” Ranto berhenti mengunyah dan menatap mata
Ranti.
“Berikan aku jawaban…”
“Untuk pertanyaan yang mana?”
“Apakah kau masih mencintaiku?”
Ranto meletakkan piring, menelan sisa gorengan
dalam mulutnya lalu menghembuskan napas perlahan. “Ternyata rasa gorengannya
memang masih sama, ya!” katanya. “Seingatku, bukankah tadinya aku yang lebih
dulu mengajukan tanya seperti itu?”
“Anggap saja di sini berlaku ungkapan ladies first… anggap aku yang bertanya
lebih dulu.”
“Hemm… beruntungnya menjadi seorang gadis.”
“Trims…”
Ranto tersenyum lalu menunjuk pada lengan kiri
Ranti, “Aku suka kau masih memakai gelang itu…” ujarnya.
Ranti menunduk memandang gelang di pergelangan
tangan kirinya, disentuhnya bandul hati yang menggantung pada salah satu ring gelang putih itu. “Yang terindah
yang pernah kumiliki…” ucapnya lalu kembali menatap Ranto. “Kau belum
menjawabku.”
Sudut bibir Ranto tertarik, “Apa aku masih
mencintaimu?” Ranto bermonolog, “Jika aku menjawab tidak, apa yang akan kau
katakan? dan bila aku menjawab, aku masih mencintaimu, apa pula reaksimu?”
“Ran, jangan membuatku tak bisa memantapkan hatiku.
Tolong, jawablah.”
“Ya, Ranti…” Ranto mencondongkan badannya lagi,
kali ini lebih dekat dari beberapa kesempatan tadi. “Aku-masih-mencintaimu.”
Ranto mengucapkan kalimatnya dengan penggalan yang amat sangat jelas dan dengan
intonasi yang amat meyakinkan, lalu dia menyambung ucapannya, “Hubungan kita
akan segera pasang kembali… andai kau juga menjawab ya untuk pertanyaan yang
sama dariku…”
Ranti berbinar ketika Ranto menggenggam jemarinya,
dia kehilangan kata-kata. Perasaannya sama ketika gelisah menunggu Ranto di
Taman Riyadhah kemarin sore, sama seperti ketika dia mendongak dan menemukan sosok
Ranto dengan jaket pemberiannya di depannya, perasaannya sama persis seperti
kata hatinya kemarin, aku masih mencintai
pria ini…
“Apa kau lupa pertanyaanku, Ran?” Ranto berbisik.
Ranti berkabut sudah.
“Ya Tuhan, Ran… Please,
don’t cry…”
“Maafkan aku…”
“Shhh… kau tak salah…”
Ranti menggeleng, “Aku salah pernah punya niat
untuk memutuskanmu, padahal kau adalah kekasih terbaik yang pernah ada.
Pertama, terbaik dan satu-satunya…” Ranti bocor, matanya basah.
Ranto menggerakkan ibu jarinya di wajah Ranti, menghapus
tiap basah yang mengalir di sana. “Maka aku juga salah telah punya niat yang
sama, Ran… aku juga sama bersalahnya, mungkin lebih salah lagi…” Ranto membelai
puncak kepala gadisnya, “Please,
jangan nangis lagi…”
“Hemm… Aku mencintaimu, Ran… aku masih mencintaimu…
padahal hatiku sudah lebih awal menyadarinya kemarin sore saat kau berdiri di
depanku…”
“Yeah, I know…” Ranto menyatukan jemarinya
bersama jemari Ranti lalu mengecupnya lama. “Thanks God…” lalu dia menyentuh dagu gadis di depannya. “Tertawalah
Ran, kita akan memasuki fase pasang lagi…”
Ranti tertawa dalam tangis, “Maukah kau menyuapi mi
ayam ini? aku tak mau Mang Ujang pindah…”
Ranto terbahak, mengecup jemari Ranti sekali lagi
lalu mengambil alih mangkuk di depan Si Gadis.
“Beritahu aku jika kau punya niat untuk
memutuskanku lagi, agar aku bisa cepat mengantisipasinya. Kenapa? Karena aku pasti
akan kehilangan semua rasa makanan di lidahku bila kau mengucap putus…”
Ranto menggeleng, “Aku malah berniat mengenalkanmu
pada ayah bundaku…”
Ranti tersenyum cerah. Hari ini, mereka kembali
saling menyuapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar