Dearest Anissa... |
Aku ingin meratapi ketidakberuntunganku,
meratapi kepengecutanku selama ini yang telah mengakibatkan nelangsa hatiku.
Sekarang, ketika sudah terpisah ribuan mil jauhnya, aku baru menyadari bahwa
aku laki-laki tolol. Seharusnya dulu aku tak pernah mengambil kesempatan itu,
seharusnya dia melarangku pergi agar aku tetap di sana, menjaganya yang belum
termiliki. Kini, aku hanya bisa terpekur sambil menatap hampa pada layarku,
membaca suratnya dalam keputusasaan.
‘Kami akan melangsungkan pernikahan
minggu depan...’
Dari begitu banyak
deretan kalimat yang dituliskan dalam suratnya kali ini, kalimat itulah yang
paling meremukkanku. Lalu aku menemukan kepedihan menderaku seiring
kalimat-kalimat di bawahnya yang terbaca begitu jelas, seakan kalimat itu
ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan sekaligus digarisbawahi, seakan
kalimat itu bukan kubaca tapi kudengar langsung dari mulutnya. Padahal tidak.
‘Siapa
sangka, tak lama lagi aku akan berstatus sebagai seorang istri. Ny. Anissa Ismantyo,
namaku akan ditulis selaras dengan nama suamiku nanti. Wanita ini siap
menjalani satu tingkat lagi dalam siklus hidupnya, Jun… berumah tangga…’
Ya,
kau akan berumah tangga, Anissa. Tapi bukan denganku.
Anissa, dialah gadis
kepada siapa perasaanku bermuara, gadis yang kuangan-angankan ribanya menjadi
tumpuan kepalaku saat bermanja di kamar pengantin suatu hari nanti, menjadi ibu
dari anak-anakku kelak, berpegangan tangan melewati hari-hari tua bersama.
Selamanya itu hanya akan jadi angan-angan saja, dalam waktu kurang dari dua
minggu lagi, dia akan menjadi milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun
lamanya hingga berkarang, tak ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang
begitu bodohnya berpikir bahwa gadis yang aku cintai menyadari perasaanku tanpa
kuberi tahu dan akan menunggu hingga aku menyematkan cincin di jari manisnya.
Aku salah, dia tak pernah benar-benar menyadari, itulah mengapa sekarang
hatinya dimiliki oleh laki-laki lain.
Salahku tak
mengungkapkan. Aku terlalu percaya diri bahwa diriku yang ditunggunya, terlalu
yakin bahwa dia bisa membaca gelagatku, ternyata tidak. Salahku juga tak pernah
bertanya. Apakah ada seseorang? Apakah aku yang ditunggu? Apakah ada cinta
untukku? Aku tak pernah bertanya, namun sekarang aku mendapatkan jawabannya.
Dia menjawab semua pertanyaan yang terlupa kuajukan, menjawabnya sedemikian
rinci dalam suratnya kali ini. Bahwa ada seseorang, bahwa bukan aku yang
ditunggu, dan bahwa hatinya telah tertambat.
‘Alan lelaki yang baik, Ayah bilang,
aku akan bahagia bila menikah dengannya…’
Laki-laki pilihannya, mungkin juga pilihan orang tuanya, bernama Alan. Alan Ismantyo. Tidakkah kamu juga akan bahagia bila
bersamaku, Anissa? Hatiku menyeruakkan tanya, aku yakin bahwa aku bisa
membuatnya bahagia. Kusesali diriku yang tak ada di sana untuk membuktikannya.
Membuktikan bahwa aku bisa membuatnya bahagia, membuktikan langsung padanya
juga pada orang tuanya bahwa aku juga lelaki yang baik, bahkan lebih baik dari
laki-laki bernama Alan entah siapa itu.
Sesaat kemudian aku sadar
statusku, apa yang bisa dibuktikan oleh mahasiswa sepertiku? Apa jaminan
kebahagiaan yang bisa kutunjukkan pada mereka? Sedang Si Alan sialan itu
mungkin punya begitu banyak yang bisa dipamerkan melebihi diriku. Ayahnya yakin
dia akan bahagia bersama laki-laki itu. Itu lebih dari cukup untuk Anissa,
orang tuanya merestui.
Salahku
tak ada di sana.
Masih terpekur menatap
layar. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa ketika aku masih berada di sana,
akan kuabaikan peluang mengejar pendidikan yang telah membuatku jauh darinya.
Aku tidak akan kemana-mana jika aku tahu bahwa akibat dari kepergianku itu akan
membuatku kehilangannya. Untuk pertama kalinya, aku menyesali keputusanku menerima
beasiswa melanjutkan pendidikan kemari. Niatku untuk menempati hatinya tentu
bisa kesampaian bila aku tetap bersamanya.
Aku ingin mengundur masa
kembali pada saat-saat aku dan dia tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali
pada kebersamaan yang pernah kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku
berpikir dia tahu. Aku berfikir dia tahu ketika kami berlari bergandengan
tangan dalam hujan saat pulang sekolah, aku berfikir dia tahu ketika kami
berkejaran di taman sambil menjaring kupu-kupu, aku fikir dia tahu ketika kami
berbaring beralas rumput sambil menghitung bintang, aku fikir dia tahu ketika
aku merangkulnya di pantai untuk berfoto, aku fikir dia tahu.
Sekarang aku merutuki diriku yang tak pernah memberi-tahukannya.
Lagi, aku ingin kembali ke salah satu peristiwa itu dan mengatakan kepadanya
bahwa aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa diputar kembali.
Maka di sinilah aku
sekarang, tidak di salah satu tempat dimana seharusnya aku memberitahunya dulu,
tetapi di dalam kamar sempit di negeri yang terpisah jauh darinya. Aku
mendapatkan beasiswa kuliah di Sidney, Australia. Malam ini, menjadi mahasiswa
yang kuliah bukan di negeri sendiri karena beasiswa kuanggap sebagai satu
kesalahan.
Berfikir bahwa
seharusnya aku memberitahukan perasaanku padanya sejak dulu, tak pelak
membuatku kembali mengenang masa-masa manis itu, masa-masa manis yang tercatat
rapi dalam catatanku. Biarlah, mungkin ini kali terakhir aku membiarkan diriku
dimamah kenangan tentangnya. Setelah
ini, Anissa akan benar-benar pergi, dariku dan dari kenanganku…
*
“Jun,
mau menunggu hingga gelap ya?”
Aku mengalihkan
pandanganku dari menatap curahan hujan yang semakin membuat halaman sekolah
tergenang, ke sosok yang berdiri sambil memeluk dada di sampingku. Bahkan jaket
yang kupakaikan padanya beberapa saat setelah hujan turun tak sanggup
menyelamatkannya dari kedinginan. Anissa sedikit menggigil, seharusnya aku
punya jaket yang lebih tebal dari itu.
“Hujannya terlalu deras,
bisa sakit kalau nekat pulang sekarang. Tunggu sebentar lagi sampai agak reda.”
Jawabku lalu kembali memperhatikan genangan air di pekarangan sekolah yang kian
melebar.
“Sudah mulai sepi, gak
ada tanda-tanda hujannya akan segera reda nih,” sahutnya.
Aku memandang
berkeliling, dia benar, tidak banyak lagi siswa yang bertahan menunggu hujan
reda, hanya tinggal beberapa saja. Aku yakin mereka pergi ke sekolah
menggunakan angkot, sama seperti aku dan Anissa, jika punya kendaraan pasti
sudah sejak tadi mereka menerobos hujan tak peduli betapun derasnya.
“Tunggu beberapa menit
lagi, ya!” Aku mencoba menyabarkannya. Kulirik jamku, mendekati setengah tiga,
kami sudah menunggu satu jam lebih.
“Berapa
menit?”
“Beberapa
menit lagi, sampai hujan sedikit reda,” ulangku.
“Kalau
tak kunjung reda?”
“Pasti reda,” jawabku
optimis, “Tak ada hujan yang tak reda, jangan bodoh.”
“Kalau redanya baru
malam nanti? Kamu mau menunggu di sini hingga malam?”
Kupandang dia yang juga
sedang memandangku. Selalu begitu, aku sangat hapal sifatnya yang ini. “Nissa,
jangan bilang kamu mau menerobos hujan…” aku melotot.
Dia
tersenyum, “Itulah yang akan kita lakukan…”
Lalu tanpa sempat
kucegah, dia sudah bergerak mendahuluiku. Anissa berlari dalam hujan sambil
merentangkan kedua tangannya, dia tertawa-tawa. Gadis itu sangat menikmati apa
yang dilakukannya. Gigiku bergemeletukan karena geram, aku selalu kesal bila
dia berhujan-hujanan seperti sekarang. Dapat dipastikan kalau besok –mungkin
juga lusa- aku akan kesepian di kelas karena dia tidak masuk. Anissa pasti akan
demam. Aku ingat itu pernah terjadi beberapa kali, dia izin tidak ke sekolah
karena sakit setelah kehujanan sehari sebelumnya. Itulah alasan mengapa aku
kesal dengan tingkahnya ini, aku tidak bersemangat melewati hariku di kelas bila
dia tak ada.
“Jun, ayo… nanti kita
kehabisan angkot!” Di gerbang sekolah, dia berhenti untuk berteriak memanggilku
sambil melambaikan tangannya.
Sial. Aku tahu kami
tidak mungkin kehabisan angkot, dia juga tidak serius dengan ucapannya. Buku
pelajaranku akan basah, jam tangan murahanku akan rusak, itu pasti. Aku merutuk
dalam hati ketika berlari kencang menerjang kerapatan hujan menuju tempatnya
berdiri menungguku. Anissa semakin keras tertawa. Seluruh pakaianku sudah kuyup
begitu tiba di naungan gerbang sekolah, dia juga sama basahnya, malah lebih
parah. Anissa sengaja membiarkan dirinya lebih lama diguyur hujan dengan tidak
berlari kencang ketika menuju kemari.
“Seru
kan? Aku selalu ingin melakukannya tiap kali hujan turun.”
Aku melihat bibirnya
agak bergetar, dia tahu dirinya akan kedinginan tapi malah nekat melawan hujan.
“Kamu menyakiti dirimu sendiri...” gumamku, rasanya aku ingin memeluknya ke
dadaku.
“Ayo!”
dia menyambar tanganku, lagi-lagi aku tak bisa mencegah.
Menit-menit berikutnya
ketika kami bergerak bersama di bawah guyuran hujan, aku benar-benar lupa kalau
beberapa saat lalu sempat tidak setuju dengan idenya ini. Tertawa-tawa, kami berlari
berpegangan tangan menuju hentian angkot yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi
sekolah. Selama itu, Anissa tidak melepaskan genggamannya di tanganku, jemari
kami tetap bertaut hingga tiba di halte. Di sana, tanpa memperdulikan beberapa
pasang mata yang menatap keheranan pada kami, Anissa memeluk lenganku. Sisa
waktu hingga ketibaan angkot kuhabiskan dengan memandang tanganku yang
dipeluknya.
Anissa,
aku cinta kamu.
*
Jendelaku basah diterpa
tempias, hujan juga baru saja mencurah di sini. Aku masih berada di kursiku,
masih memandang pada layarku. Sekarang aku mengingat komunikasi kami selama
hampir lima tahun terakhir ini, e-mail.
Kami berhubungan lewat tulisan.
‘Terlalu
tinggi harga yang harus kubayar untuk mendengar suaramu, Jun. Begitu juga
halnya dengan suaraku.’
Dia pernah
menulis begitu di salah satu suratnya.
‘Aku masih secantik dulu...’
Kalimat itu juga selalu
diutarakannya tiap kali aku mengajaknya menggunakan webcam. Anissa tidak pernah meberiku foto yang baru, dan aku
terlalu sungkan untuk meminta. Maka aku hanya bisa menduga seperti apa
kecantikannya sekarang lewat surat, menyentuhnya lewat surat dan mendengar
suaranya lewat surat. Terakhir kali aku melihat utuh sosoknya adalah saat
melepasku di bandar udara Soekarno-Hatta. Aku sudah tak menjenguk tanah airku
sejak hari itu.
Kubaca
lagi deretan kalimat dalam suratnya ini, entah sudah yang keberapa kali. Dan
mataku akan terpaku lama pada kalimat-kalimat yang telah meremuk-redamkan
hatiku.
‘Jun,
aku tahu kamu tak mungkin pulang, menyesal sekali kamu tak bisa melihatku dalam
penampilanku yang paling cantik. Di hari pernikahanku nanti, warnaku akan lebih
cantik dari warna sayap kupu-kupu…’
Kupu-kupu. Dadaku sesak.
Ya, pasti aku akan menyesal, Anissa. Aku sangat menyesal mengapa tak jadi
meneriakkan perasaanku padamu sore itu…
*
Aku tahu idenya kali ini
gila. Menjaring kupu-kupu. Oh, ayolah Anissa, kita bukan bocah SD lagi.
“Kamu yakin bisa
menjaring mereka dengan itu?” Dia menunjuk pada benda yang kubawa, cabang
kering dengan kantong kresek besar yang aku ikatkan pada salah satu ujungnya.
Aku sadar, dia sudah
memandangku dengan kening berkerut sejak aku melintasi taman menuju tempatnya
menunggu, lebih tepatnya memandang ‘jaring’ yang kubawa. Aku memberinya
cengiran, “Salahmu, ngajaknya mendadak, jadi ini yang terbaik yang bisa kubuat.
Bisa kita mulai?”
Dia
menunjuk pada perdu bunga aneka jenis dan warna yang tumbuh subur di satu sisi
taman. “Di sana hutannya…”
Aku
tertawa, “Mari berburu!”
“Aku mau yang sayapnya
paling indah dan paling lebar. Usahakan menjaring yang seperti itu, ya!”
perintahnya di sampingku.
“Mereka
semua punya sayap yang indah, Anissa,” jawabku.
“Pasti
ada yang paling indah.”
Aku
mengangkat bahuku, “Kita lihat saja.”
Kami menghabiskan sore
dengan berlarian kesana kemari mengejar puluhan bahkan mungkin ratusan
kupu-kupu, yang sepertinya lebih lincah dan gesit ketimbang aku dan Anissa.
Kami mengejar kesana kemari dengan jaring kami hingga kelelahan. Alat yang
kubuat benar-benar payah, Setiap kali kuayunkan untuk menjerat, kreseknya sudah
lebih dulu menutup sebelum berhasil mencapai sasaran. Tak satupun makhluk
bersayap indah itu yang berhasil masuk ke sana. Anissa berkali-kali menumpahkan
kekesalannya dengan memukul bahuku yang kuterima dengan suka cita. Tiap kali
kupu-kupu incaran kami berhasil lolos dari kepungan maka tiap kali itu pula dia
akan memukulku.
“Salahmu, bikin
jaringnya gak benar.” Kelelahan, dia mengelesoh di rumput.
“Ini
bukan hari keberuntungan kita.” Aku ikut duduk bersamanya.
“Dengan jaring tak jelas
begitu, jelas ini bukan hari baik kita,” dia kembali mengejek benda buatanku.
“Ya
ya ya… aku akan membuat yang lebih baik lagi lain kali.”
Dia
mengangkat bahu, “Ya Tuhan, melelahkan sekali.”
Dadaku berdebar menerima
kepalanya di bahuku, dia bersandar padaku sambil memejamkan matanya. Aku berdoa
untuk sore yang tak segera bertemu malam, aku ingin lebih lama lagi menjadi
sandarannya. Tapi waktu tak bisa diakali, gelap datang tepat pada masanya. Aku
kecewa ketika dia mengangkat kepalanya dari bahuku.
“Ayo
pulang!” dia segera berlari kecil menuju jalan.
Aku bangun dari rumput
lalu ikut berlari kecil menyusul di belakangnya, ingin saja aku meneriakkan, Anissa, aku cinta kamu!
*
Hujan kian keras menerpa
jendelaku. Tak ada bintang malam ini di langit Sidney, awan gelap menutupinya.
Aku bisa melihat pekatnya langit lewat jendelaku yang tak bertirai. Jika tidak
sedang hujan atau saat langit cerah, aku sering duduk di dekat jendela itu
sambil melihat bintang-bintang. Letak kamarku di lantai sebelas flat mahasiswa
ini membuatku bisa jelas memandang langit, memandang bintangnya.
‘Masih suka menghitung bintang?’
Dalam satu surat, dia
pernah menanyakanku akan hal yang sangat kusyukuri karena pernah kulalui satu
kali dengannya dulu. Ya, tentu saja aku masih suka menghitung bintang, karena
di saat menghitungnya aku bisa menghayalkan dia berbaring di sampingku sambil
menunjuk langit.
Tetapi sekarang aku
bertanya pada diriku, sanggupkah aku menghitung bintang lagi setelah ini?
Pantaskah aku masih menghayalkan menghitung bintang bersamanya yang tidak lagi
dalam jangkauanku? Aku akan jadi pendosa bila melakukan itu, tak lama lagi dia
akan berstatus sebagai istri orang. Aku tak patut lagi menghayalkannya. Berdosakah
aku bila mengingatnya untuk kali terakhir ini?
*
“Sudah berapa yang kamu
dapatkan?” dia memalingkan wajahnya padaku. Malam ini kami berada di taman yang
sama tempat kami pernah dipermainkan kupu-kupu beberapa minggu lalu.
“Seratus tujuh puluh
tujuh.” Jawabku jujur, aku memang sudah menghitung sebanyak itu. Tanganku masih
menunjuk-nunjuk di udara sampai kudengar dia terbahak.
“Kamu
sungguh-sungguh menghitungnya?”
Aku
mengangguk, “Kamu tidak?” keningku berkerut.
“Ya Tuhan, Jun. Kamu
terlalu serius, aku tidak benar-benar mengajakmu menghitung bintang.” Dia terus
tertawa. “Dan kamu sudah menghitung sebanyak itu? Bagaimana kamu melakukannya? Mataku
selalu tak fokus tiap kali aku berkedip, jadi aku tak mau repot-repot
menghitungnya. Aneh, bagaimana matamu bisa menandai bintang yang sudah kamu
hitung dengan yang belum masuk hitungan sedang mereka sama berkilaunya?” dia
kembali tertawa.
Kamu juga sama berkilaunya seperti
mereka.
Aku segera menurunkan
tanganku, hatiku penuh tiap kali mendengarnya tertawa seperti ini. “Sayang
sekali, padahal menghitung bintang itu pekerjaan yang mengasyikkan,” ujarku
setelah tawanya mereda.
Dia
memandangku, “Bagaimana kamu melakukannya?”
Aku tersenyum, lalu
beringsut lebih dekat dengannya. “Tidak susah, kamu hanya perlu terus
menghitung dalam hati sambil menunjuknya…”
“Bagaimana kita bisa
yakin kalau kita tidak menunjuk bintang yang sama yang sudah kita hitung
sebelumnya?”
“Maka
jangan menunjuk bintang yang sama.”
“Bagaimana
kita bisa yakin?” pertanyaannya masih bernada sama.
Aku meraih tangannya,
memegang jarinya lalu mulai mengarahkan telunjuknya menunjuk langit. “Tunjuk
dan hitung, begitu saja. Kamu bisa berkedip sesering yang kamu mau tapi
tanganmu harus terus menunjuk dan hatimu tak boleh berhenti menghitung.”
“Bagaimana kita yakin
tidak menghitung bintang yang sama?” dia kembali mengulang pertanyaannya, entah
sudah berapa kali, tangannya masih dalam genggamanku.
“Hanya
yakin saja…” jawabku.
Dia tersenyum kini.
Kulepaskan genggamanku pada jarinya, Anissa menghitung, sesekali matanya
berkedip namun tangannya terus menunjuk. Aku menatap sisi wajahnya selama dia
melakukan itu, ingin rasanya kudekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik, Anissa, aku cinta kamu…
*
Sepertinya
aku menangis.
Aku mengerjap, ada basah
jernih yang merembes dari kedua mataku, mengalir di wajah untuk selanjutnya
luruh jatuh ke pangkuan. Ya, aku menangis, Dengan mata mengabut, kualihkan
pandanganku pada bingkai kecil yang memuat aku dan dia, bingkai kecil yang tak
pernah berpindah letaknya dari dulu, tetap di posisi paling atas mejaku, posisi
yang mudah dan bisa langsung kulihat. Di sana, aku dan dia tersenyum
berlatarkan laut biru dan langit bersih Pulau Dewata. Kujangkau bingkai itu dan
kugenggam dengan kedua tanganku.
‘Kalian
berdua benar-benar pas, mengapa tidak pacaran saja?’
Masih kuingat seorang
kawan yang memotret kami berkata demikian, aku tersipu tika itu sementara
Anissa tertawa sambil menahan rambutnya dari tiupan angin Pantai Kuta.
Kususurkan jariku di
atas kaca, bergerak perlahan di wajahnya yang tersenyum lepas dalam
rangkulanku. Mataku kian basah, kalung hati yang kuberikan sebagai hadiah hari
jadinya yang ke tujuh belas menggantung indah di lehernya. Kelasku berlibur ke
Kuta Bali seminggu setelah aku memberinya kalung itu, juga tepat seminggu
sebelum kami benar-benar menamatkan sekolah menengah. Aku mengenang bagaimana
suka citanya diriku saat memasukkan bingkai ini ke koperku hampir lima tahun
lalu. Kupilih foto ini karena kalung hati di lehernya. Tuhan, bodohnya aku yang
berfikir kalau dia adalah milikku hanya karena dia selalu memakai kalung itu
sejak kuberikan. Bodohnya aku hingga merasa tak perlu mengungkapkan rasa.
Aku mendongak, mencoba
membendung air mataku sekaligus membebaskan napasku. Melepaskan cinta yang sudah
menjadi milik kita adalah berat, tetapi melepaskan cinta yang kita fikir bahwa
kita memilikinya, padahal tidak sama sekali… itu perih.
Kembali kutatap bingkai
yang masih erat di tanganku. Kuperhatikan sosok kami lebih lekat. Mulai dari
buih yang memutih di kaki kami, celanaku yang basah dan kain tipis bergambar
bunga-bunga miliknya yang ditiup angin, lenganku di pinggangnya dan kedua
lengannya yang mengganyut di bahuku, pada kalung hati itu, lalu pada senyum
lepas di wajah kami berdua. Hamparan laut biru dan langit bersih di belakang
kami yang selama ini kuyakini sebagai saksi kebahagiaanku, sekarang seperti
mengejekku. Mengejek seorang pecundang. Aku ingin kembali ke sana, meneriakkan
pada laut biru dan langit bersih di atasnya jika aku adalah pecundang. Aku
memang pecundang. Buih putih itu sekarang seperti menertawakanku.
‘Sudah
tiga tahun sejak aku mendapatkannya, aku masih menyukai kalung hatimu, Jun.
Jika kamu di sini, kado apa yang hendak kau berikan di hari jadiku yang ke-20
ini?’
Air mataku merembes
lagi, kalimat penutup dalam suratnya yang aku terima tepat di malam usianya
genap dua puluh tahun kembali melintas di kepalaku. Seharusnya aku tidak
membalas surat itu dengan gurauan tak penting. Seharusnya aku menulis bahwa aku
akan memberikan hatiku, seharusnya aku menuliskan kalimat yang sudah berada di
ujung lidahku malam itu.
‘Aku masih menyukai kalung hatimu,
Jun…’
Apakah aku salah telah meresponnya
tak serius dalam surat balasanku? Dia masih menyukai kalung hatiku. Ya Tuhan,
tidakkah kalimatnya menyiratkan bahwa dia masih menantiku hingga hari dia
menuliskan suratnya itu? Aku buta, dan dungu. Seharusnya aku menyadarinya dan
membalas suratnya dengan satu kalimat serius : aku akan memberimu kalung hati
baru yang di dalamnya tertulis nama kita berdua. Kini sudah terlewat.
Kutatap lagi kalung hati
itu, seharusnya dulu aku tak perlu ragu berucap ketika meletakkan kadoku dalam
tangannya…
*
Aku tak berkedip memandangnya
yang tampak berbeda dalam balutan gaun putih itu, dia lebih cantik dari yang biasa
kulihat. Malam ini dia merayakan hari jadinya yang ke tujuh belas. Pesta sederhana,
dia bukan puteri konglongmerat yang kebanyakan selalu berpesta pora tiap kali
merayakan hari penting mereka. Anissa tidak seperti itu, orang tuanya bukan
pengusaha atau bos besar, ayahnya hanya seorang pegawai kantor pos sementara
ibunya mengajar di sebuah sekolah dasar. Hidupnya bersahaja, hal lain yang aku
kagumi darinya.
Di depan kue tart tak
begitu besar dimana lilin angka tujuh belas bertengger di atasnya, dia berdiri
dengan senyum yang tak putus, ayah dan ibunya mengapit di kiri dan kanannya.
Orang-orang di sekelilingnya memberi selamat, mendoakan umur dan
kesejahteraannya dalam koor yang menggemuruh. Anissa memanjatkan doanya sebelum
memadamkan lilin, aku berharap dia menyebut sekali saja namaku dalam doanya itu.
Lalu, penuh sayang dia memeluk dan mencium ayah dan ibunya, kemudian
teman-temannya.
Kutatap kotak kecil di
tanganku, kado hari jadi untuknya yang kupersiapkan dengan perasaan suka cita.
Aku berjalan menujunya, tiap langkah yang kubuat kian menambah debar dadaku.
Semua rencana yang telah kufikirkan, deretan kalimat yang sudah kulatih sejak
dari rumah mendadak buyar seiring langkahku yang makin hampir. Aku disaput
ragu, tidak hanya ragu, aku takut. Dia tersenyum ketika aku sudah berdiri tegak
di depannya, terpisah satu langkah saja.
“Selamat ulang tuhan,
Nissa… semoga panjang umur…” Ucapan selamat yang sangat biasa. Bukan kalimat
yang kupersiapkan.
Dia mengangguk, kembali tersenyum
saat aku meletakkan kotakku di tangannya. “Trims, Jun… aku pasti akan
menyukainya.”
Bibirku bergerak-gerak,
rasanya kalimat itu sudah di ujung lidah, siap melesat keluar. Anissa diam menatapku,
menunggu. Dia seakan tahu bahwa masih ada kalimatku yang belum tersampaikan.
“Jun…” aku diam terlalu
lama. “Kamu baik-baik saja?” Anissa menatapku dengan alis bertaut.
“Yah, aku baik-baik.”
Kuseka pelipisku yang mendadak berkeringat, “Maaf, sepertinya aku harus ke
toilet.”
Aku memisahkan diri dari
kerumunan di sekitar kue tart, bukan ke toilet, tapi menepi ke sudut ruang. Dari
sini mataku mengikuti setiap geraknya. Sesaat tadi, aku hampir yakin bisa
mengutarakannya, tapi ternyata tidak.
Kuteguk minumku, mataku
masih mengawasinya. “Anissa, aku mencintaimu…” bisikku yang hanya bisa kudengar
sendiri.
*
Petir menyambar, kilatannya
tampak jelas di jendela. Aku masih memegang bingkai ini. Kupandangi jam di
dinding, sudah jauh melewati tengah malam. Aku menyeka mataku, semuanya
berakhir saat ini. Waktu telah mengelabuiku, merabunkan mata dan hatiku. Ya,
aku telah ditipu oleh waktu. Betapa saat-saat yang kulalui bersamanya dulu
begitu meyakinkan, dan lihatlah kini, waktu telah mematahkan keyakinanku dengan
fakta yang begitu meyakinkan pula. ‘Kami
akan melangsungkan pernikahan minggu depan...’ kalimat itu begitu pasti, begitu
meyakinkan, sekaligus menyakitkan. Waktu telah mempermainkanku.
Aku mengerjap beberapa
kali untuk mencegah mataku berkabut lagi. Kuhirup udara dalam-dalam, berusaha
bernapas dengan hidung yang seakan disumbati gabus. Aku membuka laci paling
bawah di sebelah kiri mejaku, kutatap sesaat pada benda yang menjadi
satu-satunya isi laci paling bawah itu. Buku tebal bersampul hitam, catatanku, diary-ku yang tiap lembarnya hanya
memuat satu nama saja, Anissa. Semua cerita tentangnya tertulis di sini, segala
rasa yang kupunya sejak pertama kali perhatianku tersita oleh sosoknya di tahun
pertama sekolah menengah hingga perasanku selama jauh darinya terjabarkan dalam
buku ini. Mulai besok, aku tak akan lagi menulis apapun tentang Anissa di
dalamnya, kisahnya bukan lagi milikku.
Kukeluarkan diary itu dari ruang yang sudah
dihuninya hampir lima tahun ini. Aku menyatukannya bersama bingkai yang juga
sudah hampir lima tahun tak pernah berpindah dari mejaku. Kutatap kedua benda
itu dengan perasaan kosong. Kemudian aku berjalan menuju jendela. Hujan
langsung menerpa wajahku begitu kacanya kugeser.
Maafkan pecundang ini, Anissa…
Kembali kutatap kedua
benda di tanganku. Ketika petir sekali lagi berkiblat terang dan angin dingin
menerpa wajahku, dengan hati perih, aku melempar kedua Anissa di tanganku pada
hujan di luar sana.
*
Dearest Anissa…
Aku
sering menghayalkan diriku duduk di kursi taman di hari tuaku nanti. Saat itu
pasti rambutku telah berubah jadi kapas. Aku membayangkan istriku akan duduk
bersama sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Sementara cucu-cucu kecil kami
berlarian memutari kakek dan nenek mereka, maka aku akan mengajak istriku
mengenang masa-masa indah ketika kami muda dulu. Aku akan mengingatkannya saat
kami berlarian dalam hujan, ketika kami dibodohi puluhan kupu-kupu di taman,
ketika kami menatap bintang di langit yang jumlahnya tak terhitung, pun ketika
kaki-kaki kami digelitiki buih pantai. Pasti akan ada beberapa detil yang
hilang, aku tentu tak dapat mengingat semuanya, usia membuat manusia tak mampu
mengingat baik. Aku juga tentu sudah pikun saat itu, istriku pun pasti sama
pikunnya denganku. Meski begitu, aku yakin tak akan lupa betapa dulu aku
mencintainya. Akan kukatakan itu berulang-ulang padanya hingga dia bosan dan
menyuruhku berhenti bercerita, tapi aku tak akan berhenti bercerita.
Itu adalah potret hari tua yang masih
kuhayalkan hingga kemarin.
Kini
aku sadar, hayalan itu terlalu indah untuk terwujud, bahkan mustahil. Bukan
karena aku akan melupakan kisahku ketika tua nanti sebab menjadi pikun, tapi
karena aku tidak akan memiliki istri seperti itu. Aku tidak akan memiliki istri
seorang gadis dimana kenangan-kenangan yang ingin kuceritakan itu pernah kami
lalui. Istriku bukan gadis yang pernah bersamaku saat hujan, bukan gadis yang
pernah bersamaku saat mengejar kupu-kupu, bukan gadis yang pernah bersamaku
saat menghitung bintang, juga bukan gadis yang kupeluk di pantai. Gadis itu
tidak ditakdirkan untukku. Dia jodoh orang lain. Kamu akan jadi istri laki-laki
lain.
Ya,
kamu, Anissa…
Istri
yang kuhayalkan duduk bersandar di bahuku di kursi taman ketika aku tua nanti
itu adalah kamu.
Ingatkah
dirimu pada saat-saat itu, Anissa? Aku tak pernah melupakannya. Tak pernah
sekalipun hingga aku menulis ini.
Aku
berharap diberi kuasa untuk memutar waktu, sekali saja aku ingin mengembalikan
kita ke malam itu lagi. Dengan kado di tangan, aku akan berjalan menujumu di
depan lilin tujuh belas-mu dan meneriakkan kalimat yang mewakilkan seluruh rasa
yang kupendam terhadapmu,
kalimat yang seharusnya sudah kuucapkan
ketika kita menghabiskan banyak waktu manis berdua. Aku tak akan terlambat
andai berani mengambil kesempatan terakhirku di Kuta, tapi aku terlalu bodoh…
Apakah
aku menyesalinya? Ya, aku menyesalinya. Menyesali
diriku sendiri yang tak mampu menyuarakan isi hati. Walau kini kutuliskan, aku
sadar tak akan merubah masa depanku, terlebih lagi masa depanmu. Laki-laki itu
tetap menjadi masa depan bagimu.
Anissa,
untukmu… aku turut berbahagia. Semoga kejujuran terlambat ini tidak mengusik
bahagiamu yang akan menjelang bersama lelaki terpilih itu.
Dariku, yang terakhir
Jun
Aku
laki-laki yang kalah.
Sunyi
mulai mendekapku setelah kuselesaikan baris-baris itu. Serta- merta cahaya yang
selama ini berpijar terang di hatiku padam bagai dilanda gerhana, tak ada yang
tersisa selain gelap dan dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar