Satu-satunya alasan
mengapa Gadis mau bersusah payah menjadi pengurus Mading dan menyibukkan diri
setiap dua kali sebulan, untuk memburu materi dan mengumpulkan tulisan untuk
majalah dinding itu, adalah Ketua Osisnya. Sang Ketua, pintar dan tampan telah menarik
perhatiannya sejak Moska dulu. Dalam pandangannya, di antara berjubel cowok
menarik dalam balutan putih abu-abu mereka, hanya Sang Ketua seorang yang
mencuri hatinya dengan begitu telaknya.
Gadis tak pernah suka
tulis-menulis. Dia benci membaca tulisan tanpa gambar. Baginya, tak ada bacaan
yang menarik selain komik. Apa lagi Mading, yang isinya kebanyakan tulisan
amatiran tak jelas dari rekan-rekannya satu pengurus yang menurutnya sok bisa
nulis itu. Namun demi bisa bertemu Sang Ketua tiap ada rapat Osis, demi bisa
melihat sosok Sang Ketua yang berbicara penuh kharisma dan tetap memesona di
depan forum, demi bisa mendengar suara bagus Sang Ketua saat berdiskusi, demi
bisa dikenal oleh Sang Ketua sebagai salah satu penggerak majalah dinding
sekolah, dan demi bisa terlibat percakapan-percakapan sesaat dengan Sang Ketua,
Gadis rela meredam ketidaksukaannya pada tulis-menulis dan mengambil
satu-satunya kesempatan yang ada. Konsekuensinya, dia harus mendongkol dalam
hati tiap kali menyeleksi kertas-kertas yang akan dipajang di majalah dinding
sekolah.
Ternyata pengorbanan Gadis
tidak sia-sia. Dia jadi lebih akrab dengan Sang Ketua karena keterlibatannya
sebagai pengurus Mading sekolah.
*
“Kita harus berterima
kasih kepada pengurus Mading. Saat ini hanya club tulis-menulis yang mendapat
apresiasi terbaik dari guru-guru. Sedangkan club lain dipandang tak punya
prestasi yang baik.”
Mendengar ucapan Sang
Ketua dalam rapat, Gadis bangga dan bahagia luar biasa. Hatinya berbunga-bunga,
dan semakin bermekaran ketika pandangan Sang Ketua sempat beradu pandangannya. Gadis
tersenyum, dan Sang Ketua membalas senyumnya.
‘Sang
Ketua, kamu harus jadi milikku. Kamu harus jadi pacarku.’
Hati Gadis berbicara
mantap pada dirinya sendiri.
*
Kemudian, harapan Gadis
seolah-olah akan terkabul. Hari-hari yang berlalu di sekolah itu kian mendekatkan
dia dengan Sang Ketua. Mereka makin sering terlibat percakapan, makin sering
melempar senyum saat rapt Osis berlangsung, dan makin sering bercerita tentang
diri sendiri.
“Tentu gak mudah ya
menyeleksi tulisan yang layak muat,” kata Sang Ketua satu kali.
Mereka sedang duduk
semeja di kantin pada jam istirahat. Dua mangkuk mie pentol yang masih berasap
terhidang di depan mereka. Gadis bahagia tiada terkira. Mie pentol yang akan
dihabiskannya hari ini akan jadi yang mie pentol tersedap, karena ada pujaan
hati yang menemaninya makan.
“Enggak juga, Kak.
Menyeleksi naskah justru kegiatan yang mengasikkan, lumayan menantang juga.”
Sang Ketua tersenyum.
“Apa semua pengurus selalu menyumbangkan tulisan?”
Gadis berhenti menyendok,
lalu menyengir. “Enggak selalu.”
“Enggak selalu atau
enggak semua pengurus ikut nulis?”
“Enggak semua pengurus
selalu menyumbangkan tulisan,” jawab Gadis ragu-ragu. Bagaimana kalau Sang
Ketua tahu bahwa dia sama sekali tidak menyumbangkan tulisan? Dia tidak pernah
suka menulis.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku sering nulis puisi,
Kak…” Kebohongan meluncur begitu saja dari bibir Gadis. Dia tidak siap Sang
Ketua berbalik tidak menyukainya jika dia mengaku tak pernah menulis untuk Mading.
Ah…
demi terlihat baik di depan pujaan hati, bohong satu kali tak mengapa.
“Oh, ya?” Sang Ketua
tampak antusias. “Aku selalu suka puisi. Kapan nanti kalau ada puisimu yang
dimuat di Mading, kasih tahu aku ya! Aku ingin membacanya. Sebagus apa sih jika
kamu merangkai kata…”
Gadis terperangkap
kebohongannya sendiri. “I… iya, Kak. Edisi depan ada kok, jangan sampai gak
dibaca, ya!” katanya lalu berusaha tersenyum senang.
Mereka menghabiskan
baksonya. Selain rasa bahagia, kini Gadis juga dilanda gulana. Ada pekerjaan
sulit yang harus diselesaikannya untuk membuat pujaan hatinya semakin
menganggap dirinya ada. Ini adalah peluang sekaligus cobaan bagi gadis.
Apa
sulitnya sih nulis puisi?
*
Dan mulailah Gadis rajin
membaca puisi. Tiap hari Gadis ke perpustakaan untuk meminjam buku-buku karangan
penyair lama. Gadis membaca puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar berkali-kali. Dia
membaca Kahlil Gibran. Dia membaca Chairil Anwar.
Gadis berusaha menuliskan kata demi kata tiap kali
selesai membaca satu puisi, dan tiap kali itu pula dia menjambak rambutnya.
Kata-katanya tak ada yang benar. Dia tidak ditakdirkan jadi seorang penulis,
apalagi penyair.
Demi menyelamatkan perasaannya,
Gadis mulai memburu puisi-puisi modern di internet. Dia juga membeli
majalah-majalah remaja dan melahap rubrik puisi mereka seperti melahap puding
paling sedap di dunia. Lalu dia kembali merangkai kata, hasilnya… onggokan kertas
yang teremas di sudut kamar.
Gadis frustasi, Mading
akan segera ganti edisi.
Putus asa, Gadis membuka
jendela dunia mayanya lebih lebar. Dia mencari puisi berbahasa Inggris tentang
cinta dan lalu menerjemahkannya.
Demi terlihat
pintar di depan pujaan hati, bohong dua kali masih tak mengapa.
Gadis menghibur diri.
*
“Wah… puisimu bagus. Aku
suka. Sungguh, baru kali ini aku membaca puisi seindah ini. Kamu berbakat.”
Gadis tersenyum. Makin
tak bisa menutup bibirnya ketika Sang Ketua merangkul bahunya di depan Mading yang
baru terbit. Sang Ketua mengulang baca puisi itu untuk kedua kalinya. Hati
Gadis kian bermekaran.
“Katanya, puisi cinta
selalu bisa bikin cewek luluh, ya?”
Gadis tertegun mendengar
ucapan Sang Ketua yang sampai saat itu masih merangkul bahunya.
“Bener gak?” Sang Ketua bertanya
lagi setelah menunggu lama tapi tak memperoleh jawaban.
“Katanya sih iya.” Gadis
menjawab lirih, hatinya mendadak tak enak.
Sang ketua
manggut-manggut. “Kamu, kan, pinter nih bikin puisi cinta kayak gini, aku minta
tolong boleh, ya?”
“Tolongin apa, Kak?” Dari
merasa tak enak, kini Gadis merasa was-was.
Sang Ketua menyengir.
“Ini… aku naksir berat sama sekretaris Osis kita, tapi bingung mau nyatain
cinta pake apa. Begitu baca puisimu ini, aku pikir… pasti gak bakal ditolak
jika aku bilang cinta lewat puisi. Please…
bantu aku. Buatkan satu puisi cinta buatnya. Mau ya?”
Hati Gadis patah-patah.
Ingin saja dia menangis detik itu juga. Pujaan hatinya memintanya menuliskan puisi
untuk diberikan kepada orang lain yang ditaksir. Gadis hancur sudah.
Sang Ketua menarik lengan
dari bahunya, lalu menjarakkan diri. “Besok atau lusa aku ambil ya. Makasih
banyak. Nanti kalau kami sudah jadian, kamu pasti kutraktir.”
Masa
bodo dengan jadianmu itu!
Yang diinginkan Gadis
saat ini adalah, pulang dan menangis semalam di kamarnya.
*
Gadis menghabiskan
malamnya dengan membuat guling basah. Air matanya berderai. Dia hancur. Sang
Ketua tak mungkin bisa dimilikinya. Yang lebih sakit, dia harus membantu Sang
Ketua untuk mendapatkan cewek yang ditaksirnya. Jika dia menuruti pinta Sang
Ketua, ini sama saja dengan dia menyalakan api yang akan membakar dirinya
sendiri.
Gadis benci puisi. Namun
untuk pertama kalinya, dia meluapkan kehancuran perasaannya lewat kata-kata.
Dia menulis puisinya sendiri, puisi patah hati dengan kata-kata menyayat.
Mulai besok, Gadis akan
berhenti berpura-pura menikmati jabatannya sebagai pengurus Mading. Dia sudah
mempersiapkan kata-kata pengunduran dirinya.
Puisi cinta yang
dipesankan Sang Ketua tak ada. Tak akan pernah ada. Yang ada hanyalah puisi
patah hati yang sudah selesai dicoretnya pada kertas yang penuh titik-titik
basah. Gadis menulisnya di antara isak tangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar