Sampai zaman berakhir, dia tetaplah seorang ayah |
Note :
Postingan ini adalah lanjutan postingan
sebelumnya. Untuk mendapatkan gambaran cerita yang utuh, sebaiknya baca
postingan sebelumnya terlebih dahulu di sini.
*
Putranya tampak tidak berselera
dengan sarapan yang dibuatkannya pagi ini, nasi goreng dan telur mata sapi. Padahal dia sering membuatkan menu demikian di pagi-pagi yang sudah lewat. Di ujung
meja, putranya menggerak-gerakkan sendoknya, mengaduk-ngaduk isi piring dengan
malas. Belum sesendokpun nasi itu masuk ke mulutnya.
Dia berhenti dari makannya dan
bertanya, “Nasi gorengnya tidak enak?”
Putranya mengangkat wajah, lalu
menggeleng. “Nasi gorengnya selalu enak.”
“Hemm… tidak enak badan?”
Putranya diam.
“Ayah akan ke sekolah untuk
mengabarkan pada wali kelasmu kalau kau tidak bisa masuk hari ini.” Dia mengira
anaknya tidak selera makan karena sedang kurang sehat. “Makanlah sedikit lalu
kembali ke kamar…”
“Tidak apa-apa, Ayah. Aku sangat
sehat, sesehat hari-hari kemarin.” Lalu dia mulai menyendok isi piringnya.
Ditatapnya sang putra beberapa saat
sebelum meneruskan makannya kembali. Dia mengira percakapan mereka pagi ini
berakhir sampai di situ saja, ternyata tidak. Setelah beberapa saat, putranya
kembali bersuara. Kalimat sang putra kali ini membuat dia berhenti menyendok.
“Apa Ayah pernah merindukan Ibu?”
Nasi berubah menjadi batu di dalam
mulutnya, dia berhenti mengunyah. Berusaha menelan sisa nasinya tanpa
mengunyah malah membuat kerongkongannya perih. Putranya belum pernah menyinggung kata ibu dalam kalimat
semenyesakkan itu. Selama ini, putranya hanya bertanya pertanyaan-pertanyaan
biasa.
Apa ibuku cantik? Ya, ibumu sangat
cantik.
Apa ibuku baik? Tentu, ibumu yang
paling baik.
Apa Ibu ada di surga? Tuhan sayang
ibumu, jadi… ya, dia pasti di surga.
Apa Ibu akan marah jika aku nakal?
Tidak, jika kau nakal, dia akan menasehatimu untuk tidak nakal lagi.
Apa Ibu bisa melihatku? Pasti, Nak.
Ibumu melihatmu sepanjang waktu.
Selalu pertanyaan-pertanyaan mudah
saja selama ini. Dia tak pernah kesulitan menjawab. Sekarang, pertanyaan
putranya mengambil subjek lain, dirinya. Apa dia pernah merindukan istrinya?
Begitulah adanya pertanyaan putranya. Dan saat ini dia juga yakin jika putranya
sedang sangat merindukan ibunya.
“Sepertinya aku bermimpi bertemu Ibu
semalam…”
Mendadak dadanya sesak, dia tak bisa
berkata-kata.
“Seperti kata Ayah, Ibu sangat
cantik…”
Lidahnya semakin kelu. Susah payah
dia bertahan untuk tidak membiarkan matanya mengalahkannya di depan putranya.
“Ibu membelai kepalaku lalu kami
pergi ke sebuah taman bunga. Ibu memberiku satu bunga paling cantik dan
berpesan agar aku membawanya pulang untuk Ayah. Saat aku bangun tadi pagi, hal
pertama yang aku ingat adalah bunga pemberian Ibu…”
Mereka diam, sangat lama. Dia tahu
kalau putranya sedang menatapnya sekarang, dan dia masih belum siap mengangkat
wajahnya untuk menatap sang putra.
“Apa Ayah pernah merindukan Ibu?” Putranya mengulang tanya. “Apa Ayah pernah bermimpi bertemu Ibu?”
Dia tak akan lepas sebelum menjawab.
Tapi apa yang harus dijawabnya? Mengakui kalau dia juga merindukan istrinya
pasti akan membuat putranya semakin ingat ibunya dan semakin bersedih. Dia tak ingin putranya
semakin merasakan ketidakberadaan sosok seorang ibu bersama mereka.
Menahan sesak, dipandangnya sang
putra sambil berusaha tersenyum. “Kau beruntung bermimpi bertemu ibumu, Nak.”
Nafasnya terasa berat, “Sekarang, bisakah kau menghabiskan sarapanmu dan segera
berangkat ke sekolah? Ayah takut kau sudah terlambat…”
Dan percakapan itupun berakhir, dia
berharap untuk tidak berhadapan lagi dengan situasi seperti ini di hari-hari
esok. Cukup sekali pertanyaan itu membuatnya bingung memilih jawaban, antara
mengakui perasaannya sendiri atau menjaga perasaan putranya.
*
Dari dapur, dia beranjak ke kamar
putranya. Di sana dia berlutut di depan lemari putranya yang penuh bertempel
gambar tokoh kartun kesukaannya. Dia mamandang pantulan wajahnya di depan
cermin di lemari kecil itu. Wajah kuyu dan pucat. Dengan tangan gemetar,
dibukanya lemari itu. Baju-baju sang putra terlipat rapi di sana. Jaket-jaketnya
tergantung di gantungan. Matanya terpaku lama pada seragam merah putih yang
tergantung di antara jaket dan beberapa potong kemeja. Perlahan, dia membelai
seragam itu, menyentuh kerahnya, kancing-kancingnya, saku kecil di sebelah kiri
dan juga dasi merah yang terselip di saku kecil itu. Ditariknya dasi kecil itu
lalu diciuminya. Aroma sang putra masih tertinggal di sini. Tak puas, dia
mengeluarkan seragam itu dan mendekapnya.
Walau samar, dia masih ingat hari
pertama putranya mengenakan seragam merah putihnya. Bukan yang ini tapi seragam
yang lebih kecil. Itu sudah lima tahun lalu…
*
Dia sengaja bangun lebih pagi dari
biasanya hari ini. Ada peristiwa penting yang akan terjadi. Ini hari pertama
putranya masuk Sekolah Dasar. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat
seragam putranya terlihat serapi mungkin. Dia menghabiskan waktu lebih lima
belas menit dengan setrikaan untuk membuat seragam merah putih itu tidak
memiliki satu kerutan pun.
Setelah itu, dia menjerang air.
Putranya belum terbiasa mandi terlalu pagi. Putranya butuh air hangat agar tidak ke
sekolah dengan badan menggigil. Sambil menunggu airnya mendidih, dia memanaskan
wajan untuk membuat sarapan.
‘Kau
butuh seorang istri untuk mengurusmu dan putramu…’
Seorang jiran pernah berkata begitu
padanya. Saat itu dia menanggapinya dengan tersenyum. Sekarang, dia kembali
tersenyum sendiri sambil mengaduk isi wajan.
Bila
aku masih bisa mengurus diriku sendiri dan putraku, mengapa aku harus punya
istri lagi?
Begitu airnya mendidih, dia bergegas
ke kamar sang putra dan membangunkannya. Tak butuh waktu lama, setelah
memandikan putranya mereka kembali ke kamar.
“Apa aku akan bangun sepagi ini tiap
hari, Ayah?” Putranya bertanya saat sang ayah memakaikan seragam.
“Kau bukan di taman kanak-kanak
lagi, sekolahmu yang sekarang membunyikan lonceng lebih awal. Nanti kau akan
terbiasa.”
Lalu putranya diam.
Dia mengancing kemeja sang putra,
memakaikan dasinya lalu menyisir rambutnya serapi mungkin.
“Padahal aku bisa melakukannya
sendiri, Ayah.” Putranya kembali bersuara.
Dia tersenyum, “Ya, Ayah tahu. Ayah
hanya ingin kamu terlihat siap di hari pertamamu…” Dia mengambil bedak,
meratakan di telapak tangannya lalu disapukan pada wajah sang putra. “Besok,
kau bisa bersiap-siap sendiri. Ayah hanya mengambil hari ini saja.”
Putranya tertawa, “Apa ketika
seusiaku, orang tua Ayah juga mengambil hari pertama Ayah?”
Kembali dia tersenyum, “Ya.” Lalu dia mundur beberapa langkah, memandang
putranya dengan tatapan bangga. Menatapnya dari puncak kepalanya sampai ujung
kakinya.
Itu
putraku. Dia sudah beranjak memasuki babak baru dalam hidupnya.
“Ayah, apa aku bisa memakai sepatuku
di dalam rumah? itu masih baru, tidak kotor.”
Kali ini dia tertawa, “Tentu. Kau
bisa memakainya dan berlari ke seluruh penjuru sesukamu. Khusus hari ini saja.
Tapi, jangan buat seragammu kusut. Ayah sudah menyetrikanya dengan sangat
baik.”
Putranya lalu mengambil kotak sepatu
barunya di bawah kolong tempat tidur. “Ayah mau memakaikannya? Ini hari
pertamaku, kan?”
Tawanya kian keras. Dia
mengambil sepatu itu dan memakaikannya ke kaki sang putra setelah terlebih dulu
menyarungkannya dengan kaus kaki.
“Besok aku akan memakainya sendiri,
kan?”
“Hemm…”
“Terima kasih, Ayah.”
Sang putra berjalan lincah
mengelilingi kamar sebelum mengikutinya menuju dapur untuk sarapan.
*
Dia mengembalikan seragam itu ke
gantungannya. Ditatapnya beberapa lama lagi sebelum menutup pintu lemari. Dari
sana dia berjalan ke tempat tidur kecil di tengah kamar. Bantal dan guling
tersusun rapi, selimut juga terlipat seperti biasanya di kaki tempat tidur. Perhatiannya
tertuju pada boneka beruang besar yang teronggok di kepala tempat tidur di
samping bantal.
‘Apa
aku masih pantas untuk punya boneka beruang?’
Suatu malam setelah membaca cerita
di majalahnya dimana tokoh utama dalam cerita tersebut adalah seekor beruang,
putranya bertanya demikian padanya. Saat itu dia berpikir bahwa seharusnya dia
sudah membelikan putranya sebuah boneka jauh sebelum dia bisa membaca. Seharusnya dia sudah membelikan boneka ketika putranya masih suka bermain
perosotan di taman kanak-kanak.
Keesokan hari, putranya berlompatan
girang ketika pulang sekolah dan menemukan sebuah boneka besar yang nyaris sama
tinggi dengannya di atas tempat tidur.
‘Ayah,
aku akan menamainya Ranko. Seperti nama beruang dalam cerita semalam.’
Dia mendekat dan duduk di atas
tempat tidur. “Kau mulai merasa sepi juga, hah? Ranko?” Diambilnya beruang itu
dan diletakkannya di atas pangkuan. “Ya, aku tahu… pasti kau juga sepertiku.
Seharusnya aku membeli satu lagi benda sepertimu ini agar kau punya teman. Ah,
tak apa, kita akan berteman mulai hari ini. Kau akan jadi temanku dan aku akan
jadi temanmu… tenang saja.”
Diletakkannya kembali boneka beruang
itu di tempatnya semula. Sekarang dia memandang berkeliling ke seluruh penjuru
kamar. Memandang sayu pada topi merah putih putranya yang tersangkut di gantungan
baju di belakang pintu. Pada raket bulutangkis dan bola bisbol serta
pemukulnya di salah satu sudut kamar. Pada kertas-kertas berisi gambar
buatan putranya sendiri yang bertempelan di banyak tempat di dinding. Juga pada
jendela yang di kacanya bertempelan stiker kartun sejenis dengan yang tertempel
di lemari. Dia pernah menegur putranya karena menempel stiker di kaca jendela,
tapi putranya tak pernah melepaskannya. Stiker itu masih tetap tertempel di
sana hingga hari ini.
‘Bukankah
sinar matahari jadi terhalang bila jendela ditempeli seperti itu?’
Kalimatnya ketika menegur putranya
dulu kembali terngiang. Dia ingat putranya hanya diam ketika itu. Sebelum
keluar kamar, dia sempat menyuruh putranya untuk melepaskan stiker-stiker itu
dari jendela. Tapi sang putra tidak melepaskannya. Dia beranjak ke sana,
mengusap stiker-stiker itu sambil berusaha membayangkan saat putranya menempel
mereka di sana.
Puas mengusap jendela, dia kembali
memandang ke seluruh penjuru kamar. Sekarang pandangannya tertuju pada meja belajar,
menatap lama semua benda-benda di atasnya. Tas sekolah, buku-buku pelajarannya,
mug berisi pensil dan pena,
komik-komik dan buku-buku cerita. Tumpukan majalah anak-anak yang sering
dibaca putranya juga ikut ada di sana. Lalu perhatiannya tersita pada piala yang terletak bagian atas meja belajar
itu. Ada tiga piala. Dia ingat betul kapan piala-piala itu dibawa pulang
putranya.
Dia melangkah mendekat ke meja,
memandang piala-piala itu lebih dekat. Semua tulisan di piala itu sama. JUARA I
LOMBA MENGGAMBAR. Ya, putranya sangat suka menggambar, karena itulah seluruh
dinding kamarnya bertempelan kertas gambar. Piala-piala itu membuktikan betapa
sang putra sangat cinta menggambar.
Diraihnya piala-piala itu dan
diusapnya satu-satu sebelum diletakkan ke tempat semula. Lalu perhatiannya
tertuju pada weker berbentuk panda yang tergeletak di antara buku-buku di atas
meja belajar.
‘Ayah,
sepertinya aku sudah harus punya weker untuk membantuku lebih disiplin. Kalau aku punya weker, Ayah tak
harus susah lagi mebangunkanku tiap pagi…’
Dia tak pernah keberatan
membangunkan putranya, sebaliknya dia selalu menikmati rutinitas paginya itu.
Namun dia tak mungkin menolak permintaan sang putra untuk membelikannya sebuah
weker, toh putranya benar, bahwa dia akan belajar mendisiplinkan diri dengan
benda itu. Jadi setelah putranya berangkat ke sekolah, pagi itu juga dia
mencari sebuah weker di pasar.
Merasa cukup melihat-lihat kamar
putranya, dia beranjak keluar. Ditutupnya pintu kamar sang putra dengan hati
tak menentu. Dia tak yakin akan sekuat ini saat masuk ke kamar sang putra di
hari-hari esok, sama tak yakinnya dia kalau akan sanggup hidup dalam
kesendiriaan yang pasti akan mengiringi hari-harinya hingga tua kelak.
Mulai hari ini sepi akan jadi
temannya. Semuanya tak sama lagi. Walau setiap hari mulai esok dia masih
menyiapkan sarapan. Masih duduk di kursi kayu di beranda. Masih melihat ayunan
di halaman. Masih melihat sepeda itu. Pohon itu, dan juga masih bisa melihat
kamar putranya. Tapi semuanya akan ditemukannya dalam keadaan tak sama lagi.
Kemarin, dia masih menjalani
hidupnya bersama keyakinan bahwa suatu saat harapan dan impiannya terhadap sang
putra akan terwujud satu-persatu seiring berjalannya waktu. Sekarang, hari-hari
kosong tanpa harapan dan impian sudah mulai menyambanginya. Namun sekosong dan
sesepi apapun hidup yang akan dijalani hingga hari tuanya kelak, itu tak akan
merubah statusnya. Sampai dia menutup mata, sampai dunia kiamat, dia tetap
seorang ayah bagi putra yang tak lagi bersamanya. Dan begitulah orang-orang
akan mengenalnya. Dia tetap seorang ayah meski tak ada lagi yang memanggilnya
ayah.
- FIN
-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar