Sepeda itu bersandar di tempat biasanya |
Pria itu sangat menyayangi putranya.
Putra satu-satunya yang dia miliki bersama sang istri, yang harus berkorban
nyawa ketika melahirkan buah cinta mereka ke kehidupan fana. Sang putra belum
pun memasuki masa remajanya, seharusnya saat ini dia masih menikmati hari-hari
ceria masa kanak-kanaknya. Sang putra tersayang masih sangat belia, terlalu
belia sehingga tidak sempat melengkapi semua cita-cita seorang ayah. Harapan yang
begitu banyak terhadap anak lelakinya itu harus diikhlaskannya untuk tak pernah
terwujud.
Dia ingin melihat sang putra tercinta
menyimpan seragam merah putih miliknya dan menggantinya dengan warna biru putih
yang baru, sebelum berganti lagi dengan putih abu-abu. Dia ingin merasakan bagaimana dirinya menghadapi beberapa kenakalan putranya ketika beranjak remaja.
Dia ingin membelikan putranya sebuah sepeda motor seperti yang diidamkan para
remaja seusianya nanti. Dia ingin melihat putranya tertawa bersama rekan sebayanya. Dia ingin
memperkenalkan dirinya pada teman-teman yang datang mencari putranya ke rumah, atau
tersenyum ramah ketika sang putra mengenalkan seorang gadis padanya suatu hari
nanti. Dia ingin dirinya berada di masa-masa itu untuk melihat putranya
melewati tahap demi tahap kehidupannya.
Dia selalu berdoa agar diberi umur
panjang untuk melihat putranya berdiri gagah dengan baju wisudanya suatu saat
nanti, seperti dia berdiri di depan ayah ibunya suatu masa dulu. Lebih dari
semua itu, dia kerap membayangkan kehadiran seorang menantu perempuan dalam
rumahnya. Membayangkan betapa indah hari tuanya di antara cucu-cucu menggemaskan,
anak dari putra satu-satunya
Kini, segala ingin itu harus
diikhlaskannya. Mulai saat ini orang-orang akan melihatnya sebagai pria paruh
baya yang malang. Pria paruh baya yang tidak memiliki satu pun harta berharga
lagi. Kini dia tak ubahnya bejana kosong. Tak ada apa-apa di dalamnya yang bisa
disebut sebagai isi, selain dari udara dan kehampaan. Dia adalah kekosongan dan
kehampaan.
Sekarang, saat dia berjalan lesu di
jalan kecil dan sepi menuju rumah yang juga sudah memasuki masa-masa sepinya
semenjak hari ini, ingatannya yang masih sesegar pagi menghadirkan sang putra
dalam gambaran utuh di kepalanya. Beberapa potongan kehidupan seorang ayah dan
anak lelakinya mencuat keluar dari memorinya, langkahnya kian terasa berat…
*
Hari-hari sepi tanpa seorang istri
tidak terasa berat baginya. Pada sosok malaikat kecilnya, dia merasakan bahwa
sang istri tak pernah pergi. Segala kebaikan yang pernah dilihatnya dalam diri
istrinya kini juga didapatinya dalam diri buah hati mereka. Seperti hari ini,
dia sekali lagi melihat kebaikan yang sama pada diri putranya.
“Ayah, sepertinya dia terjatuh dari
sarangnya, aku menemukannya di bawah pohon kita…”
Dia berhenti dari pekerjaannya
menggergaji papan dan menoleh pada sosok kecil yang berdiri di belakangnya,
putranya. “Wah, cantik sekali. Kau ingin memeliharanya? Pasti akan sangat
mengasyikkan punya binatang peliharaan. Ayah bisa membuatkan sangkar bagus
untuknya.”
Anaknya menggeleng, “Maukah Ayah
mengembalikan anak burung ini ke atas pohon? Ibunya pasti kebingungan saat
pulang nanti…”
Dia terdiam menatap sang putra yang
balik menatapnya dengan tatapan memohon. Anak burung yang masih merah tergolek
lemah dalam telapak tangannya. “Kau tidak ingin memeliharanya?”
Si anak menggeleng lagi. “Aku
khawatir tak bisa memeliharanya dengan baik.”
Dia tersenyum sambil mengusap kepala
putranya. “Ayo kita kembalikan dia ke ibunya.” Digandengnya tangan putranya itu
berjalan keluar dari gudang tempatnya bekerja mengolah kayu-kayu.
“Ayah bisa melihat sarangnya?” tanya sang putra sambil mendongak. Mereka sudah
sampai di bawah pohon di halaman rumah.
“Kau bisa melihatnya?” dia balik
bertanya. Putranya menjawab dengan gelengan. “Kemari, sarangnya ada di sana…”
dibimbingnya tangan putranya lebih dekat ke bawah pohon. “Itu dia.”
Si anak mengikuti arah telunjuk
ayahnya, lalu dia tertawa. “Ayah bisa memanjat setinggi itu?”
“Kita akan lihat.”
Lalu dia mengambil anak burung dari
tangan putranya dan mulai memanjat. Di bawah pohon, si anak memperhatikan
dengan takjub apa yang dilakukan ayahnya di atas sana.
“Ayah, apa dia punya saudara?”
putranya berseru.
“Dia punya tiga saudara kembar,
mereka menyambutnya dengan gembira.”
“Apa mereka juga masih merah?”
“Ya, mereka sama merahnya,” jawabnya
sambil bergerak turun.
Saat dia kembali berada di bawah
pohon, putranya memeluk pinggangnya. “Apa kita sudah melakukan hal baik, Ayah?”
“Tentu, anakku. Kau sudah melakukan
hal baik…”
“Kita berdua, Ayah.”
“Ya, kita berdua…”
Dia yakin, putranya akan tumbuh
menjadi pria baik saat dewasa kelak.
*
Dia memasuki pekarangan rumahnya,
berhenti sejenak di gerbang sambil memandang
pohon besar di dekat pagar sebelah kirinya. Dia berjalan ke bawah pohon
itu dan berdiri tepat dimana putranya pernah berdiri sambil memandang takjub padanya
suatu hari dulu. Pohon ini masih menjadi rumah bagi burung-burung itu. Sekarang, dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat beberapa sarang baru di
sekitar dahan tempat dia menunaikan permintaan putranya waktu itu.
Puas berdiri di bawah pohon, dia
melanjutkan langkah masuk ke dalam rumah. Di beranda, dia berhenti sebentar
untuk memandang ke sekeliling halaman. Jejak-jejak putranya masih segar di
seluruh penjuru. Ayunan kayunya masih utuh di sana, bergoyang pelan ditiup
angin di satu sudut. Bila sore, ayunan itu menjadi tempat favorit putranya untuk
melepas lelah setelah mengayuh sepeda bersama teman-temannya. Putranya akan
tetap berada di sana sambil mengayun pelan sampai dia berseru memanggilnya
untuk segera mandi.
Sekarang, ayunan itu tak akan pernah terpakai lagi.
Sekarang, ayunan itu tak akan pernah terpakai lagi.
Di tiang ayunan, dia menemukan sepeda
itu bersandar seperti biasanya. Sejak menjadi benda mengasyikkan untuk
menghabiskan waktu bermain, sepeda itu tak pernah disimpan putranya di dalam rumah
atau di gudang kayu di samping rumah, tempat motor tua sang ayah juga diparkir
saat malam.
‘Biar
mudah saat mau dipakai besoknya, Ayah…’
Begitu selalu putranya akan menjawab
setiap kali dia menyuruhnya untuk menyimpan sepeda itu di gudang kayu bersama motor
tuanya. Kini, sepeda itu juga sudah tak bertuan.
Kolam kecil di samping beranda
tempat sang putra memelihara beberapa ikan juga tak luput dari perhatiannya.
Setiap pagi sebelum bersiap-siap ke sekolah, putranya akan menghabiskan
beberapa menit di kolam itu sambil menaburkan pellet untuk ikan-ikan di dalamnya. Di hari minggu, dia juga akan
ikut sibuk di kolam itu untuk membantu putranya menangkap ikan-ikan dan lalu
mengganti airnya.
‘Jangan
menjepitnya terlalu keras, Ayah. Mereka tidak buas…’
Sang putra pernah berucap demikian padanya
ketika suatu kali dia terpaksa menjepit salah satu ikan yang berhasil ditangkap,
setelah sebelumnya bergerak gesit di dasar kolam. Ikan itu yang paling susah
ditangkap kala itu. Dia harus menjepit kuat-kuat karena tubuh si ikan terlalu licin di
tangannya. Ketika jepitannya dilonggarkan, ikan itu lepas dan mencebur kembali ke dalam kolam, mencipratkan air pada mereka berdua. Dia dan putranya
tertawa bersama.
‘Kali
ini Ayah boleh menjepitnya kuat-kuat…’
Rasanya dia akan mengingat saat itu
hingga akhir hayat nanti. Mulai hari minggu mendatang, dia akan membersihkan
kolam itu seorang diri. Dia juga akan akan mengambil alih kebiasaan putranya di
pagi hari sebelum bersiap-siap ke sekolah, menaburkan pellet.
Matanya menubruk kursi kayu di
beranda, juga meja di depan kursi itu. Meja dan kursi kayu itu buatannya sendiri. Saat
malam, dia kerap duduk di sana sambil mendengarkan putranya membaca keras-keras
cerita dalam majalah anak-anak yang dibelikan untuknya. Setelah putranya selesai
membaca, dia akan menyampaikan maksud yang terkandung dalam cerita itu sementara
sang putra akan mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali mengangguk
mengerti. Di kursi kayu itu pula dia sering duduk sambil bercakap-cakap dengan
putranya setelah mereka makan siang, sebelum kembali ke gudang untuk menempah pesanan perabotan.
Hari-hari ke depan, dia akan
menghabiskan waktu istirahat siangnya di kursi itu sendirian. Dia tak akan
mendengarkan sang putra membaca keras-keras cerita apapun lagi dari majalah
yang dibelikan untuknya.
Dia mengusap wajah lalu mendorong
daun pintu. Kesendirian itu langsung terasa begitu dia melewati ambang pintu
rumahnya. Dibawanya langkah menuju dapur. Dari sini, dia selalu bisa mendengar
derap kaki sang putra saat berlari menujunya kala sedang menyiapkan makan
siang. Selalu begitu. Putranya akan berlari mendapatkannya setelah membuka
sepatu di pintu depan.
‘Ayah,
aku pulang…!’
Sang putra akan berseru begitu saat
tiba di rumah.
‘Wah,
sepertinya enak…’
Dan dilanjutkan dengan kalimat itu
ketika sampai di dapur dan menemukan ayahnya di depan kompor dengan panci
mengepul. Putranya akan menyalami tangannya sebelum kembali berlari menuju
kamar untuk mengganti seragamnya.
Berada sendirian di tengah-tengah dapur, sekarang dia menatap sayu pada peralatan dapurnya. Rasanya tak akan sama lagi saat dia menggunakan peralatan-peralatan itu esok hari, dan hari-hari setelah esok. Digenggamnya tangannya sendiri, mencoba merasakan kembali jari-jari putranya di situ ketika menyalami dan mencium tangannya.
Pandangannya beralih ke meja makan. Suatu
pagi dia pernah kebingungan menjawab pertanyaan dari putranya ketika mereka sedang
sarapan. Kebingungan yang berakhir dengan kalimat ‘Habiskan sarapanmu dan segera berangkat sekolah.’
*
Note :
Father and Son berlanjut ke sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar