Beautiful girl and guitar |
Rasanya
baru beberapa menit lalu tubuhku terkapar di ranjang. Mimpi segera akan menarikku
hanyut dalam pusarannya. Mimpi indah seperti malam-malam terdahulu yang
menghadirkan gadis cantik di dalamnya. Gadis indah dalam mimpi yang indah. Mimpi
apalagi yang bisa lebih bagus dari itu? Tidak ada.
Sejak
dia menempati apartemen yang berselang dua pintu dari pintuku hampir enam bulan
lalu, nyaris setiap malam aku mengkhayalkannya. Khayalan itu selalu berujung
pada mimpi dalam tidurku. Sekarang, aku siap menyongsong mimpi itu lagi jika
saja suara yang entah berasal dari mana itu tidak mengeluarkan sebagian jiwaku
dari alam bawah sadar. Aku terjaga, diam dengan mata terpejam. Beberapa
inderaku ikut siaga kemudian. Suara itu berhasil kuidentifikasi. Di luar sana,
seseorang entah siapa sedang mengetuk pintu depan apartemenku.
Siapa orang gilanya
yang bertamu malam-malam buta seperti ini? Sungguh tak kenal waktu.
Masih
terpejam, aku mendumel dalam hati. Ketukan itu masih terdengar, pelan dan
lembut. Siapapun orang yang mengetuknya, pastilah dia seorang penyabar. Aku
berusaha membuka kelopak mataku, rasanya ada lakban mahabesar yang merentang di
atasnya. Aku menggeliat untuk kemudian berbalik. Seketika silau menyerbu mataku.
Sambil mengernyit, aku bisa melihat pijar sang surya dari balik tirai tipis
jendelaku. Ternyata sekarang bukan lagi malam buta. Tamu di depan pintu apartemenku
itu tak salah waktu.
Hei,
tapi ke mana perginya suara ketukan itu? Aku tak lagi mendengarnya. Ternyata
dia tidak sesabar yang kukira. Baguslah. Aku bisa melanjutkan tidur dalam
damai. Kutarik selimut hingga menutupi wajahku, bersiap untuk tidur kembali
meskipun hari sudah pagi.
Sekarang
aku ingat bahwa semalam aku pulang dini hari. Ada pesta kecil di kediaman
putera bos. Pesta akhir pekan bagi karyawan yang masih lajang yang turut melibatkan
berbotol-botol beer dan banyak gadis
seksi berambut pirang. Jika saja semalam aku tak menolak seperti biasanya
setelah botol-botol itu kosong, maka
pagi ini aku tidak akan terjaga di kamarku, tapi di salah satu kamar di
kediaman sang putera bos, bersama salah seorang gadis berambut pirang itu.
Mataku
mulai memberat lagi, tepat ketika ketukan itu terdengar kembali. Sial. Kenapa
dia tidak pergi saja? Aku menyingkirkan selimut dengan sentakan kuat hingga
sebagian kain tebal itu tertebar di lantai. Kuangkat badanku hanya untuk kembali
terkapar. Aku bertanya-tanya, berapa banyak aku minum semalam? Kini aku sadar
kalau kepalaku masih pusing.
Tamu
itu masih mengetuk. “Wait a second …!”
teriakku parau. Hening, sang tamu berhenti menimbulkan suara di pintuku.
Sepertinya dia memilih menunggu.
Aku
kembali bangkit sambil memijit-mijit keningku mengusir pusing. Kulirik weker di
nakas, mendekati setengah tujuh. Ini jam terpagi dalam sejarahku menerima tamu.
Masih menahan pusing, kuseret langkahku keluar kamar dan lalu menuju pintu. Sempat
kuperhatikan ruang tamu apartemenku yang berantakan. Plastik bekas laundry yang mengemas beberapa bajuku
tergeletak asal-asalan di atas sofa, bersama serakan surat kabar dan beberapa
kantong berisi belanjaan dapur yang kubeli dua hari lalu.
Ketukan
itu terdengar lagi tepat saat aku meraih kunciku. “I’m coming ...!”
Daun
pintuku mengayun terbuka. Aku menegang di tempatku berdiri. Gadis pengisi
mimpi-mimpiku tegak berdiri di depan
pintuku.
“Hi…,” sapanya. Tapi yang kulakukan
hanyalah terpesona pada senyumnya.
Butuh
beberapa detik untuk menyadarkan diriku bahwa aku sedang tidak bermimpi di
ranjangku. Aku mengerjap beberapa kali. Mimpi-mimpiku berkelebat cepat.
Beberapa potong memori yang melibatkan sosok yang baru saja menyapaku ikut
berkelebat. Obrolan kecil di lift. Saling
melempar senyum di lobi gedung apartemen. Bertemu secara kebetulan di swalayan
seberang jalan. Sapaan-sapaan ketika berpapasan di coffee house di lantai dasar gedung apartemen. Hari ini, dia tepat di
depan pintuku, membuatku seketika sulit bernafas.
“Emm
… aku bermaksud turun untuk sarapan. Kupikir akan menyenangkan bila bisa
mengobrol sambil menikmati sekerat pancake
... denganmu,” ujarnya.
Ini
mimpi yang jadi nyata. Meski sedikit terbata, aku mengerti dia memintaku untuk
menemaninya sarapan. “Oh, ya, tentu saja,” jawabku setengah linglung. Untuk
pertama kalinya aku merasa penampilanku sangat kacau. Kulirik diriku yang masih
mengenakan celana kantor kemarin dan bertelanjang dada. “Keberatan memberiku
lima menit untuk merapikan diri?”
Dia
tersenyum dan menggeleng, “Aku punya banyak waktu. Ambil saja selama yang kau
butuhkan,” jawabnya sambil kembali tersenyum.
Kukuak
daun pintu lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Persetan dengan ruang
tamuku yang bagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Aku tak ingin
menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk membuat mimpi-mimpiku jadi nyata. Setelah
ini, hanya masalah waktu saja sampai aku dan gadis impian ini saling mengucap
janji pernikahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar