Apakah aku akan rindu Ranti setelah ini? |
Pasta giginya habis. Tube itu benar-benar kosong. Ranto merutuk dalam hati. Bagaimana
dia bisa lupa kalau pasta giginya kosong? Menahan dongkol, Ranto mengguyur air
ke kepala, memulai aktivitas mandi sorenya. Hari ini dia melewatkan prosesi menyikat
gigi.
Ranto meninggalkan kamar mandi yang berada di salah
satu sudut di dalam kamar kos-nya dengan berlilitkan handuk lima menit
kemudian. Dia menghabiskan beberapa menit untuk mengubek-ubek isi lemarinya, mencari
baju yang sedikit rapi. Begitulah nasibnya jika kau jadi anak kos. Kau akan
lupa kalau odolmu habis, kau akan sulit mendapatkan baju yang terlipat rapi
dalam lemari pakaianmu, dan…
“Ran, barusan setrikaan kita dipinjam Firdaus lagi.
Punya dia masih di tempat reparasi tuh katanya.” Azhar, kawan sekamar Ranto berkata
di sela-sela kegiatannya di depan komputer. Dia sepertinya sedang mengerjakan
tugas kuliah.
Ya, begitulah. Jadi anak kos juga berarti bahwa
barang-barangmu adalah milik orang lain yang satu gedung kos denganmu. Tadi Azhar
menyebut ‘kita’ padahal jelas-jelas setrikaan itu milik Ranto pribadi, yang
dibekalkan ibunya ketika berangkat dari rumah untuk hidup mandiri sebagai anak
kos.
Ranto mendengus kesal, dia mengibas-ngibaskan satu
kaus yang ditariknya dari dalam lemari. Kaus itu yang paling rapi di antara
tumpukan bajunya meski dengan kerut di beberapa bagian. Dia tak punya cukup
waktu untuk mengambil setrika ke kamar anak bernama Firdaus itu, apalagi untuk
menyetrika. Waktunya sempit. Dia harus segera berangkat menuju Taman Riyadhah
untuk bertemu Ranti, pacarnya hampir setahun ini.
Dia dan Ranti sudah pacaran selama sebelas bulan
tujuh belas hari, Ranto ingat betul tanggal mereka jadian. Dia masih menyimpan
kalender tahun lalu di antara tumpukan modul kuliah di meja belajarnya. Di
dalam kalender itu, dia membulatkan satu tanggal pada satu bulan, dimana pada
tanggal itu kata cinta pada Ranti disuarakannya. Ranto bahkan menarik tanda
panah dari tanggal tersebut dan menuliskan ‘Ranto
love Ranti’ di ujung garis.
Tadi siang Ranti meneleponnya, mengajak bertemu di
Taman Riyadhah tepat jam lima sore. Ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis
itu padanya. Jika saja Ranti tidak menelepon mengajak bertemu, maka dialah yang
akan menelepon gadis itu. Ada satu hal juga yang ingin diberitahukannya kepada
Ranti. Satu hal semisal, aku tidak lagi
mencintaimu, Ran. Tepat sekali, hari ini, Ranto akan mengucap kata putus
pada Ranti. Dia sudah tak lagi memiliki perasaan cinta kepada gadis itu.
Mereka janji bertemu jam lima sore. Ranto melihat
jam di dinding kamar, pukul empat lewat tiga lima. Untuk menempuh jarak dari
kosnya ke Taman Riyadhah dia butuh waktu sepuluh menit menggunakan motor. Artinya,
dia punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Dia harus sudah berangkat pukul
empat lewat lima puluh agar tiba tepat pukul lima di taman Riyadhah.
Ranto belum pernah terlambat sejauh ini, dan dia
sudah bertekad tak akan terlambat juga di hari terakhir dirinya menyandang
status sebagai pacar Ranti. Lima belas menit lagi, dia harus sudah berkendara
menuju ke sana.
Hubungan mereka sejauh ini berjalan baik-baik saja.
Ranto sangat sadar segala kebaikan pada diri seorang Ranti, cinta pertamanya.
Mereka tak pernah punya masalah, dan nyaris tak pernah bertengkar. Jika dulu
diminta untuk mengurutkan hal-hal yang membuatnya jatuh cinta kepada gadis itu,
Ranto sedikit pun tidak akan kesulitan. Dia akan membuat daftar panjang berisi
segala detil tentang seorang Ranti yang membuat hatinya terpaut. Dia akan
menulis dengan perasaan suka cita. Sekarang, jika diminta mengurutkan, Ranto
memang masih ingat, tapi dia akan menulisnya dengan perasaan hambar, bukan lagi
dengan perasaan suka cita seperti dulu. Bahkan tidak mustahil akan melewatkan
beberapa detil itu.
Maafkan
aku, Ranti. Aku tak bisa lagi jadi kekasihmu. Bukan karena kau tidak menarik
lagi. Bukan karena hatiku yang berkhianat. Tapi karena tak ada rasa lagi yang
tertinggal dalam diriku untukmu. Rasa itu habis sudah…
Ranto menarik celana jeans dari dalam lemari. Tak kalah kusut dengan kaus yang baru saja
membungkus tubuh bagian atas pinggangnya. Ah, peduli setan, celana kusut atau
rapi tidak akan berpengaruh apa-apa baginya hari ini. Dia segera memakai
celana, melempar handuk ke atas tempat tidur lalu berdiri di depan cermin.
Ran,
hari ini kita putus! Berhenti menganggap aku adalah kekasihmu!
Apakah kalimat singkat begitu cukup? Tidak, itu
kalimat laki-laki tak berperasaan.
Ran,
mulai saat ini kau sudah bisa melirik laki-laki lain. Cari yang kira-kira bisa
menggantikanku di hatimu. Karena mulai saat ini aku berhenti jadi kekasihmu…
Begitu? Tidakkah itu terdengar kejam. Menyuruhnya
melirik laki-laki lain, kalimat putus macam apa itu?
Ran,
cerita kita telah usai…
Kenapa malah terdengar seperti lirik sebuah lagu? Bukan
mustahil itu adalah judulnya.
Ranto menyeringai di depan cermin.
Ran,
kita putus yuk!
Ya Tuhan, itu kedengaran seperti bercanda saja.
Ranti pasti akan meresponnya dengan tawa terpingkal-pingkal hingga berair mata.
Ran,
siap tidak siap, terima atau tidak. Pokoknya mulai hari ini hubungan kita harus
di-loe-gue-end-kan!
Berlebihan sekali. Sama sekali bukan style seorang Ranto.
Dengan
ini, aku nyatakan hubungan perkasihan kita tutup buku.
Gila.
Ran,
kau adalah cinta pertama terbaik yang pernah kumiliki. Aku minta maaf, hari ini
cinta pertama itu harus berakhir. Aku sudah tidak memiliki perasaan itu lagi.
Mulai sekarang aku akan menyayangimu sebagai teman…
Begitu saja cukup.
Ranto merapikan diri, kembali terngiang
percakapannya dengan Ranti siang tadi di telepon. Ranti bilang, dia akan
membicarakan satu hal dengannya. Mengapa sangat kebetulan begini? Hal apakah yang
akan dibicarakan Ranti? Apapun itu, yang jelas tidak akan lebih mengagetkan dari
pada yang akan diutarakannya pada gadis itu.
Namun tak urung juga, Ranto bertanya-tanya gerangan
hal apakah yang ingin dibicarakan Ranti dengannya di sana nanti. Dari nada
bicara Ranti tadi, sepertinya itu adalah hal yang sangat serius. Tapi agenda
menamatkan hubungan mereka yang akan dipeloporinya juga tak kalah serius. Siapa
yang akan berbicara nanti? Dia lebih dulu atau pacar yang akan segera jadi
mantannya dalam hitungan menit ke depan yang mengambil kesempatan bicara pertama.
Tak penting siapa yang lebih dulu, yang jelas hari ini hubungan mereka akan
berakhir, tamat, selesai, khatam.
“Ada janji sama Ranti, ya?” Azhar menegur.
“He eh.” Ranto meneruskan aktivitas merapikan diri
di depan cermin tanpa menoleh pada teman sekamarnya itu.
“Kencan ke mana?”
“Bukan kencan,” jawabnya singkat, masih tanpa
menoleh.
“Lalu?”
Ranto memalingkan mukanya melihat Azhar yang kini
duduk menghadapnya di depan meja komputer mereka. “Aku akan memutuskan Ranti,”
jawabnya datar lalu kembali menghadap cermin. “Itu agenda pertemuanku dengan
Ranti sore ini…”
“HAH?!”
“Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Ranti…”
Ranto mengulang kalimatnya.
“Serius?” Azhar berseru tak percaya.
“Aku tidak akan bermain-main dengan hal semacam
itu. Ya, aku sangat serius.” Ranto menjawab mantap, penuh keyakinan.
Azhar diam beberapa saat, menatap punggung Ranto
yang masih berdri di depan cermin. “Kenapa? Kau sudah punya gebetan baru yang
lebih cantik dari Ranti?”
“Tidak.”
“Atau Ranti selingkuh di belakangmu?”
“Entahlah. Tapi aku yakin Ranti tidak selingkuh,
tidak satu kali pun.”
Azhar mengernyit, “Lalu kenapa?”
“Aku hanya sudah tak mencintai Ranti lagi, itu
saja.”
“Sudah tak mencintai?”
“Ya, aku tak mau menjalani hubunganku bersama Ranti
dengan berpura-pura kalau aku masih mencintainya. Aku tak mau membohongi Ranti
lebih lama lagi. Dia berhak mendapatkan yang lainnya, bukan membuang-buang
waktu dengan orang yang tak lagi punya perasaan padanya.”
Azhar terdiam. Dia menangkap kebenaran dalam
kalimat temannya itu. Tidak mau memanipulasi perasaan, begitu maksudnya. Dia
memandang bingkai di atas meja kecil di samping tempat tidur Ranto, “Pantas
akhir-akhir ini kamu jarang natap foto itu lama-lama.”
Ranto melirik bingkai yang dimaksud Azhar. Di
dalamnya, dia dan Ranti berdiri berpegangan tangan berlatar belakang biru laut UjĂ´ng Blang.
Lelaki ini menatap seluruh penjuru kamar kos-nya,
kenangan bersama Ranti tidak hanya bingkai itu. Di sudut kamar dia menemukan
beberapa benda. Gitar, dia bersama Ranti kerap menyanyi bersama. Beberapa
pasang sepatu sport-nya, Ranti selalu
mengawaninya ketika membeli sepatu-sepatu itu. Di atas meja belajar, dia juga
menemukan Ranti-Ranti lain. Tumpukan novel, semua buku-buku itu adalah
bacaan-bacaan yang juga sangat disukai Ranti. Dia kerap menghabiskan beberapa
jam bersama Ranti di toko buku untuk memburu novel-novel bestseller, tema sci-fi
khususnya. Di sana juga tersusun beberapa disc,
semuanya adalah lagu-lagu kesukaan mereka berdua.
Ranto mendesah, “Aku akan memindahkan bingkai itu
nanti.”
Teman sekamarnya terbahak. “Biar saja di situ. Ranti
kan cantik. Biar bingkai itu jadi hiasan kamar. Siapa tahu besok-besok kamu rindu
dia lagi, kan bisa natap tuh gambar,” godanya.
Apakah
aku akan rindu Ranti setelah ini?
Ranto berhenti menyisir, mencerna pikirannya sendiri.
“Mengapa aku harus rindu dia? Aku ingin memutuskannya karena aku sudah tak
cinta. Bukankah itu otomatis juga akan menutup kemungkinan aku akan merindukannya?”
“Hei, jangan salah. Sedikit banyak, mantan pacar
itu bisa ngangenin juga loh. Waktu SMA aku pernah mutusin cewekku. Saat itu aku
yakin banget alasanku mengakhiri hubungan kami karena aku sudah tak cinta.
Namun tahukah? Lewat satu bulan kemudian, aku dibantai perasaan kangen yang
teramat sangat pada mantan cewekku itu,” Azhar memberitahu. “Sampai sekarang,
sesekali aku masih ingat dia.”
Ranto menyeringai, dia selesai dengan rambut dan
wajahnya. Sekarang berusaha menyamarkan kerut di kausnya dengan menggosok-gosok
telapak tangannya di badan. Kerut itu tetap sejelas sebelumnya. “Wajarlah saat
itu kamu kangen pacarmu itu. Usia sekolah menengah kita masih labil, masih
plin-plan, belum mantap dengan keputusan yang dibuat.” Ranto membela diri.
“Bukan masalah usia. Ini tuh masalah perasaan… dan
waktu. Lihat sekitar, mereka yang sudah dewasa juga sering kangen mantan pacar
setelah beberapa bulan berlalu.”
Ranto mendecak, kesal dengan ucapan Azhar yang
baginya terdengar menggurui, dan lebih kesal lagi karena kerut di bajunya sama
sekali tak berkurang. “Baiklah, aku tak akan memindahkan foto itu. Kita coba
sebulan, kalau ternyata aku tidak kangen, bingkainya kumusnahkan.”
Azhar terbahak kembali.
“Mungkin untuk saat ini, aku hanya akan
menelungkupkannya saja.”
Azhar semakin keras terbahak.
Ranto menyerah dengan kausnya. Dia kembali membuka
lemari, tangannya bergerak di antara gantungan jaket lalu mengeluarkan salah
satu. Yang diambilnya adalah jaket kaus bertudung, warnanya abu-abu. Ranto
menatap jaket di tangannya beberapa saat, Ranti memberikan jaket ini sebagai
hadiah hari jadinya.
‘Kamu
masih suka ngoleksi jaket, kan? Semoga kadoku ini bisa menambah koleksimu…’
Ranto terkenang saat Ranti memberinya jaket itu.
“Aku jadi kepikiran pacarmu itu, Ran. Bagaimana
kalau dia masih begitu mencintaimu? Pasti nanti dia akan meraung-raung begitu
mendengar kata putus darimu.”
Ranto mengabaikan ucapan temannya itu. Jaket di
tangannya masih ditimang-timang. Tak ada salahnya membuat Ranti sedikit gembira
di saat terakhir. Setidaknya, Ranti bisa tersenyum melihat jaket pemberiannya
masih dipakai sebelum kemudian dia akan bersedih karena diputuskan. Ranto
membuka zipper jaket itu dan
mengenakannya. Kausnya yang kusut kini tersamarkan di balik jaket itu. Penampilannya
juga jadi lebih rapi beberapa tingkat dari sebelumnya.
“Kau sudah punya kalimat yang baik? Betapun sudah
tak cintanya dirimu pada Ranti, kau tetap harus menjaga perasaannya, kan?”
Azhar kembali bersuara, “Jangan ucapkan kalimat yang bisa membuatnya hancur
sehancur-hancurnya.”
“Seperti?”
“Seperti…” Azhar berdeham. “Ranti, makin ke sini kau
makin jelek saja di mataku. Aku tak tahan lagi. Aku mau kita putus!”
Ranto berbalik memandang Azhar yang masih duduk
menghadapnya. Layar Komputer di belakangnya sedang menampilkan screensaver, balok nama Azhar
berputar-putar di layar. “Aku belum cukup gila untuk berkata demikian.”
“Itu kalimat yang aku katakan ketika memutuskan
cewekku yang aku ceritakan tadi. Aku ingat dia langsung menangis setelah
mendengar kalimatku,” kenang Azhar.
Ranto tak bisa menahan tawa. “Kau sungguh-sungguh
berkata seperti itu?”
“Ya, itulah yang aku katakan. Sebulan setelahnya,
ketika aku mulai merasa kangen dia, aku menyesal pernah berkata begitu
padanya.” Azhar menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. “Maka aku
sarankan padamu, Sobat. Pilihlah kalimat yang tepat pada saat kau ingin
mengakhiri hubunganmu. Berpisah baik-baik itu sangat berpengaruh untuk menjaga
hubungan kita dengan mantan pacar di masa mendatang. Berpisah baik-baik agar
dapat menjalin hubungan baik pula pasca putus…” Azhar terdengar seperti sedang
menasehati dirinya sendiri.
“Tentu, itulah yang akan aku lakukan. Aku ingin
tetap bersahabat dengan Ranti. Walau bagaimanapun, Ranti pernah menjadi bagian
terbaik dalam hidupku.”
Azhar mengangguk, “Jadi, kalimat macam apa yang
akan kau katakan padanya nanti?”
“Yang jelas bukan kalimat yang tadi kau sebutkan. Aku
tak mau dihajar Ranti dengan hak tingginya.”
Azhar terbahak, lagi. “Kalau aku jadi Ranti, meski
kalimatmu sesejuk oasis di gurun pasir tapi intinya satu, minta putus… aku akan
tetap menjejalkan hak tinggi ke mulutmu.”
Ranto hanya mengangkat bahunya untuk merespon
kalimat Azhar. Dia bergerak ke meja kecil di samping tempat tidur, mengambil
jam tangannya di dekat bingkai foto yang tadi sempat dibicarakannya. Ranto
mengenakan jamnya, setelah itu menatap fotonya bersama Ranti. Sedetik kemudian,
bingkai itu sukses ditelungkupkan.
“Ck… ck… ck… sadisnya.” Azhar berdecak di kursinya.
“Aku hanya tidak lagi mencintainya. Semakin cepat
aku memutuskan hubungan kami, maka itu semakin baik. Ranti bisa segera bertemu
dengan seseorang lain, tak perlu membuang waktu dan tenaganya untuk aku yang
tak lagi mencintainya. Bukankah begitu?”
Azhar mengangguk-angguk. “Pemikiran bijaknya memang
seperti itu sih. Tapi bagaimana bila Ranti lebih terluka dari yang bisa kau
bayangkan. Bagaimana bila dia begitu kuat mencintaimu sehingga akan
berlarut-larut sekian lama dalam luka yang kau sebabkan? Bagaimana bila dia
menutup hatinya untuk lelaki lain karena lukanya terlalu dalam? Bukankah itu
tidak baik?”
“Mana lebih baik? Memberinya kejujuran menyakitkan
atau membahagiakannya dengan kebohongan terus-menerus?”
Azhar terdiam. Setelah mengerjap beberapa kali dia
bersuara. “Ya, semakin cepat kau memutuskannya itu semakin baik.”
“Nah, itu dia, akhirnya kau paham.”
“Apa Ranti adalah cinta pertamamu?”
Ranto melirik jamnya, dia masih punya beberapa
menit. “Dulu aku pernah beberapa kali menyukai perempuan, tapi kepada Ranti lah
aku mengutarakan perasaanku untuk pertama kalinya. Yah, aku memang telat
mendapatkan cinta pertama. Tidak di masa SMA sepertimu. Ranti juga pernah
bilang kalau aku adalah cinta pertamanya.”
“Hemm… cinta pertama itu tak mudah dilupakan.”
“Aku tahu,” tukas Ranto. “Tapi bukan berarti cinta
pertama tak boleh dilepaskan, kan? Bila sudah tak cinta lagi, cinta maha
pertama pun hilang istimewanya, Kawan.”
“Di mana kau melihatnya pertama kali?”
“Percaya atau tidak, aku mengalami apa yang mereka
sebut love at the first sight…”
“Wow…”
Ranto tersenyum. “Kami bertemu pertama kali di
panti asuhan, jurusanku dan Ranti mengadakan baksos. Saat perkenalan di hari
pertama, aku langsung jatuh cinta dengannya. Aku mengutarakan perasaanku pada
Ranti di hari terakhir kegiatan baksos, disaksikan ramai orang, teman-teman
kami dan anak-anak panti asuhan itu.”
Ranto tersenyum sendiri mengingat bagaimana raut
gembira di wajah bersemu merah Ranti hari itu, sangat menggemaskan.
‘Bersediakah
kau jadi pacarku?’
Ranto masih ingat kalimatnya ketika meminta Ranti
menjadi kekasihnya.
‘Ya…’
Hanya satu kata itu saja dari Ranti. Tapi Ranto
dapat membaca banyak kata di matanya, dapat melihat luapan emosi yang
menggelora di sana. Kata-kata tak perlu lagi. Ranto sudah membaca semua
perasaan Ranti kepadanya hari itu lewat matanya.
“Kau sangat mencintainya hari itu, dan hari ini tak
ada sedikit pun cinta yang tersisa untuknya?”
“Ya Tuhan, Har. Mengapa kita terus berputar-putar
di situ-situ saja?”
Azhar menyeringai. “Aku hanya tak habis pikir.
Koreksi ya kalau aku salah…” Azhar memutar kursi untuk merubah posisi duduk,
sekarang tepat mengahadap Ranto. “Ranti cinta pertamamu. Kamu tidak tertarik
dengan gadis lain. Dia juga belum pernah selingkuh. Yang aku perhatikan selama
ini hubungan kalian baik-baik saja. Lalu Ranti, dia cantik. Tipe gadis yang
mudah bikin orang jatuh cinta deh pokoknya. Terus dia lembut, sopan, tutur
bahasanya menyejukkan…”
“Har, aku belum lupa semua poin lebih yang
dimilikinya,” Ranto memotong kalimat Azhar.
“Nah itu dia. Aku heran, bagaimana caranya kau bisa
tidak punya sedikit pun sisa cinta pada Ranti. Lain hal bila kau memang sedang
tertarik dengan perempuan lain yang lebih segalanya dari Ranti.”
“Kau pernah berhadapan dengan keadaan seperti ini? Bayangkan
kau punya satu ember air yang akan kau gunakan untuk menyiram satu pot bunga. Kau
masih bisa menyiram bunga itu terus menerus selama air dalam embermu masih ada.
Tapi begitu air dalam ember itu habis maka kau akan berhenti menyiramnya, kan?”
Azhar menggeleng, “Jika pot itu berisi bunga paling
indah, aku akan mencari air sampai ke ujung dunia. Aku akan mengisi emberku
lagi dan melanjutkan menyiram pot bunga itu sampai kapan pun. Selamanya kalau
bisa.”
“Bukan kau yang sedang mengalaminya, Har.”
“Kau hanya bosan, Ran. Itulah masalahnya. Kau bosan
dengan Ranti, kau jenuh.”
Jenuhkah
aku?
Ranto mencari-cari jawaban dalam hatinya. Tak ada
kata jenuh di sana. “Tidak, Har. Aku hanya tak punya cinta lagi buat Ranti. End story!”
“Hemm… di mana kalian akan bertemu?”
“Taman Riyadhah.”
“Taman Jodoh.”
“Taman Cinta.”
“Kau akan mengakhiri hubungan percintaanmu di Taman
Cinta? Ironi sekali.”
“Sebenarnya aku ingin mengajaknya bertemu di KafĂ©,
tapi Ranti lebih dulu meneleponku dan mengajak bertemu di taman itu. Aku
mengiyakan saja. Toh tempat tidak begitu penting.”
“Good luck,
Sobat! Kalau hatimu telah mantap, go
ahead…” Azhar memutar kursinya kembali. Siap untuk melanjutkan lembar
tugasnya yang tertunda.
Ranto memperhatikan sekali lagi pantulan dirinya di
cermin.
“Hey, tapi aku masih penasaran…” Azhar kembali
membuka suara, padahal sesaat tadi dia sudah menyerah. “Kalimat putus seperti
apa sih yang akan kau ucapkan untuk Ranti?”
“Aku lebih suka kau penasaran sampai mampus,” kata Ranto
semena-mena.
Azhar hanya menyengir. “Aku hanya ingin bilang,
jangan lupa untuk mengatakan bahwa kau akan terus ada sebagai sahabatnya. Katakan
juga bahwa dia masih bisa mengandalkanmu di masa-masa sulitnya.”
“Wow, Romeo… sepertinya kau sangat berpengalaman
dalam hal memutuskan cewek,” sindir Ranto.
Azhar mengangkat bahu dan berbalik kembali ke layar
komputernya. Dia tidak bersuara lagi. Sepertinya kali ini dia benar-benar
menyerah.
Ranto mengambil kunci motor. Memasukkan ponselnya ke
saku celana. Mengambil helm lalu
berjalan ke pintu. “Aku pergi,” pamitnya pada Azhar yang dijawab dengan
gumaman. Teman sekamarnya itu sudah kembali tenggelam dalam lembar tugasnya.
Ranto melihat arloji. Dia sudah terlambat beberapa
menit dari waktu yang direncanakannya untuk berangkat agar tiba tepat jam lima
di Taman Riyadhah. Sepertinya ini akan jadi kali pertama dia terlambat menepati
janji. Ternyata niat untuk tak akan terlambat di hari terakhir menyandang
predikat sebagai pacar Ranti tak bisa ditepatinya. Ini karena dia terlalu
menurutkan Azhar yang banyak omong sehingga terlambat berangkat. Ah, tak apa,
hanya sekali ini saja dia terlambat selama sejarah hubungan pacarannya dengan
Ranti.
Ranto berkendara menuju Taman Riyadhah yang
terletak di jalan masuk kota. Sepanjang perjalanan dia terus mengulang-ngulang
kalimat yang sudah dipersiapkannya sejak di kos. Selama itu pula, dia
membayangkan seperti apa reaksi Ranti ketika mendengarnya. Apakah gadis itu
akan menerima kata putusnya dengan lapang dada dan tangan terbuka? Atau malah
insiden hak tinggi seperti yang sempat dibayangkannya bersama Azhar di kos tadi
yang menjadi bagiannya? Tidak, Ranti gadis baik. Dia pasti bisa mengerti.
Ranto memarkir motornya di luar taman, sama sekali tak
mengira kalau Taman Riyadhah bisa sangat ramai sore ini. Dia sudah terlambat selama enam menit,
belum lama memang. Tapi untuk ukuran orang yang tak pernah terlambat, enam
menit adalah waktu yang tidak sedikit.
Bergegas, Ranto masuk dan segera mencari-cari sosok
Ranti. Sangat mudah menemukan gadis itu. Bahkan Ranto yakin akan langsung
mengenali bila hanya melihat punggungnya saja dari kejauhan. Ranto berjalan
menuju tempat duduk gadis yang masih berstatus pacarnya itu. Ketika jaraknya
kian dekat, Ranto terpegun. Ranti tampak gelisah di tempat duduknya, kepalanya
bergerak kesana kemari, mencari seseorang. Mencari sosok Ranto, kekasihnya yang
belum datang menemuinya.
Dia
mencariku. Dia gelisah menungguku yang belum datang padanya. Dia gelisah
menunggu pacarnya yang belum pernah terlambat satu kali pun selama ini.
Sekalinya aku terlambat, tentu saja itu akan menggelisahkannya.
Ranto meneruskan langkah. Dia semakin jelas melihat
ekspresi Ranti yang cemas. Lalu dia melihat Ranti memencet-mencet tombol
ponselnya. Ya Tuhan, gadis itu terlihat begitu sendiri, begitu bingung, begitu
rentan, dan bagai kehilangan keyakinannya.
Akankah
dia kehilangan tangan tempatnya berpegang jika aku tak lagi menjadi kekasihnya?
Ranto semakin dekat. Dia kini bisa melihat seluruh
detil yang ada pada Ranti, dari puncak kepalanya hingga ujung kakinya. Termasuk
gelang berbandul hati yang ada di lengan kiri gadis itu. Gelang pemberiannya
masih setia melingkari lengan Ranti hingga detik ini.
Gelang
itu masih setia. Dan orang yang pernah memberikannya akan mengucap pisah hari
ini. Ironi sekali.
Ranto tegak berdiri di depan Ranti yang masih
menunduk. Mendadak dia ragu dengan niatnya datang kemari, ragu dengan tekadnya
untuk mengakhiri hubungannya dengan gadis di depannya ini.
“Ran,” panggil Ranto lirih.
Gadis itu mendongak. Mereka bertatapan.
Ranto tenggelam dalam mata jernih Ranti yang bagai
sedang berkaca-kaca. Oh, tidak, mata itu memang sedang berkaca-kaca.
Lalu, semua kata yang telah dipersiapkan Ranto
tercerai-berai. Tak bersisa satupun. Semua kata itu digantikan oleh satu
kalimat yang menggema dalam hati dan pikirannya.
Aku
masih mencintai gadis ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar