Aku
ingin meratapi ketidakberuntunganku. Meratapi kepengecutanku selama ini yang
telah mengakibatkan nelangsa hatiku. Sekarang, ketika sudah terpisah ribuan mil
jauhnya, aku baru menyadari bahwa aku ini laki-laki tolol. Seharusnya dulu aku
tak pernah mengambil kesempatan itu. Seharusnya dia melarangku pergi agar aku
tetap di sana. Menjaganya yang belum termiliki. Kini, aku hanya bisa menatap
hampa pada layarku.
‘Kami akan
melangsungkan pernikahan Jumat besok ....’
Itu
kalimat yang paling kuingat dari suratnya kali ini. Seakan kalimat itu
ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan sekaligus digarisbawahi. Seakan
kalimat itu bukan sekadar kubaca, tapi kudengar langsung dari mulutnya. Padahal
tidak.
Dayang,
dialah gadis kepada siapa perasaanku bermuara. Gadis yang kuangan-angankan
ribanya menjadi tumpuan kepalaku saat bermanja di kamar pengantin. Menjadi ibu
dari anak-anakku kelak. Mendampingiku. Kini, selamanya itu akan jadi
angan-angan saja. Hanya dalam waktu kurang dari dua kali dua puluh empat jam
lagi, dia akan menjadi milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun
lamanya hingga berkarang, tak ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang
begitu bodohnya berpikir bahwa gadis yang kucintai menyadari perasaanku tanpa
kuberitahu, lantas akan menunggu hingga aku menyematkan cincin di jari manisnya.
Pikiranku salah, dia tak pernah menyadari, itulah mengapa sekarang hatinya dimiliki
oleh laki-laki lain.
Salahku
tak mengungkapkan. Aku terlalu percaya diri bahwa aku yang ditunggunya. Terlalu
yakin bahwa dia bisa membaca gelagatku. Ternyata tidak. Salahku juga tak pernah
bertanya. Apakah ada seseorang? Apakah aku yang ditunggu? Apakah ada cinta
untukku? Aku tak pernah bertanya. Dan sekarang aku mendapatkan jawaban untuk
pertanyaan yang tidak pernah kuajukan padanya. Dia menjawabnya sedemikian rinci
dalam suratnya kali ini. Bahwa ada seseorang. Bahwa bukan aku yang ditunggu.
Bahwa hatinya telah tertambat sementara aku sudah terlambat.
Terpekur
menatap layarku kini. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa ketika aku masih
berada di sana. Akan kuabaikan peluang mengejar pendidikanku agar dapat terus
bersamanya. Andai bisa, akan kuundur masa kembali pada saat-saat aku dan dia
tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali pada kebersamaan yang pernah
kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku berpikir dia tahu.
Kupikir
dia tahu. Ketika kami berlari bergandengan tangan dalam hujan saat pulang
sekolah. Kupikir dia tahu. Ketika kami berkejaran di taman sambil menjaring
kupu-kupu. Kupikir dia tahu. Ketika kami berbaring beralas rumput sambil menghitung
bintang di malam ulang tahunnya. Kupikir dia tahu. Ketika aku merangkulnya di
pantai untuk berfoto setelah piknik kelulusan. Kupikir dia tahu, padahal tidak.
Sekarang aku menyesali diriku yang tak pernah memberitahukannya. Andai waktu
bisa kuputar kembali, aku ingin pergi ke salah satu peristiwa itu dan
mengatakan kepadanya kalau aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa
diputar lagi.
Maka
di sinilah aku sekarang, tidak di salah satu tempat di mana seharusnya aku memberitahunya
dulu, tetapi di dalam kamar sempit di negeri asing.
Sepertinya
aku menangis.
Aku
mengerjap. Ada basah jernih yang merembes dari kedua mataku, mengaliri wajahku
dan selanjutnya luruh jatuh ke pangkuan. Ternyata aku benar-benar menangis,
Dengan mata mengabut, kualihkan pandanganku dari layar kepada bingkai kecil
yang memuat aku dan dia di atas meja. Bingkai kecil yang tak pernah berpindah
letaknya dari dulu, tetap di posisi paling depan mejaku. Posisi yang mudah kujangkau
dan bisa langsung kulihat. Di sana, aku dan dia tersenyum berlatarkan laut dan
langit biru Pulau Weh. Kujangkau bingkai itu dan kugenggam dengan kedua
tanganku.
“Kalian berdua
benar-benar pas, mengapa tidak pacaran saja?’
Itu
kata seorang kawan yang memotret kami. Aku tersipu ketika itu, sementara dia
tertawa sambil menahan rambutnya dari tiupan angin. Kususurkan jariku di atas kaca,
bergerak perlahan di wajahnya yang tersenyum lepas dalam rangkulanku. Mataku
kian basah. Kalung hati yang kuberikan sebagai hadiah hari jadinya yang ke
tujuh belas menggantung indah di lehernya. Kelasku berlibur ke Sabang seminggu
setelah aku memberinya kalung itu.
Kukenang
bagaimana suka citanya diriku saat memasukkan bingkai ini ke koperku hampir
lima tahun lalu. Aku memilih foto ini karena kalung hati di lehernya. Tuhan,
bodohnya aku yang berpikir kalau dia adalah milikku hanya karena dia selalu
memakai kalung itu sejak kuberikan. Bodohnya aku hingga merasa tak perlu
mengungkapkan perasaanku padanya.
Aku
mendongak, mencoba membendung air mataku sekaligus membebaskan jalan napasku.
Melepaskan cinta yang tak pernah kita miliki mungkin mudah, tapi melepaskan
cinta yang kita anggap bahwa cinta itu milik kita, padahal tidak sama sekali …
itu perih.
Kutatap
sekali lagi bingkai yang masih kupegang erat. Kuperhatikan sosok kami lebih
lekat. Mulai dari buih yang memutih di kaki kami, celanaku yang basah dan kain
bunga-bunga miliknya yang ditiup angin, lenganku di pinggangnya dan kedua
lengannya yang menggelayut di bahuku, lalu kalung hati itu, lalu pada senyum
lepas di wajah kami berdua. Hamparan laut biru dan langit bersih di belakang
kami yang selama ini kuyakini sebagai saksi kebahagianku, sekarang terlihat seperti
mengejekku. Mengejek seorang pecundang. Dan buih putih itu sekarang
menertawakanku.
Waktu
telah mengelabuiku, merabunkan mata dan hatiku. Ya, aku telah ditipu oleh
waktu. Betapa saat-saat yang kulalui bersamanya dulu begitu meyakinkan, dan
lihatlah kini, waktu telah mematahkan keyakinanku dengan fakta yang begitu
meyakinkan pula. ‘Kami akan melangsungkan
pernikahan Jumat besok.’ begitu meyakinkan, sekaligus begitu menyakitkan.
Waktu telah mempermainkanku.
Kuseka
mataku, kuhirup udara kuat-kuat. Berusaha bernapas dengan hidung yang seakan
disumbati gabus ternyata melelahkan. Kutarik laci paling bawah di sebelah kiri
mejaku. Kutatap sesaat pada benda yang menjadi satu-satunya isi laci paling
bawah itu. Buku tebal bersampul hitam, buku agendaku yang memuat semua cerita
tentangnya. Kumasukkan bingkai di tanganku ke sana, bergabung bersama buku
bersampul hitam itu dalam posisi telungkup. Kuseka kembali mataku yang sialnya semakin basah saja, lantas kudorong
laci itu hingga tertutup rapat. Aku tak akan membuka laci paling bawah itu
lagi. Tak akan pernah.
Dengan
hati perih, aku mengetik pada layarku.
Andai waktu bisa
kuputar kembali, aku ingin mengembalikan kita ke malam itu lagi. Dengan kado di
tangan, aku akan berjalan menujumu di depan lilin tujuh belasmu dan meneriakkan
cinta. Seharusnya aku
sudah meneriakkannya saat kita berlarian dalam hujan, atau saat kita menjaring
kupu-kupu di taman, atau saat kita menghitung bintang malam itu. Aku tak akan
terlambat andai berani mengambil kesempatan terakhirku di Sabang, tapi aku
terlalu bodoh. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali.
Dayang, untukmu … aku
turut berbahagia.
Ini
akan jadi surat terakhirku untuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar