Minggu, 10 September 2017

Broken Hearted Man


broken hearted man
Lonely broken hearted man

Aku ingin meratapi ketidakberuntunganku. Meratapi kepengecutanku selama ini yang telah mengakibatkan nelangsa hatiku. Sekarang, ketika sudah terpisah ribuan mil jauhnya, aku baru menyadari bahwa aku ini laki-laki tolol. Seharusnya dulu aku tak pernah mengambil kesempatan itu. Seharusnya dia melarangku pergi agar aku tetap di sana. Menjaganya yang belum termiliki. Kini, aku hanya bisa menatap hampa pada layarku.

‘Kami akan melangsungkan pernikahan Jumat besok ....’

Itu kalimat yang paling kuingat dari suratnya kali ini. Seakan kalimat itu ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan sekaligus digarisbawahi. Seakan kalimat itu bukan sekadar kubaca, tapi kudengar langsung dari mulutnya. Padahal tidak.

Dayang, dialah gadis kepada siapa perasaanku bermuara. Gadis yang kuangan-angankan ribanya menjadi tumpuan kepalaku saat bermanja di kamar pengantin. Menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Mendampingiku. Kini, selamanya itu akan jadi angan-angan saja. Hanya dalam waktu kurang dari dua kali dua puluh empat jam lagi, dia akan menjadi milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun lamanya hingga berkarang, tak ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang begitu bodohnya berpikir bahwa gadis yang kucintai menyadari perasaanku tanpa kuberitahu, lantas akan menunggu hingga aku menyematkan cincin di jari manisnya. Pikiranku salah, dia tak pernah menyadari, itulah mengapa sekarang hatinya dimiliki oleh laki-laki lain.

Salahku tak mengungkapkan. Aku terlalu percaya diri bahwa aku yang ditunggunya. Terlalu yakin bahwa dia bisa membaca gelagatku. Ternyata tidak. Salahku juga tak pernah bertanya. Apakah ada seseorang? Apakah aku yang ditunggu? Apakah ada cinta untukku? Aku tak pernah bertanya. Dan sekarang aku mendapatkan jawaban untuk pertanyaan yang tidak pernah kuajukan padanya. Dia menjawabnya sedemikian rinci dalam suratnya kali ini. Bahwa ada seseorang. Bahwa bukan aku yang ditunggu. Bahwa hatinya telah tertambat sementara aku sudah terlambat.

Terpekur menatap layarku kini. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa ketika aku masih berada di sana. Akan kuabaikan peluang mengejar pendidikanku agar dapat terus bersamanya. Andai bisa, akan kuundur masa kembali pada saat-saat aku dan dia tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali pada kebersamaan yang pernah kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku berpikir dia tahu.

Kupikir dia tahu. Ketika kami berlari bergandengan tangan dalam hujan saat pulang sekolah. Kupikir dia tahu. Ketika kami berkejaran di taman sambil menjaring kupu-kupu. Kupikir dia tahu. Ketika kami berbaring beralas rumput sambil menghitung bintang di malam ulang tahunnya. Kupikir dia tahu. Ketika aku merangkulnya di pantai untuk berfoto setelah piknik kelulusan. Kupikir dia tahu, padahal tidak. Sekarang aku menyesali diriku yang tak pernah memberitahukannya. Andai waktu bisa kuputar kembali, aku ingin pergi ke salah satu peristiwa itu dan mengatakan kepadanya kalau aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa diputar lagi.

Maka di sinilah aku sekarang, tidak di salah satu tempat di mana seharusnya aku memberitahunya dulu, tetapi di dalam kamar sempit di negeri asing.

Sepertinya aku menangis.

Aku mengerjap. Ada basah jernih yang merembes dari kedua mataku, mengaliri wajahku dan selanjutnya luruh jatuh ke pangkuan. Ternyata aku benar-benar menangis, Dengan mata mengabut, kualihkan pandanganku dari layar kepada bingkai kecil yang memuat aku dan dia di atas meja. Bingkai kecil yang tak pernah berpindah letaknya dari dulu, tetap di posisi paling depan mejaku. Posisi yang mudah kujangkau dan bisa langsung kulihat. Di sana, aku dan dia tersenyum berlatarkan laut dan langit biru Pulau Weh. Kujangkau bingkai itu dan kugenggam dengan kedua tanganku.

“Kalian berdua benar-benar pas, mengapa tidak pacaran saja?’

Itu kata seorang kawan yang memotret kami. Aku tersipu ketika itu, sementara dia tertawa sambil menahan rambutnya dari tiupan angin. Kususurkan jariku di atas kaca, bergerak perlahan di wajahnya yang tersenyum lepas dalam rangkulanku. Mataku kian basah. Kalung hati yang kuberikan sebagai hadiah hari jadinya yang ke tujuh belas menggantung indah di lehernya. Kelasku berlibur ke Sabang seminggu setelah aku memberinya kalung itu.

Kukenang bagaimana suka citanya diriku saat memasukkan bingkai ini ke koperku hampir lima tahun lalu. Aku memilih foto ini karena kalung hati di lehernya. Tuhan, bodohnya aku yang berpikir kalau dia adalah milikku hanya karena dia selalu memakai kalung itu sejak kuberikan. Bodohnya aku hingga merasa tak perlu mengungkapkan perasaanku padanya.

Aku mendongak, mencoba membendung air mataku sekaligus membebaskan jalan napasku. Melepaskan cinta yang tak pernah kita miliki mungkin mudah, tapi melepaskan cinta yang kita anggap bahwa cinta itu milik kita, padahal tidak sama sekali … itu perih.

Kutatap sekali lagi bingkai yang masih kupegang erat. Kuperhatikan sosok kami lebih lekat. Mulai dari buih yang memutih di kaki kami, celanaku yang basah dan kain bunga-bunga miliknya yang ditiup angin, lenganku di pinggangnya dan kedua lengannya yang menggelayut di bahuku, lalu kalung hati itu, lalu pada senyum lepas di wajah kami berdua. Hamparan laut biru dan langit bersih di belakang kami yang selama ini kuyakini sebagai saksi kebahagianku, sekarang terlihat seperti mengejekku. Mengejek seorang pecundang. Dan buih putih itu sekarang menertawakanku.

Waktu telah mengelabuiku, merabunkan mata dan hatiku. Ya, aku telah ditipu oleh waktu. Betapa saat-saat yang kulalui bersamanya dulu begitu meyakinkan, dan lihatlah kini, waktu telah mematahkan keyakinanku dengan fakta yang begitu meyakinkan pula. ‘Kami akan melangsungkan pernikahan Jumat besok.’ begitu meyakinkan, sekaligus begitu menyakitkan. Waktu telah mempermainkanku.

Kuseka mataku, kuhirup udara kuat-kuat. Berusaha bernapas dengan hidung yang seakan disumbati gabus ternyata melelahkan. Kutarik laci paling bawah di sebelah kiri mejaku. Kutatap sesaat pada benda yang menjadi satu-satunya isi laci paling bawah itu. Buku tebal bersampul hitam, buku agendaku yang memuat semua cerita tentangnya. Kumasukkan bingkai di tanganku ke sana, bergabung bersama buku bersampul hitam itu dalam posisi telungkup. Kuseka kembali mataku yang  sialnya semakin basah saja, lantas kudorong laci itu hingga tertutup rapat. Aku tak akan membuka laci paling bawah itu lagi. Tak akan pernah.

Dengan hati perih, aku mengetik pada layarku.

Andai waktu bisa kuputar kembali, aku ingin mengembalikan kita ke malam itu lagi. Dengan kado di tangan, aku akan berjalan menujumu di depan lilin tujuh belasmu dan meneriakkan cinta. Seharusnya aku sudah meneriakkannya saat kita berlarian dalam hujan, atau saat kita menjaring kupu-kupu di taman, atau saat kita menghitung bintang malam itu. Aku tak akan terlambat andai berani mengambil kesempatan terakhirku di Sabang, tapi aku terlalu bodoh. Ah, andai waktu bisa kuputar kembali.

Dayang, untukmu … aku turut berbahagia.

Ini akan jadi surat terakhirku untuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar