Minggu, 10 September 2017

Cumulus Clouds

cumulus clouds
Beautiful cumulus clouds


Selembut awan. Seputih awan. Ungkapan-ungkapan semacam itu sangat sering dilontarkan orang-orang. Tanpa mencari tahu, orang-orang langsung percaya kalau awan itu lembut padahal tak pernah menyentuhnya. Tanpa ragu, orang-orang langsung berucap seputih awan untuk menggambarkan apapun yang warnanya putih. Padahal ketika mendung, awan juga berwarna hitam pekat. Dengan mantap, kita menyamakan apa yang tampak bersih itu seperti awan padahal awan dan langit juga tercemar. Awan dan langit juga tak luput dari polusi. Asap pesawat terbang, bukankah itu juga polutan? Tentu saja.

Segumpal awal putih menyilaukan kini sedang berada dalam ruang pandangku. Awan cumulus, begitu biasa mereka menyebutnya. Terang, putih, berlatar warna biru merata di belakangnya. Awan putih di bawah langit yang biru.

Selembut awan. Dalam penglihatanku, gumpalan-gumpalan putih itu memang tampak lembut. Selain lembut, ia juga ringan. Bentuknya sangat mudah diubah oleh angin. Itu bukti bahwa ia begitu ringan. Oh, tentu saja … ia mengapung di angkasa nun tinggi di sana. Cukup sebagai bukti untuk membuatku yakin bahwa si awan ini benar-benar tak punya bobot.

Seputih awan. Tentu ungkapan itu lebih familiar karena semua orang hanya mengenal yang satu itu. Tak pernah kita mendengar sehitam awan, atau sekelabu awan. Selalu seputih awan. Orang-orang akan menggunakan ungkapan sehitam kopi atau sekelam malam untuk mendeskripsikan warna hitam. Awan selalu dikaitkan dengan warna putih. Aku mengira, ini karena kita lebih sering melihat awan ketika ia sedang berwarna putih, kita lebih suka melihat awan dalam keadaan begitu. Maka ketika bersinggungan dengan sesuatu yang keadaannya putih, kita langsung mengibaratkannya dengan awan yang putih itu. Ada masanya awan juga berwarna hitam, tapi orang tak menyukainya dan tidak suka memerhatikannya. Tentu saja, kita akan sukar melihat keadaan awan yang demikian karena terhalang hujan, sehingga ketika bertemu dengan sesuatu yang keadaannya hitam kita tidak menggunakan awan sebagai perumpamaannya.

Mataku masih terpesona pada gumpalan putih dalam ruang pandangku. Suatu hari nanti, jika aku punya banyak uang, aku kutebus satu seat dalam sebuah pesawat yang terbang ketika hari cerah. Hanya agar aku bisa melihat gumpalan awan itu dari jarak amat dekat. Agar aku bisa mencari tahu. Benarkah ia seperti ungkapan-ungkapan yang selama ini menjejali lubang telingaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar