Minggu, 10 September 2017

Dream Girl

Beautiful girl and guitar
Beautiful girl and guitar


Rasanya baru beberapa menit lalu tubuhku terkapar di ranjang. Mimpi segera akan menarikku hanyut dalam pusarannya. Mimpi indah seperti malam-malam terdahulu yang menghadirkan gadis cantik di dalamnya. Gadis indah dalam mimpi yang indah. Mimpi apalagi yang bisa lebih bagus dari itu? Tidak ada.

Sejak dia menempati apartemen yang berselang dua pintu dari pintuku hampir enam bulan lalu, nyaris setiap malam aku mengkhayalkannya. Khayalan itu selalu berujung pada mimpi dalam tidurku. Sekarang, aku siap menyongsong mimpi itu lagi jika saja suara yang entah berasal dari mana itu tidak mengeluarkan sebagian jiwaku dari alam bawah sadar. Aku terjaga, diam dengan mata terpejam. Beberapa inderaku ikut siaga kemudian. Suara itu berhasil kuidentifikasi. Di luar sana, seseorang entah siapa sedang mengetuk pintu depan apartemenku.

Siapa orang gilanya yang bertamu malam-malam buta seperti ini? Sungguh tak kenal waktu.

Masih terpejam, aku mendumel dalam hati. Ketukan itu masih terdengar, pelan dan lembut. Siapapun orang yang mengetuknya, pastilah dia seorang penyabar. Aku berusaha membuka kelopak mataku, rasanya ada lakban mahabesar yang merentang di atasnya. Aku menggeliat untuk kemudian berbalik. Seketika silau menyerbu mataku. Sambil mengernyit, aku bisa melihat pijar sang surya dari balik tirai tipis jendelaku. Ternyata sekarang bukan lagi malam buta. Tamu di depan pintu apartemenku itu tak salah waktu.

Hei, tapi ke mana perginya suara ketukan itu? Aku tak lagi mendengarnya. Ternyata dia tidak sesabar yang kukira. Baguslah. Aku bisa melanjutkan tidur dalam damai. Kutarik selimut hingga menutupi wajahku, bersiap untuk tidur kembali meskipun hari sudah pagi.

Sekarang aku ingat bahwa semalam aku pulang dini hari. Ada pesta kecil di kediaman putera bos. Pesta akhir pekan bagi karyawan yang masih lajang yang turut melibatkan berbotol-botol beer dan banyak gadis seksi berambut pirang. Jika saja semalam aku tak menolak seperti biasanya setelah botol-botol itu kosong,  maka pagi ini aku tidak akan terjaga di kamarku, tapi di salah satu kamar di kediaman sang putera bos, bersama salah seorang gadis berambut pirang itu.

Mataku mulai memberat lagi, tepat ketika ketukan itu terdengar kembali. Sial. Kenapa dia tidak pergi saja? Aku menyingkirkan selimut dengan sentakan kuat hingga sebagian kain tebal itu tertebar di lantai. Kuangkat badanku hanya untuk kembali terkapar. Aku bertanya-tanya, berapa banyak aku minum semalam? Kini aku sadar kalau kepalaku masih pusing.

Tamu itu masih mengetuk. “Wait a second …!” teriakku parau. Hening, sang tamu berhenti menimbulkan suara di pintuku. Sepertinya dia memilih menunggu.

Aku kembali bangkit sambil memijit-mijit keningku mengusir pusing. Kulirik weker di nakas, mendekati setengah tujuh. Ini jam terpagi dalam sejarahku menerima tamu. Masih menahan pusing, kuseret langkahku keluar kamar dan lalu menuju pintu. Sempat kuperhatikan ruang tamu apartemenku yang berantakan. Plastik bekas laundry yang mengemas beberapa bajuku tergeletak asal-asalan di atas sofa, bersama serakan surat kabar dan beberapa kantong berisi belanjaan dapur yang kubeli dua hari lalu.

Ketukan itu terdengar lagi tepat saat aku meraih kunciku. “I’m coming ...!”

Daun pintuku mengayun terbuka. Aku menegang di tempatku berdiri. Gadis pengisi mimpi-mimpiku tegak  berdiri di depan pintuku.

Hi…,” sapanya. Tapi yang kulakukan hanyalah terpesona pada senyumnya.

Butuh beberapa detik untuk menyadarkan diriku bahwa aku sedang tidak bermimpi di ranjangku. Aku mengerjap beberapa kali. Mimpi-mimpiku berkelebat cepat. Beberapa potong memori yang melibatkan sosok yang baru saja menyapaku ikut berkelebat. Obrolan kecil di lift. Saling melempar senyum di lobi gedung apartemen. Bertemu secara kebetulan di swalayan seberang jalan. Sapaan-sapaan ketika berpapasan di coffee house di lantai dasar gedung apartemen. Hari ini, dia tepat di depan pintuku, membuatku seketika sulit bernafas.

“Emm … aku bermaksud turun untuk sarapan. Kupikir akan menyenangkan bila bisa mengobrol sambil menikmati sekerat pancake ... denganmu,” ujarnya.

Ini mimpi yang jadi nyata. Meski sedikit terbata, aku mengerti dia memintaku untuk menemaninya sarapan. “Oh, ya, tentu saja,” jawabku setengah linglung. Untuk pertama kalinya aku merasa penampilanku sangat kacau. Kulirik diriku yang masih mengenakan celana kantor kemarin dan bertelanjang dada. “Keberatan memberiku lima menit untuk merapikan diri?”

Dia tersenyum dan menggeleng, “Aku punya banyak waktu. Ambil saja selama yang kau butuhkan,” jawabnya sambil kembali tersenyum.

Kukuak daun pintu lebih lebar untuk mempersilakannya masuk. Persetan dengan ruang tamuku yang bagai tempat pembuangan limbah rumah tangga. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk membuat mimpi-mimpiku jadi nyata. Setelah ini, hanya masalah waktu saja sampai aku dan gadis impian ini saling mengucap janji pernikahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar