Sabtu, 09 September 2017

Lonely Man 2.0

lonely man in sunset
Dia begitu menyukai pantai. Menyukai senjanya



Lidah ombak kembali menyentuh kakiku. Membuat ujung celanaku semakin basah. Aku sengaja tak menggulungnya, sengaja kubiarkan ujung celana panjangku basah air garam itu. Kuhirup udara yang juga beraroma garam sebanyak yang sanggup ditampung rongga dadaku. Kemudian kuhembuskan perlahan. Kupejamkan mata dan kurasakan angin yang bertiup tenang di pantai ini. Terasa sejuk di kulitku. Aku tersenyum, berada di pantai ketika senja seperti sekarang selalu bisa membuatku damai. Entahlah, rasanya segala penat dan lelah setelah berkutat dengan kertas-kertas dan bermacam file di kantor menguap hilang begitu aku sampai di sini.

Melepas lelah.

Itu bukanlah alasan mengapa aku sering menghabiskan senjaku dengan datang ke pantai ini. Aku masih melihatnya di sini. Berlari berkejaran dengan lidah ombak sementara angin mengibarkan baju dan mengacak rambutnya yang hitam legam hingga berantakan. Aku masih bisa mendengar suara tawanya sambil melambai memanggilku mendekat. Aku juga masih bisa merasakan lembut jemarinya dalam genggamanku ketika berjalan menyusuri tepian pantai di bawah langit keemasan suatu masa dulu.

Aku ke sini untuk mengenangnya. Itulah tepatnya alasanku.

Dia begitu menyukai pantai. Menyukai senjanya, menyukai saat langitnya bersalin warna dari kelabu menjadi jingga keemasan. Dia menyukai anginnya yang menghembus sejuk, seperti yang kurasakan sekarang. Dia suka menyusurkan jari-jarinya di atas pasir yang menurutnya selembut kapas itu. Dia akan duduk bersamaku, langsung di pasir, hingga matahari perlahan-lahan mencelup masuk dan hilang dalam laut. Kini, aku tengah melihat hal itu terjadi. Sendirian, duduk termangu di atas pasir yang sama di pantai yang juga sama.

Segerombolan camar melintas di atasku. Aku mendongak mengamati mereka melesat di angkasa lalu menukik tajam ke permukaan laut sebelum akhirnya kembali terbang meninggi. Mereka berputar-putar ke segala penjuru. Camar dan pantai adalah sejoli. Seperti aku dan dia dulu.

Puas memerhatikan burung laut, aku memandang pada deretan perahu yang berjejer di bibir pantai. Sepasang muda-mudi terlihat di dekat perahu-perahu itu. Mereka juga sedang menikmati senja sepertiku, bedanya mereka menikmati senja sambil berpegangan tangan dan saling bicara. Sementara aku duduk sendiri memeluk lutut. Tak ada siapapun bersamaku.

Ketika gelap perlahan turun untuk mengukuhkan kehadiran malam, aku bangkit berdiri lalu menepuk pasir dari celanaku. Sudah tiba masa aku berpisah dengan senja. Sebelum pergi, kubawa lagi pandanganku pada sisa langit merah di ujung nadir, pada permukaan laut yang beriak berirama, juga pada nyiur yang melambai di sepanjang garis pantai.

Aku berbalik. Esok aku akan ke sini lagi untuk mengenangnya. Mengenang istriku dan senja yang pernah kuhabiskan bersamanya, tujuh kali dua belas purnama yang lalu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar