Senin, 18 September 2017

Father and Son


father and son
Sepeda itu bersandar di tempat biasanya

Pria itu sangat menyayangi putranya. Putra satu-satunya yang dia miliki bersama sang istri, yang harus berkorban nyawa ketika melahirkan buah cinta mereka ke kehidupan fana. Sang putra belum pun memasuki masa remajanya, seharusnya saat ini dia masih menikmati hari-hari ceria masa kanak-kanaknya. Sang putra tersayang masih sangat belia, terlalu belia sehingga tidak sempat melengkapi semua cita-cita seorang ayah. Harapan yang begitu banyak terhadap anak lelakinya itu harus diikhlaskannya untuk tak pernah terwujud.

Dia ingin melihat sang putra tercinta menyimpan seragam merah putih miliknya dan menggantinya dengan warna biru putih yang baru, sebelum berganti lagi dengan putih abu-abu. Dia ingin merasakan bagaimana dirinya menghadapi beberapa kenakalan putranya ketika beranjak remaja. Dia ingin membelikan putranya sebuah sepeda motor seperti yang diidamkan para remaja seusianya nanti. Dia ingin melihat putranya tertawa bersama rekan sebayanya. Dia ingin memperkenalkan dirinya pada teman-teman yang datang mencari putranya ke rumah, atau tersenyum ramah ketika sang putra mengenalkan seorang gadis padanya suatu hari nanti. Dia ingin dirinya berada di masa-masa itu untuk melihat putranya melewati tahap demi tahap kehidupannya.

Dia selalu berdoa agar diberi umur panjang untuk melihat putranya berdiri gagah dengan baju wisudanya suatu saat nanti, seperti dia berdiri di depan ayah ibunya suatu masa dulu. Lebih dari semua itu, dia kerap membayangkan kehadiran seorang menantu perempuan dalam rumahnya. Membayangkan betapa indah hari tuanya di antara cucu-cucu menggemaskan, anak dari putra satu-satunya
Kini, segala ingin itu harus diikhlaskannya. Mulai saat ini orang-orang akan melihatnya sebagai pria paruh baya yang malang. Pria paruh baya yang tidak memiliki satu pun harta berharga lagi. Kini dia tak ubahnya bejana kosong. Tak ada apa-apa di dalamnya yang bisa disebut sebagai isi, selain dari udara dan kehampaan. Dia adalah kekosongan dan kehampaan.

Sekarang, saat dia berjalan lesu di jalan kecil dan sepi menuju rumah yang juga sudah memasuki masa-masa sepinya semenjak hari ini, ingatannya yang masih sesegar pagi menghadirkan sang putra dalam gambaran utuh di kepalanya. Beberapa potongan kehidupan seorang ayah dan anak lelakinya mencuat keluar dari memorinya, langkahnya kian terasa berat…
*
Hari-hari sepi tanpa seorang istri tidak terasa berat baginya. Pada sosok malaikat kecilnya, dia merasakan bahwa sang istri tak pernah pergi. Segala kebaikan yang pernah dilihatnya dalam diri istrinya kini juga didapatinya dalam diri buah hati mereka. Seperti hari ini, dia sekali lagi melihat kebaikan yang sama pada diri putranya.

“Ayah, sepertinya dia terjatuh dari sarangnya, aku menemukannya di bawah pohon kita…”

Dia berhenti dari pekerjaannya menggergaji papan dan menoleh pada sosok kecil yang berdiri di belakangnya, putranya. “Wah, cantik sekali. Kau ingin memeliharanya? Pasti akan sangat mengasyikkan punya binatang peliharaan. Ayah bisa membuatkan sangkar bagus untuknya.”

Anaknya menggeleng, “Maukah Ayah mengembalikan anak burung ini ke atas pohon? Ibunya pasti kebingungan saat pulang nanti…”

Dia terdiam menatap sang putra yang balik menatapnya dengan tatapan memohon. Anak burung yang masih merah tergolek lemah dalam telapak tangannya. “Kau tidak ingin memeliharanya?”

Si anak menggeleng lagi. “Aku khawatir tak bisa memeliharanya dengan baik.”
Dia tersenyum sambil mengusap kepala putranya. “Ayo kita kembalikan dia ke ibunya.” Digandengnya tangan putranya itu berjalan keluar dari gudang tempatnya bekerja mengolah kayu-kayu.

“Ayah bisa melihat sarangnya?”  tanya sang putra sambil mendongak. Mereka sudah sampai di bawah pohon di halaman rumah.

“Kau bisa melihatnya?” dia balik bertanya. Putranya menjawab dengan gelengan. “Kemari, sarangnya ada di sana…” dibimbingnya tangan putranya lebih dekat ke bawah pohon. “Itu dia.”

Si anak mengikuti arah telunjuk ayahnya, lalu dia tertawa. “Ayah bisa memanjat setinggi itu?”

“Kita akan lihat.”

Lalu dia mengambil anak burung dari tangan putranya dan mulai memanjat. Di bawah pohon, si anak memperhatikan dengan takjub apa yang dilakukan ayahnya di atas sana.

“Ayah, apa dia punya saudara?” putranya berseru.

“Dia punya tiga saudara kembar, mereka menyambutnya dengan gembira.”

“Apa mereka juga masih merah?”

“Ya, mereka sama merahnya,” jawabnya sambil bergerak turun.

Saat dia kembali berada di bawah pohon, putranya memeluk pinggangnya. “Apa kita sudah melakukan hal baik, Ayah?”

“Tentu, anakku. Kau sudah melakukan hal baik…”

“Kita berdua, Ayah.”

“Ya, kita berdua…”

Dia yakin, putranya akan tumbuh menjadi pria baik saat dewasa kelak.

*
Dia memasuki pekarangan rumahnya, berhenti sejenak di gerbang sambil memandang  pohon besar di dekat pagar sebelah kirinya. Dia berjalan ke bawah pohon itu dan berdiri tepat dimana putranya pernah berdiri sambil memandang takjub padanya suatu hari dulu. Pohon ini masih menjadi rumah bagi burung-burung itu. Sekarang, dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat beberapa sarang baru di sekitar dahan tempat dia menunaikan permintaan putranya waktu itu.

Puas berdiri di bawah pohon, dia melanjutkan langkah masuk ke dalam rumah. Di beranda, dia berhenti sebentar untuk memandang ke sekeliling halaman. Jejak-jejak putranya masih segar di seluruh penjuru. Ayunan kayunya masih utuh di sana, bergoyang pelan ditiup angin di satu sudut. Bila sore, ayunan itu menjadi tempat favorit putranya untuk melepas lelah setelah mengayuh sepeda bersama teman-temannya. Putranya akan tetap berada di sana sambil mengayun pelan sampai dia berseru memanggilnya untuk segera mandi. 

Sekarang, ayunan itu tak akan pernah terpakai lagi.

Di tiang ayunan, dia menemukan sepeda itu bersandar seperti biasanya. Sejak menjadi benda mengasyikkan untuk menghabiskan waktu bermain, sepeda itu tak pernah disimpan putranya di dalam rumah atau di gudang kayu di samping rumah, tempat motor tua sang ayah juga diparkir saat malam.

‘Biar mudah saat mau dipakai besoknya, Ayah…’

Begitu selalu putranya akan menjawab setiap kali dia menyuruhnya untuk menyimpan sepeda itu di gudang kayu bersama motor tuanya. Kini, sepeda itu juga sudah tak bertuan.

Kolam kecil di samping beranda tempat sang putra memelihara beberapa ikan juga tak luput dari perhatiannya. Setiap pagi sebelum bersiap-siap ke sekolah, putranya akan menghabiskan beberapa menit di kolam itu sambil menaburkan pellet untuk ikan-ikan di dalamnya. Di hari minggu, dia juga akan ikut sibuk di kolam itu untuk membantu putranya menangkap ikan-ikan dan lalu mengganti airnya.

‘Jangan menjepitnya terlalu keras, Ayah. Mereka tidak buas…’

Sang putra pernah berucap demikian padanya ketika suatu kali dia terpaksa menjepit salah satu ikan yang berhasil ditangkap, setelah sebelumnya bergerak gesit di dasar kolam. Ikan itu yang paling susah ditangkap kala itu. Dia harus menjepit kuat-kuat karena tubuh si ikan terlalu licin di tangannya. Ketika jepitannya dilonggarkan, ikan itu lepas dan mencebur kembali ke dalam kolam, mencipratkan air pada mereka berdua. Dia dan putranya tertawa bersama.

‘Kali ini Ayah boleh menjepitnya kuat-kuat…’

Rasanya dia akan mengingat saat itu hingga akhir hayat nanti. Mulai hari minggu mendatang, dia akan membersihkan kolam itu seorang diri. Dia juga akan akan mengambil alih kebiasaan putranya di pagi hari sebelum bersiap-siap ke sekolah, menaburkan pellet.

Matanya menubruk kursi kayu di beranda, juga meja di depan kursi itu. Meja dan kursi kayu itu buatannya sendiri. Saat malam, dia kerap duduk di sana sambil mendengarkan putranya membaca keras-keras cerita dalam majalah anak-anak yang dibelikan untuknya. Setelah putranya selesai membaca, dia akan menyampaikan maksud yang terkandung dalam cerita itu sementara sang putra akan mendengarkan dengan penuh perhatian sambil sesekali mengangguk mengerti. Di kursi kayu itu pula dia sering duduk sambil bercakap-cakap dengan putranya setelah mereka makan siang, sebelum kembali ke gudang untuk menempah pesanan perabotan.

Hari-hari ke depan, dia akan menghabiskan waktu istirahat siangnya di kursi itu sendirian. Dia tak akan mendengarkan sang putra membaca keras-keras cerita apapun lagi dari majalah yang dibelikan untuknya.

Dia mengusap wajah lalu mendorong daun pintu. Kesendirian itu langsung terasa begitu dia melewati ambang pintu rumahnya. Dibawanya langkah menuju dapur. Dari sini, dia selalu bisa mendengar derap kaki sang putra saat berlari menujunya kala sedang menyiapkan makan siang. Selalu begitu. Putranya akan berlari mendapatkannya setelah membuka sepatu di pintu depan.

‘Ayah, aku pulang…!’

Sang putra akan berseru begitu saat tiba di rumah.

‘Wah, sepertinya enak…’

Dan dilanjutkan dengan kalimat itu ketika sampai di dapur dan menemukan ayahnya di depan kompor dengan panci mengepul. Putranya akan menyalami tangannya sebelum kembali berlari menuju kamar untuk mengganti seragamnya.

Berada sendirian di tengah-tengah dapur, sekarang dia menatap sayu pada peralatan dapurnya. Rasanya tak akan sama lagi saat dia menggunakan peralatan-peralatan itu esok hari, dan hari-hari setelah esok. Digenggamnya tangannya sendiri, mencoba merasakan kembali jari-jari putranya di situ ketika menyalami dan mencium tangannya.

Pandangannya beralih ke meja makan. Suatu pagi dia pernah kebingungan menjawab pertanyaan dari putranya ketika mereka sedang sarapan. Kebingungan yang berakhir dengan kalimat ‘Habiskan sarapanmu dan segera berangkat sekolah.’

*
Note :
Father and Son berlanjut ke sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar