Minggu, 17 September 2017

Gadis dan Sang Ketua



cinta bertepuk sebelah tangan

Satu-satunya alasan mengapa Gadis mau bersusah payah menjadi pengurus Mading dan menyibukkan diri setiap dua kali sebulan, untuk memburu materi dan mengumpulkan tulisan untuk majalah dinding itu, adalah Ketua Osisnya. Sang Ketua, pintar dan tampan telah menarik perhatiannya sejak Moska dulu. Dalam pandangannya, di antara berjubel cowok menarik dalam balutan putih abu-abu mereka, hanya Sang Ketua seorang yang mencuri hatinya dengan begitu telaknya.

Gadis tak pernah suka tulis-menulis. Dia benci membaca tulisan tanpa gambar. Baginya, tak ada bacaan yang menarik selain komik. Apa lagi Mading, yang isinya kebanyakan tulisan amatiran tak jelas dari rekan-rekannya satu pengurus yang menurutnya sok bisa nulis itu. Namun demi bisa bertemu Sang Ketua tiap ada rapat Osis, demi bisa melihat sosok Sang Ketua yang berbicara penuh kharisma dan tetap memesona di depan forum, demi bisa mendengar suara bagus Sang Ketua saat berdiskusi, demi bisa dikenal oleh Sang Ketua sebagai salah satu penggerak majalah dinding sekolah, dan demi bisa terlibat percakapan-percakapan sesaat dengan Sang Ketua, Gadis rela meredam ketidaksukaannya pada tulis-menulis dan mengambil satu-satunya kesempatan yang ada. Konsekuensinya, dia harus mendongkol dalam hati tiap kali menyeleksi kertas-kertas yang akan dipajang di majalah dinding sekolah.

Ternyata pengorbanan Gadis tidak sia-sia. Dia jadi lebih akrab dengan Sang Ketua karena keterlibatannya sebagai pengurus Mading sekolah.
*
“Kita harus berterima kasih kepada pengurus Mading. Saat ini hanya club tulis-menulis yang mendapat apresiasi terbaik dari guru-guru. Sedangkan club lain dipandang tak punya prestasi yang baik.”

Mendengar ucapan Sang Ketua dalam rapat, Gadis bangga dan bahagia luar biasa. Hatinya berbunga-bunga, dan semakin bermekaran ketika pandangan Sang Ketua sempat beradu pandangannya. Gadis tersenyum, dan Sang Ketua membalas senyumnya.

‘Sang Ketua, kamu harus jadi milikku. Kamu harus jadi pacarku.’

Hati Gadis berbicara mantap pada dirinya sendiri.
*
Kemudian, harapan Gadis seolah-olah akan terkabul. Hari-hari yang berlalu di sekolah itu kian mendekatkan dia dengan Sang Ketua. Mereka makin sering terlibat percakapan, makin sering melempar senyum saat rapt Osis berlangsung, dan makin sering bercerita tentang diri sendiri.

“Tentu gak mudah ya menyeleksi tulisan yang layak muat,” kata Sang Ketua satu kali.

Mereka sedang duduk semeja di kantin pada jam istirahat. Dua mangkuk mie pentol yang masih berasap terhidang di depan mereka. Gadis bahagia tiada terkira. Mie pentol yang akan dihabiskannya hari ini akan jadi yang mie pentol tersedap, karena ada pujaan hati yang menemaninya makan.

“Enggak juga, Kak. Menyeleksi naskah justru kegiatan yang mengasikkan, lumayan menantang juga.”

Sang Ketua tersenyum. “Apa semua pengurus selalu menyumbangkan tulisan?”

Gadis berhenti menyendok, lalu menyengir. “Enggak selalu.”

“Enggak selalu atau enggak semua pengurus ikut nulis?”

“Enggak semua pengurus selalu menyumbangkan tulisan,” jawab Gadis ragu-ragu. Bagaimana kalau Sang Ketua tahu bahwa dia sama sekali tidak menyumbangkan tulisan? Dia tidak pernah suka menulis.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku sering nulis puisi, Kak…” Kebohongan meluncur begitu saja dari bibir Gadis. Dia tidak siap Sang Ketua berbalik tidak menyukainya jika dia mengaku tak pernah menulis untuk Mading.

Ah… demi terlihat baik di depan pujaan hati, bohong satu kali tak mengapa.

“Oh, ya?” Sang Ketua tampak antusias. “Aku selalu suka puisi. Kapan nanti kalau ada puisimu yang dimuat di Mading, kasih tahu aku ya! Aku ingin membacanya. Sebagus apa sih jika kamu merangkai kata…”

Gadis terperangkap kebohongannya sendiri. “I… iya, Kak. Edisi depan ada kok, jangan sampai gak dibaca, ya!” katanya lalu berusaha tersenyum senang.

Mereka menghabiskan baksonya. Selain rasa bahagia, kini Gadis juga dilanda gulana. Ada pekerjaan sulit yang harus diselesaikannya untuk membuat pujaan hatinya semakin menganggap dirinya ada. Ini adalah peluang sekaligus cobaan bagi gadis.

Apa sulitnya sih nulis puisi?

*
Dan mulailah Gadis rajin membaca puisi. Tiap hari Gadis ke perpustakaan untuk meminjam buku-buku karangan penyair lama. Gadis membaca puisi-puisi Toto Sudarto Bachtiar berkali-kali. Dia membaca Kahlil Gibran. Dia membaca Chairil Anwar.

Gadis  berusaha menuliskan kata demi kata tiap kali selesai membaca satu puisi, dan tiap kali itu pula dia menjambak rambutnya. Kata-katanya tak ada yang benar. Dia tidak ditakdirkan jadi seorang penulis, apalagi penyair.

Demi menyelamatkan perasaannya, Gadis mulai memburu puisi-puisi modern di internet. Dia juga membeli majalah-majalah remaja dan melahap rubrik puisi mereka seperti melahap puding paling sedap di dunia. Lalu dia kembali merangkai kata, hasilnya… onggokan kertas yang teremas di sudut kamar.

Gadis frustasi, Mading akan segera ganti edisi.

Putus asa, Gadis membuka jendela dunia mayanya lebih lebar. Dia mencari puisi berbahasa Inggris tentang cinta dan lalu menerjemahkannya.

Demi terlihat pintar di depan pujaan hati, bohong dua kali masih tak mengapa.

Gadis menghibur diri.
*
“Wah… puisimu bagus. Aku suka. Sungguh, baru kali ini aku membaca puisi seindah ini. Kamu berbakat.”

Gadis tersenyum. Makin tak bisa menutup bibirnya ketika Sang Ketua merangkul bahunya di depan Mading yang baru terbit. Sang Ketua mengulang baca puisi itu untuk kedua kalinya. Hati Gadis kian bermekaran.

“Katanya, puisi cinta selalu bisa bikin cewek luluh, ya?”

Gadis tertegun mendengar ucapan Sang Ketua yang sampai saat itu masih merangkul bahunya.

“Bener gak?” Sang Ketua bertanya lagi setelah menunggu lama tapi tak memperoleh jawaban.

“Katanya sih iya.” Gadis menjawab lirih, hatinya mendadak tak enak.

Sang ketua manggut-manggut. “Kamu, kan, pinter nih bikin puisi cinta kayak gini, aku minta tolong boleh, ya?”

“Tolongin apa, Kak?” Dari merasa tak enak, kini Gadis merasa was-was.

Sang Ketua menyengir. “Ini… aku naksir berat sama sekretaris Osis kita, tapi bingung mau nyatain cinta pake apa. Begitu baca puisimu ini, aku pikir… pasti gak bakal ditolak jika aku bilang cinta lewat puisi. Please… bantu aku. Buatkan satu puisi cinta buatnya. Mau ya?”

Hati Gadis patah-patah. Ingin saja dia menangis detik itu juga. Pujaan hatinya memintanya menuliskan puisi untuk diberikan kepada orang lain yang ditaksir. Gadis hancur sudah.

Sang Ketua menarik lengan dari bahunya, lalu menjarakkan diri. “Besok atau lusa aku ambil ya. Makasih banyak. Nanti kalau kami sudah jadian, kamu pasti kutraktir.”

Masa bodo dengan jadianmu itu!

Yang diinginkan Gadis saat ini adalah, pulang dan menangis semalam di kamarnya.
*
Gadis menghabiskan malamnya dengan membuat guling basah. Air matanya berderai. Dia hancur. Sang Ketua tak mungkin bisa dimilikinya. Yang lebih sakit, dia harus membantu Sang Ketua untuk mendapatkan cewek yang ditaksirnya. Jika dia menuruti pinta Sang Ketua, ini sama saja dengan dia menyalakan api yang akan membakar dirinya sendiri.

Gadis benci puisi. Namun untuk pertama kalinya, dia meluapkan kehancuran perasaannya lewat kata-kata. Dia menulis puisinya sendiri, puisi patah hati dengan kata-kata menyayat.

Mulai besok, Gadis akan berhenti berpura-pura menikmati jabatannya sebagai pengurus Mading. Dia sudah mempersiapkan kata-kata pengunduran dirinya.

Puisi cinta yang dipesankan Sang Ketua tak ada. Tak akan pernah ada. Yang ada hanyalah puisi patah hati yang sudah selesai dicoretnya pada kertas yang penuh titik-titik basah. Gadis menulisnya di antara isak tangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar