Selasa, 26 September 2017

Romeo Bukan untuk Juliet


walking away
Selamat tinggal, Juliet...


Cinta adalah sesuatu yang agung
Sesuatu yang indah hingga membuat takjub
Ia membahagiakan
Ia menggembirakan
Ia mencerahkan
Ia menyemarakkan
Ketika cinta mulai menyengsarakan
maka lepaskanlah
Lepaskanlah…

*

“Sayang, nanti kamu pakai baju yang cakepan dikit ya! Pasti di party-nya Nola yang hadir anak-anak kelas atas semua. Jadi, kamu harus menyesuaikan. Jangan nanti aku udah dandan cantik-cantik, eh kamunya malah gak ngimbangin, kan gak lucu…”

Masih terngiang kalimat Juliet, pacarku hampir satu tahun ini saat tadi siang meneleponku untuk ke sekian kali mengingatkan agar aku tidak terlewat menemaninya ke pesta ultah Nola temannya, sekaligus mewanti-wanti penampilanku. Ini bukan kali pertama Juliet bersikap demikian. Seingatku hampir tiap kali ada pesta temannya aku harus menghadapi setuasi seperti ini. Mungkin karena terlanjur cinta, aku tak pernah merasa salah dengan keiinginannya. Toh itu juga demi kebaikanku sendiri, aku ingin menjadi pacar membanggakan buatnya.

Aku berdiri di depan cermin, memandang pantulan diriku sendiri di sana, meneliti apakah masih ada cela yang bisa membuat Juliet uring-uringan seperti bila kukunya patah jika mendapati penampilanku tidak sesuai harapannya. Kurasa sudah cukup pantas, kemeja dan jeans yang sengaja kubeli untuk momen ini sudah membalut badanku dengan begitu pasnya, meski aku tak suka warna kemejaku. Marun adalah warna Juliet.

Aku menyambar kunci motor, berikut helmku. Tak berapa lama, aku sudah berbaur bersama kendaraan lainnya, membelah kepadatan jalanan ibukota. Aku menyalip sebisaku, membunyikan klakson berkali-kali dan merutuk pengendara yang balas menyalipku.

Juliet sudah berjanji pada Nola akan ikut membantu mempersiapkan pestanya, aku dan Juliet sudah harus sampai di sana sebelum petang turun. Aku salut dengan solidaritas pacarku kepada sahabatnya.

Aku mengumpat sendiri begitu motorku harus benar-benar berhenti. Sial, jalanan petang ini benar-benar menguji kesabaran. Antriannya meng-gerbong, tampaknya seluruh kendaraan yang ada di Jakarta sedang dikemudikan oleh semua pemiliknya, lalu lintas bagai merayap saja. Aku mulai mengeluh, cemas. Kulirik jamku, jelas sudah aku akan terlambat sampai di rumah Juliet.

Ponselku berdering. Panggilan masuk dari Juliet. “Iya, Sayang… aku hampir sampai nih.” Nyatanya, aku tidak akan sampai secepat kata ‘hampir’ yang kusuarakan untuknya.

“Buruan, aku gak mau telat. Udah ditungguin dari tadi juga gak sampai-sampai kamunya. Kebiasaan deh!”

“Kan aku udah bilang ada kuliah sore…”

Kudengar Juliet berdecak, dia sedang kesal. “Cepetan, ini udah sangat telat dari yang kujanjikan sama Nola!”

Klik

Sambungan terputus.

Aku menarik napas panjang. Sudah dapat kupastikan bagaimana reaksi Juliet nantinya ketika aku tiba. Pasti aku akan dicerca habis-habisan. Juliet tidak bisa menolerir sedikitpun kesalahan meskipun itu tidak niat kulakukan. Tak jarang, sedikit salah bisa menjadi fatal dalam pandangannya. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering muncul antara aku dan dia, tapi sejauh ini kami selalu bisa akur lagi dan mesra kembali. Aku sangat menyayanginya, dia cinta pertamaku.

Juliet tipe cewek perfeksionis yang menginginkan semua sempurna dalam penglihatannya. Dia ingin aku sempurna sebagai kekasihnya, demi untuk membuatnya bangga memilikiku aku akan selalu berusaha untuk jadi seperti yang dia ingini. Walaupun kadang tak sesuai dengan mauku. Namun demikianlah lumrah cinta. Cinta harus rela berkorban, begitu selalu aku berfikir bila Juliet mulai mendikte ini dan itu.

Seperti yang kusangka sebelumnya, aku benar-benar terlambat, sangat terlambat. Gelap sudah turun sempurna begitu aku mematikan mesin motor di halaman rumah Juliet. Pacarku, yang selalu cantik sudah menungguku di beranda rumahnya yang megah. Dia menatapku dengan tatapan tajam, wajahnya benar-benar keruh.

Aku melangkah menghampiri, berusaha untuk tidak memperdulikan raut marahnya itu. “Sudah siap, Princess? Ayo kita pergi…” ujarku lembut sambil memberinya seulas senyum. Berharap dapat melunturkan marahnya.

“Kamu tau kan, Nola itu temen dekatku?” Juliet tidak merepon ajakanku, dia berdiri kaku tak beranjak sedikitpun dengan tangan terlipat di dada.

“He eh. Aku tahu, Beib…” jawabku.

“Dan aku terlambat datang ke pestanya gara-gara punya pacar yang gak bisa diharapkan kayak kamu, Rayhan!!!” Juliet berteriak.

Aku menelan ludah mendengar ucapannya. Kali ini dia benar-benar mengamuk. Belum pernah aku melihat dia semarah ini padaku. “Jul, aku minta maaf. Aku udah berusaha pulang cepat dari kampus, tapi tadi jalanan benar-benar macet.” Aku masih berusaha lembut.

“Katakan alasan sialan itu pada orang bodoh lain, tidak padaku!” dia mengibaskan tangannya, “Aku selalu kecewa bila berharap sama kamu. Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi pacar terbaik.”

Rasanya bagai dipukul godam. Aku terhenyak mendengar perkataan Juliet. ‘Percuma kita pacaran jika kamu gak bisa menjadi pacar terbaik…’ Jadi selama hampir satu tahun ini aku belum pernah menjadi yang terbaik buatnya? Segala yang dia mau selalu berusaha kuturuti. Apakah semua pengorbananku tak pernah terlihat olehnya selama ini?

Aku menahan amarahku yang siap tersulut karena kalimatnya tadi. Dengan ramah kembali kubujuk dia. “Daripada kita ribut-ribut gak jelas di sini, baiknya kita langsung ke tempat Nola, ini belum terlambat untuk ikut pesta. Dia pasti akan mengerti kenapa kita gak bisa ngebantu mempersiapkan harinya…”

“Aku gak punya muka lagi untuk datang ke sana, semua karena kamu!” Juliet membalikkan badan dan bergegas masuk ke dalam.

Aku berusaha menyambar pergelangannya, tapi ditepisnya dengan kasar. Pintu terbanting demikian kerasnya tepat di depan hidungku. Beberapa saat lamanya aku termangu di depan rumah Juliet. Mencerna apa yang baru saja terjadi. Walaupun sudah dapat menerka bahwa dia akan marah, tapi sama sekali aku tidak menyangka reaksi Juliet bakal separah ini. Yang membuatku hilang semangat adalah perkataannya yang mengatakan aku belum dapat menjadi pacar terbaik baginya, lalu apa arti cinta dan kasih tulus yang kucurahkan untuknya selama ini?

Aku berjalan gontai menuju motorku, menyalakan mesinnya lalu keluar dari pekarangan rumah Juliet. Perasaanku kacau, tak menentu, kalimat Juliet memenuhi indera dengarku sepanjang jalan pulang. Kuakui aku memang salah karena terlambat, walau menurutku tidak terlalu terlambat untuk hadir di pesta hari jadi seseorang, bahkan pestanya mungkin belum pun dimulai. Yang membuatku tampak begitu salah di mata Juliet adalah karena dia tak bisa datang lebih cepat untuk membantu sahabatnya itu. Meski aku salah, Juliet tak sepatutnya meluapkan kemarahannya seperti tadi kepadaku. Dia berhak marah, tapi seharusnya dia menerima ajakanku untuk segera pergi ke tempat temannya. Aku sudah berusaha lembut dan mengesampingkan kesalku karena ucapannya.

Ah, mungkin esok Juliet akan mesra kembali, seperti kebiasaan selama ini. Kami tak pernah benar-benar berperang. Aku menghibur diriku.

*

Tiba di rumah, aku menuju kamar. Kuhabiskan beberapa saat lamanya dengan berdiri termenung menatap langit malam dari balik jendelaku. Memoriku bersama Juliet berputar-putar di kepala. Aku jatuh cinta pertama kali padanya ketika sama-sama menjalani masa orientasi kampus. Pesona Juliet yang menyihirku masih terasa hingga saat ini, tak bisa kulupa. Cerita bersama Juliet bergulir semuanya di kepalaku. Saat aku menyatakan cinta padanya di bawah hujan di halaman kampus, saat aku dan dia kerap makan semangkuk bakso berdua di kafetaria, saat bercengkerama di kursi taman, saat kami berlarian di bawah gerimis seperti anak kecil. Semua saat-saat indah bersama Juliet menjajah pikiranku.

Lalu pertengkaran-pertengkaran kecil antara aku dan Juliet bertandang kemudian. Teringat olehku kemarahan-kemarahan Juliet yang seringnya disebabkan hal sepele atau kesalahan kecil yang tak niat kulakukan. Teringat bagaimana Juliet mencak-mencak ketika tahu aku bergabung dengan beberapa mahasiswa untuk menggalang sumbangan bagi korban banjir dengan berdiri di persimpangan-persimpangan, kemarahan Juliet ketika aku menjemputnya di salon dengan keadaan dekil karena baru siap baksos, kemarahan Juliet ketika aku tak bisa berbaur di acara-acara temannya, kemarahan Juliet ketika aku kerap tampil sederhana di sampingnya yang begitu wah, kemarahan Juliet karena aku terlambat dari waktu yang diharapkannya. Semua itu bagai diputar ulang dalam kepalaku.

*

Sudah lima hari sejak kejadian dimana Juliet marah besar padaku gara-gara terlambat menjemputnya ke pesta Nola. Selama itu pula dia tak pernah menghubungiku. Teleponku tak sekali pun dijawab, SMS-ku tak satu pun yang berbalas. Aku mencari-carinya di kampus setiap hari namun tak pernah bertemu, beberapa kali ke rumahnya tapi pembantu di sana selalu bilang kalau Juliet sudah keluar atau belum pulang atau baru saja dijemput temannya, tapi aku tahu itu semua adalah alasan Juliet untuk tidak menemuiku, dia menyuruh pembantunya mengatakan alasan-alasan itu padaku.

Lima hari tanpa melihatnya, lima hari tanpa mendengar suaranya. Cukup lima hari saja, rindu sudah menikamku sedemikian dahsyatnya.

*

“Marahan lagi, Ray?”

Akmal, teman kentalku di kampus bertanya ketika kami sedang makan di kantin. Aku tidak bersemangat sejak masuk kantin, tadinya ingin menolak saja ajakan Akmal tapi aku tak mau suasana hatiku yang sedang kacau berimbas pada sahabat baikku ini, aku tak harus mengacuhkan Akmal hanya karena sedang punya masalah dengan pacarku.

“Ray… kalian marahan lagi?” Akmal kembali mengulang pertanyaannya ketika menunggu lama aku tak merespon.

Aku mengangguk.

“Gara-garanya?” dia bertanya lagi di sela-sela kunyahan bakso dalam mulutnya.

“Telat jemput dia ke pesta ultah temennya…” jawabku tak bersemangat.

Akmal menelan kunyahannya, meneguk setengah isi gelasnya lalu melipat tangan di meja dan menatapku.

Aku mengernyit memandangnya yang tampak begitu serius saat ini.

“Rayhan, ini minta maaf ya jika kamu kesinggung, tapi sebagai temanmu aku merasa berkewajiban bicara seperti ini…”

“Gak usah berbelit, bicara saja…”

Akmal menarik napas, “Ray, satu kali dulu aku pernah bilang kalau Juliet bukan cewek yang tepat buatmu…”

Aku langsung memandang tajam pada Akmal, “Aku gak mau dengar omong kosong begini lagi!” cetusku sengit.

“Aku gak minta kamu untuk mendengar omong kosongku, tapi aku mau kamu untuk mikir pakai otakmu, nilai pakai hatimu sendiri.”

Aku mendengus.

Akmal tak peduli kekesalanku karena ucapannya, dia terus buka mulut. “Sekarang sudah saatnya kamu bangun, Ray. Buka matamu, lihat kenyataan bahwa selama ini kamu bukan dianggap sebagai pacar oleh Juliet, dia tak pernah memandangmu se-istimewa itu…”

“Kamu gak tahu apa-apa,” potongku masih sambil menatap tajam pada Akmal.

“Kamu gak pernah benar-benar jadi kekasih di matanya, Juliet memandangmu sebagai robot yang bisa diperintahnya, yang bisa dikendalikan dengan begitu mudah olehnya, yang remote-nya ada dalam tangannya. Selama ini kamu dianggap tak lebih sebagai benda yang bisa digerakkan kemanapun dia mau…”

“Aku gak mau dengar…!” kataku beringas.

Tapi Akmal tak peduli, dia terus menyambung kalimat demi kalimatnya yang menohokku. “Kamu harus begini, kamu gak boleh begitu, kamu harus kemari, kamu gak boleh kesana, kamu wajib seperti ini, kamu gak boleh seperti itu. Apa dia pernah menempatkan kepentinganmu sekali saja sebagai pertimbangan?” Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan menggeleng mantap, “Karena kamu robot, jadi dianggapnya tak punya perasaan dan kebutuhan.”

Aku diam.

“Bukan aku menjelek-jelekkan dia, Ray. Namun aku berusaha obyektif, karena sebagai sahabat aku gak ingin kamu tenggelam dalam cinta buta dan masa bodoh dengan kenyataan yang terpampang di depan mata.” Akmal meneguk habis isi gelasnya, ngomong panjang lebar ternyata membuat mulutnya kering. “Okey dia cantik, semua cowok yang matanya masih bagus tak akan berucap jelek untuknya. Tapi cantik paras saja tak cukup dijadikan standar kekasih buat cowok baik kayak kamu, Ray…”

Sadar atau tidak, Akmal baru saja memujiku.

“Kamu butuh gadis yang tidak hanya cantik rupa, tapi cantik sifat dan kelakuan, cantik hatinya…”

“Tapi aku tulus menyayangi dia, Mal… dengan sepenuh hatiku,” ujarku lirih.

“Itulah masalahmu, kawan… kamu tulus memberikan cinta dan sayangmu seratus persen buatnya hingga jadi buta mata dan buta hati. Apa kamu yakin Juliet juga membalas cinta dan sayangmu dengan kadar yang sama?” kembali Akmal menjawab sendiri pertanyaannya dengan gelengan mantap. “Lihat pada pertengkaran-pertengkaran kalian, lihat kemarahan-kemarahannya yang beberapa tak cukup beralasan, lihat bagaimana Juliet mendikte hidupmu. Aku percaya, sedikit, dalam hatimu pasti kamu merasa tak nyaman hidupmu diatur-atur seperti itu, tapi kamu memilih mengabaikan ketidaknyamananmu dikarenakan cinta butamu padanya, Ray.”

Aku memandang Akmal lebih lekat, selama beteman dia tak pernah berbicara seserius ini, kalimat-kalimatnya adalah kesungguhan, aku benci mengakui bahwa ucapan-ucapannya adalah kebenaran tak terelakkan. Aku disaput bimbang.

“Sejelita dan sesempurna bagaimanapun rupa seorang cewek, tak ada artinya bila dia tidak mencintai apa adanya diri kita. Sebuah hubungan adalah bualan belaka bila mereka tidak mencintai kekurangan kita… begitu juga sebaliknya.”

Sepertinya Akmal sudah selesai, dia menarik lagi mangkuk baksonya lalu berseru memesan minum tambahan pada pelayan kantin.

Aku masih membisu, mangkuk di depanku masih utuh.

“Maaf jika aku terkesan kurang ajar barusan…” ternyata dia belum selesai. “Tapi aku harap kamu bisa memikirkannya lagi. Tanya dirimu, apa yang diinginkan hatimu saat ini dari sebuah hubungan, apa yang kamu mau. Apa kamu mau terus didikte Juliet dan mengabaikan terus-terusan rasa tak nyamanmu, atau melepaskannya dan hidup seperti apa-adanya dirimu…” Akmal mulai menyendok, sepertinya kali ini dia benar-benar telah mengkhatamkan ceramahnya.

Aku masih diam membisu, mencoba mencerna muntahan petuah Akmal yang berjejalan masuk sulkus otakku. Semakin aku mencerna dan mengurai petuah Akmal, semakin aku sadar bahwa Akmal tidak membual kosong. Selama ini aku memang selalu menuruti kehendak Juliet tanpa memperdulikan apa kemauanku sendiri. Apapun tentang diriku kuanggap tak penting lagi bila itu sudah menyangkut Juliet. Perihnya, setelah sekian banyak pengorbananku tetap di mata Juliet aku belumlah sempurna sebagai kekasihnya. Aku tidak bisa menjadi pacar terbaik, begitu katanya.

Kutatap Akmal yang sedang bertarung dengan isi mangkuknya, dia juga berstatus sebagai kekasih. Setahuku dia belum pernah punya satu pun kasus pertengkaran dengan Ifada, pacarnya. Apa bagi Ifada sosok Akmal sudah menjadi kekasih terbaik? Aku yakin jawabannya IYA. Akmal tak pernah mengutarakan satu saja keluhannya tentang Ifada padaku, selalunya dia akan menjawab dengan begitu mantapnya tiap kali aku bertanya bagaimana hubungannya dengan Ifada, ‘Aku masih jadi satu-satunya cowok terbaik di hatinya…’ demikian Akmal sering menjawab tiap kali aku bertanya dengan niat sekadar basa-basi setelah menumpahkan masalahku dan Juliet padanya, banyak kali sebelum ini.

“Mal…”

“Ya.” Akmal menyahut tanpa mengalihkan perhatiannya dari mangkuk bakso.

“Bagaimana hubunganmu sendiri dengan Ifada?”

“Kamu sudah tahu jawabannya…”

Aku tersenyum. Pencerahan datang kepadaku seketika itu. Lantas aku bangun dari kursi, kutepuk bahu Akmal. “Trims, buddy… sekalinya ini kamu ngomong panjang banget…”

Akmal tercenung, “Mau kemana? Ini baksomu masih utuh.”

“Ada sesuatu yang harus kulepaskan,” jawabku mantap, lalu mulai beranjak. Sempat kutatap senyum di wajah Akmal.

“TENANG SAJA, KAMU GAK AKAN JADI JOMBLO UNTUK WAKTU YANG LAMA! IFADA PUNYA CALON YANG TEPAT UNTUKMU…!!!”

Sialan, Akmal sukses mencuri perhatian seluruh pengunjung kantin dengan teriakannya. Aku kaku di pintu keluar, melotot besar pada karibku yang cengengesan tak tahu malu di mejanya. Bangsat, kini perhatian pengunjung kantin ganti tertuju padaku, dengan muka merah aku bergegas meninggalkan tatapan-tatapan aneh menyelidik itu.

*

Kini aku di sini, di depan pintu rumah Juliet. Meski si pembantu berkali-kali menegaskan kalau anak majikannya sedang tidak berada di rumah, aku tak peduli. Masih tetap ngotot berada di depan pintu. Aku tahu dan yakin Juliet ada di dalam sana.

“Sampaikan pada Juliet, saya gak akan pulang sebelum bicara! Saya akan nunggu di sini sampai dia keluar!” kataku agak kasar di muka pembantunya. Aku duduk di kursi teras sementara si pembantu langsung nyelonong masuk setelah kuteriakin.

Aku mulai panas sendiri, sudah setengah jam duduk hingga pantatku rasanya bagai tercucuk paku, tapi tidak satu orangpun yang membuka pintu lagi. Juliet benar-benar kukuh menguji kesabaranku. Kulirik jam, dan kuputuskan aku akan terus menunggu.

Hampir setengah jam lagi aku menunggu, pintu itu baru terbuka. Juliet menampakkan diri dengan raut dingin tak bersahabat.

“Kesalahan kamu kali ini sulit untuk dimaafkan, Ray.” Juliet buka suara, dia bersandar di bingkai pintu bersidekap tangan ke dada. Pandangannya sama seperti malam saat aku datang terlambat, pandangan kesal dan marah. Namun dia tidak menatapku langsung, dia menatap melewati pundakku.

Aku tersenyum simpul, “Kamu salah, Juliet… perkiraanmu jika aku kemari untuk minta maaf adalah tidak benar.” Aku menghela napas, “Kemarin-kemarin saat mencarimu mungkin benar bahwa aku datang untuk memelas mengemis maafmu, tapi sekarang tidak lagi…”

Kali ini Juliet fokus menatapku, bukan lagi ruang kosong di atas bahuku. “Apa maksudmu?”

“Aku lelah.”

Simpul itu sudah mulai kubuka, siap untuk kulepaskan diawali satu kata, LELAH. Aku sadar kalau hati dan jiwaku memang sudah merasa lelah.

Juliet tak merespon.

“Aku lelah selalu berusaha untuk jadi sempurna dalam pandanganmu yang tak pernah memandangku sempurna. Aku lelah selalu berusaha benar menurut penglihatanmu yang tak pernah benar-benar melihatku. Aku lelah selalu berusaha menuruti keinginanmu yang kadang tak sesuai dengan inginku sendiri. Aku lelah selalu menjadi bukan diriku yang sebenarnya ketika berada di sampingmu, dan semua itu tak pernah cukup berarti di matamu…”

Juliet kian tajam menatapku.

“Aku lelah menjadi bonekamu, Juliet…”

“Lalu apa maumu sekarang?”

Ya Tuhan, bahkan nada suaranya jauh dari kesan terkejut. Seakan kalimatku baru saja tidaklah penting baginya, seakan ucapku hanyalah angin lalu yang tak perlu dipikirkan, yang tak perlu diambil tahu.

“Aku sadar sekarang… untukmu aku tak mungkin bisa jadi sesempurna pangeran. Aku tak bisa menjadi selayaknya Rama buatmu yang indah seperti Sinta. Aku tak mungkin bisa jadi Romeo bagimu, Juliet… meski aku terus berusaha hingga kaki ke atas kepala ke bawah, aku tak bisa jadi Romeo seperti harapmu.” Aku menelan ludah, cukup berat bagiku untuk berucap seperti ini. Bagaimanapun aku pernah mencintai gadis di depanku ini demikian hebatnya. “Maaf aku tak bisa lagi, Juliet… kamu terlalu tinggi untuk kujangkau sementara aku berada di kerendahan mampuku, sangat jauh dari pengharapanmu. Aku sudah berusaha untuk jadi yang terbaik, tapi kamu lihat sendiri nyatanya aku sering gagal.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan kalimat yang sudah kupersiapkan sebagai alasan aku ke sini, “Juliet, aku ingin mengakhiri semuanya.”

Lepas sudah, aku sudah selesai. Berat, namun baik. Berat karena perasaanku masih cukup condong padanya, baik karena inilah yang seharusnya kulakukan untuk membebaskan diriku sendiri.

Juliet menatapku lekat, “Kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu ucapkan? Sekali kamu berani meninggalkanku, Rayhan… jangan harap aku akan menerimamu kembali,” ucapnya membekukan, sama sekali tak ada nada sesal atau sedih dalam suaranya, malah aku merasakan keangkuhan di sana. “Kamu mau kita putus?”

Aku memberinya satu kali anggukan. “Ya, semua berakhir hari ini di sini. Hampir setahun ini kita telah salah, bukan aku yang kamu ingin, sebaliknya bukan kamu pula yang tepat untukku. Salah satu dari kita terlambat menyadari itu hingga kita membuang-buang masa hampir satu tahun lamanya…”

“Ray…”

“Aku pergi…” aku membalikkan badan.

“Rayhan…”

Sial. Apa Juliet bermaksud menahanku agar tidak pergi? Apa dia akan meyakinkanku bahwa dia akan berubah? Kutolehkan kepalaku, memandangnya tanpa berbalik.

“Kamu benar, aku membuang-buang waktuku denganmu selama ini. Semoga berhasil dengan cintamu selanjutnya.”

Dan pintu Juliet sukses terbanting. Aku tak akan menghampiri pintu ini lagi. Kini aku yakin setelah mendengar kalimatnya baru saja, aku tidak pernah benar-benar jadi kekasih buatnya.

“Kamu juga, Juliet… semoga sukses dengan robotmu selanjutnya,” ujarku lirih lalu memulakan langkah.

Ah, rasanya aku bagai narapidana yang bebas kembali menghirup udara segar setelah sekian lama terkungkung di balik terali besi. Begitu yang kurasakan setelah melewati gerbang Juliet. Sebegini melegakankah bila kita melepas cinta yang menyengsarakan kita? Meski sedikit rasa masih bersisa, tapi ketika kita yakin bahwa keputusan kita adalah benar… itu sangat membuat lega.

Selamat tinggal cinta lama. Semoga cinta baru yang lebih baik dan bisa menerima apa adanya diriku akan kutemui di depan sana. Entah esok, entah lusa, entah hari-hari selanjutnya. Semoga saja…

3 komentar: