Sabtu, 23 September 2017

Ranti

couple and sunset
Pernahkah kau memutuskan seseorang sebelumnya?


Keadaan di Taman Riyadhah sungguh ramai sore ini. Anak-anak berlarian ke sana-sini di bawah pengawasan ibu atau ayah mereka. Ada yang sedang bermain ayunan, memanjat rangka besi, atau bermain jungkat-jungkit. Beberapa juga tampak asik merosot malas-malasan di prosotan. Para penjaja makanan juga sudah mulai memadati sisi-sisi sekeliling taman. Kebanyakan adalah pedagang gerobak dengan berbagai jenis jajanan.

Ranti memandang ke seluruh penjuru taman kecil tempat dia sudah membuat janji bertemu dengan Ranto, pacarnya. Tidak, tepatnya akan segera jadi mantan pacar setelah kata putus terucap dari bibirnya nanti. Ranti baru saja datang. Di gerbang taman dia masih mematung, enggan masuk. Terlalu banyak orang sore ini, terlalu banyak anak-anak. Ke mana perginya muda-mudi yang sering berada di sini saat sore seperti sekarang? Ranti hanya menemukan beberapa sosok sebayanya duduk bersisian di kursi taman. Selebihnya, hanya anak-anak kecil dan orang tua mereka.

“Aku salah memilih tempat,” bisiknya pada diri sendiri. Gadis ini memandang lagi ke segala penjuru, berusaha menemukan sudut yang layak untuk duduk menunggu. Tak ada sudut yang sepi. Taman Riyadhah sangat difavoritkan hari ini. Ranti tidak menemukan satu pun kursi taman yang masih kosong.

Ranti mendesah, memandang pada jam tangannya, pukul empat lewat empat lima. Dia masih punya lima belas menit lagi sebelum Ranto tiba. Mereka janji bertemu jam lima sore. Di mana aku bisa duduk menunggu? Ranti membatin. Matanya masih liar mencari-cari kursi taman yang kosong. Ekor matanya menangkap satu kursi yang baru saja ditinggalkan pasangan orang tua dan anak balita mereka. Bergegas Ranti membawa kakinya menuju kursi itu sebelum didahului pengunjung taman lain.

Ranti menghempaskan bokongnya di atas kursi, bernafas lega karena berhasil mendapatkan tempat duduk. Di sini, Ranti melirik jamnya lagi. Masih seperti tadi, jarumnya belum jauh bergeser.

Lima belas menit. Apa yang harus aku lakukan untuk membunuh waktu selama lima belas menit ke depan? Mempersiapkan diri? Iya. Mempersiakan diri sebaik-baiknya. Ranto mungkin akan mengamuk saat kuputuskan.

Ranti menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, memaksakan sedikit kenyamanan di tempat duduknya. Padahal saat ini hatinya sungguh tidak nyaman. Dia sudah merasa tak tenang ketika menelepon Ranto siang tadi untuk membuat janji bertemu. Bisakah Ranto menerima keputusan yang akan diucapkannya nanti dengan lapang dada? Bisakah Ranto menerima kata putusnya? Apa yang harus diucapkannya pada lelaki itu bila dia menanyakan alasannya meminta putus? Bagaimana pula bila Ranto merespon dengan reaksi ekstrim dan tidak bersahabat? Bagaimana bila Ranto marah-marah atau memaki-makinya?

Ranti menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Tenang Ranti. Kamu bisa mengatasi situasi ini. Kamu hanya perlu mengucap kata putus padanya. Cukup kata putus saja lalu segera pergi.” Kembali gadis ini berbisik sendiri.

Namun nyatanya tidak semudah itu menenangkan diri. Ranti belum punya pengalaman memutuskan hubungan. Dia belum pernah mengucap kata putus pada seorang lelaki. Ini akan jadi pengalaman pertamanya. Dalam hati, gadis ini terus mengancang-ancang. Dia mencari-cari kalimat yang tepat untuk disuarakan kepada Ranto, tanpa menyinggung perasaan lelaki yang sudah menjadi pacarnya nyaris penuh satu tahun ini. Ranti ingin berpisah baik-baik, tanpa dendam, tanpa kesan buruk sehingga dia dan Ranto masih bisa menjaga hubungan baik sebegai sahabat setelahnya.

Hatinya masih terus mencari.

Ran, aku ingin kita menjadi sahabat saja mulai hari ini.

Ran, mungkin akan lebih baik bila mulai sekarang kita hanya berteman saja.

Ran, maafkan aku. Aku tak bisa lagi jadi kekasihmu, mulai sekarang anggaplah aku sahabatmu.

Apa semua pasangan yang sudah berpisah tetap menjalani hubungan sahabat setelahnya? Seberapa banyak pasangan yang berpisah secara baik-baik?

Ranti mendongak, memandang dahan-dahan rindang yang meneduhi seluruh area taman. Orang-orang menjuluki taman ini dengan Taman Cinta, bahkan segelintir juga menyebutnya sebagai Taman Jodoh. Entah bagaimana taman ini mendapat julukan-julukan hebat itu. Ranti jadi berpikir, sungguh ironis keadaannya sekarang. Apa yang akan dilakukannya sebentar lagi akan sangat bertolak belakang dengan julukan-julukan tempat yang menjadi pilihannya mengatakan putus. Taman ini taman jodoh, tapi dengan memutuskan hubungannya dengan Ranto maka dia telah menyalahi satu julukan taman ini, dia tak berjodoh dengan Ranto. Taman ini taman cinta, tapi dengan mengakhiri hubungan percintaannya dengan Ranto maka dia telah menyalahi satu lagi julukan taman ini. Ironi sekali.

Mereka baik-baik saja. Ranti sadar selama ini Ranto sudah menjadi pacar yang baik, sangat baik malah. Ranto tak pernah absen mengucapkan selamat tidur buatnya setiap malam. Kadang langsung didengarnya, kadang dibacanya. Ranto tak pernah telat bila dia minta dijemput di kampus atau di manapun itu. Ranto bersedia mengantarnya ke manapun. Ranto sukses jadi pacar yang baik dengan tak lupa hari lahirnya, bahkan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat buatnya. Ranto berhasil jadi kekasih yang baik dengan memberinya kado yang tepat, gelang berbandul hati.

Refleks Ranti menyentuh pergelangan tangan kirinya. Gelang itu masih ada di pergelangannya. Dia menunduk menatap gelang itu. “Maaf, Ran. Aku tak punya perasaan mendalam lagi untukmu,” bisiknya lagi.

Apakah itu kalimat yang tepat? Ya, itu lebih baik. Ranti membatin.
Maaf, Ran. Aku tak punya perasaan mendalam lagi untukmu, aku ingin kita mengakhiri kisah kita dan jadi sahabat saja.

Sepertinya gadis ini sudah mendapatkan kalimat yang tepat untuk disuarakan pada Ranto ketika pacarnya itu tiba nanti.

“Ramai sekali, ya?”

Ranti kaget. Seorang cewek baru saja duduk di sampingnya. Kursi yang didudukinya ini memang cukup luas untuk ditempati oleh dua orang, bahkan tidak akan kesempitan untuk menampung tiga bokong sekaligus. Semua kursi di taman sepertinya sudah terisi, wajar saja cewek ini duduk bersamanya. Toh kursi ini bukan milik Ranti pribadi.

“Ya, kebanyakan anak-anak,” respon Ranti sekadarnya. Ekor matanya memerhatikan gadis yang baru saja menghempaskan diri di sebelah kirinya. Dia menaksir usia si gadis sama dengannya. Mereka sebaya.

“Hemm, semua kursi terisi. Untungnya aku menengok ke sini,” ucap cewek itu sambil memencet-mencet tombol ponselnya. Sepertinya dia sedang mengetik pesan.

“Aku juga baru saja mendapatkan tempat duduk,” respon Ranti.

“Oh, ya?” Cewek di samping Ranti menoleh. “Kau juga baru datang?” dia tampak antusias, “Janjian dengan siapa?”

Ranti tersenyum. Begitulah, selain jadi tempat bermain bagi anak-anak, taman ini juga menjadi lokasi pilihan bagi orang-orang untuk membuat janji bertemu, juga berpacaran bagi muda-mudi. Cewek di sebelah Ranti tak salah langsung bertanya demikian. Dia bahkan menebak dengan benar. Ranti memang sedang ada janji.

“Aku Riri.” Cewek bernama Riri itu mengulurkan tangannya pada Ranti. “Aku sedang menunggu pacarku. Dia akan datang sebentar lagi.” Sepertinya Riri ini tipe cewek yang suka bicara blak-blakan.

Ranti menyambut uluran tangan cewek bernama Riri itu. “Ranti,” jawabnya. Haruskah aku memberitahu gadis ini kalau aku juga sedang menunggu pacarku? Ranti bertanya dalam hati.

Riri tersenyum. “Kau juga sedang menunggu pacarmu, Ranti?”

Ranti mengangguk sambil menarik tangannya. “Ya, aku punya janji bertemu di sini.”

“Kencan?” tembak Riri.

Ranti menggeleng. “Aku akan memutuskannya.” Agaknya Ranti tertular bicara blak-blakan.

Mulut Riri menganga. Tetap ternganga hingga beberapa detik. Lalu dia bersuara. “Wow… satu kisah cinta ternyata akan berakhir hari ini.” Nadanya terdengar riang. “Maaf, aku turut sedih mendengarnya.” Kali ini suara Riri lebih berempati.

Ranti mengernyit. Dia menatap heran cewek di depannya. Satu kalimat bernada ceria, lebih seperti orang yang sedang bercanda lalu disusul kalimat bernada bela sungkawa. Cewek aneh.

“Aku juga kerap punya masalah dengan pacarku, tapi sampai saat ini kami belum ingin putus. Yah, tergantung cara kita menyikapi masalah itu juga sih.” Riri mengira kalau Ranti ini ingin putus dengan sang pacar karena punya masalah yang tak bisa diselesaikan. Masalah yang cuma bisa diselesaikan dengan memutuskan hubungan.

“Kami baik-baik saja,” sahut Ranti kalem.

Giliran alis Riri sekarang yang bertaut. Dia menatap bingung pada Ranti. “Kalian baik-baik saja tapi ingin putus?” Riri menggeleng beberapa kali. “Aneh.”

“Tidak aneh jika kau sudah tak merasa cinta lagi.”

Mulut Riri membulat. “Masalah utamanya memang selalu antara cinta dan tak cinta ya…”

Ranti mengangguk.

“Kau sudah kepincut lelaki lain, ya?”

Ranti melotot. Untuk orang yang baru bertemu di bangku taman, dia menilai cewek di sampingnya ini terlalu berani, dan… tidak sopan.

Riri tersenyum. “Jangan tersinggung, mulutku memang ceplas-ceplos begini.”

“Tak apa,” jawab Ranti. “Kebanyakan kita memang memutuskan hubungan karena telah berjumpa dengan seseorang yang lebih di atas orang yang sedang jadi pacar kita. Berjumpa dengan yang lebih cakep, dengan yang lebih pintar, atau yang lebih perhatian. Intinya lebih baik dari pada pacar. Namun aku tidak begitu. Aku tidak sedang tertarik dengan seorang pun. Aku hanya tak cinta lagi. Itu saja.” Ranti menatap gadis di sampingnya. “Kau tak salah kok bertanya begitu.”

Riri tersenyum lalu menepuk tangan kawan sebangkunya. “Aku mengerti,” ujarnya. “Bukankah alasan karena tidak cinta lagi itu lebih baik ketimbang alasan bahwa kita sedang tertarik dengan seseorang yang lebih segalanya dari sang pacar? Kamu punya good reason, Ranti. Karena sudah tak cinta lagi. Seharusnya begitulah alasan semua orang ketika hendak memutuskan hubungan dengan pacar mereka, bukan karena sudah punya pengganti, bukan karena selingkuh.”

Ranti tersenyum, “Trims, Riri.”

“Tunggu, apa sih yang baru kukatakan?” Riri memasang mimik bingung.

Ranti tak bisa menahan tawa. “Kau baru saja membuatku tak merasa buruk karena berniat mengakhiri hubunganku dengan Ranto.”

“Namanya Ranto?”

Ranti sadar kalau baru saja memberitahu nama Ranto pada orang asing. “Ya,” jawabnya. Ranti lalu sadar kalau dirinya dan cewek bernama Riri ini sudah terlalu akrab, tapi dia merasa nyaman mengobrol dengannya. Tak ada salahnya mencari teman.

“Namanya laki banget, ya?”

Ranti tertawa lagi. “Kami sudah pacaran hampir setahun.”

“Aku dan Kifli sudah jalan dua tahun,” sahut Riri.

“Namanya Kifli?” Ranti membalas.

“Tak kalah jantan dengan nama pacarmu, kan?” Riri bertanya penuh percaya diri.

“Ya, namanya juga laki banget.”

“Terima kasih.”

Mereka sama-sama tertawa. Keduanya sudah bagai kenal lama. Dua orang anak dengan balon gas di tangan berlarian di depan mereka. Ibu anak-anak itu mengekor di belakang sambil tak henti meneriaki putra-putrinya agar tak berlari terlalu kencang.

“Kau pernah mengalami situasi sepertiku, Riri?”

Riri menoleh. “Duduk di taman menunggu pacar datang untuk kemudian memutuskannya?”

“Tepatnya situasi di saat kau ingin memutuskan pacarmu. Tak mesti tempatnya di taman. Situasinya, pernahkah kau memutuskan seseorang sebelumnya?” Ranti memperjelas pertanyaannya.

Riri diam, menunduk lalu menggeleng. “Tapi aku pernah diputuskan satu kali,” ucapnya, sedikit bernada sendu.

Ranti kaget. Dia memusatkan seluruh perhatiannya pada cewek di sampingnya. “Bagaimana perasaanmu ketika diputuskan?”

Riri mengangkat wajahnya, menatap lurus ke depan. “Sakit, karena aku masih mencintainya saat itu…”

Ranti merasa bagai dihantam telak. Apa Ranto juga akan merasa sakit ketika dia memutuskan hubungan mereka nanti? Ranti meremas jarinya. Mendadak dia merasa tak siap untuk mengakihiri hubungannya dengan Ranto. Padahal sebelumnya dia sudah menemukan kalimat yang tepat untuk diutarakan pada pacarnya itu.

“Bila kau diputuskan ketika masih begitu mencintai pacarmu, percayalah Ran… rasanya bagai mati suri.” Riri melanjutkan kalimatnya sambil menatap Ranti. “Keadaannya akan lain bila kau tidak lagi memiliki perasaan pada pacarmu ketika kau diputuskan. Itu rasanya tentu bagai lepas dari belitan tali di seluruh badan. Lepas dan bebas, seperti beban mahaberat baru saja diangkat dari pundakmu.” Riri menarik napas, ceplas-ceplosnya hilang entah ke mana. “Tapi keadaan begitu tak sering terjadi…”

“Keadaan yang bagaimana?” Ranti menukas.

“Keadaan kau diputuskan saat sudah tak cinta lagi. Itu jarang terjadi. Kebanyakan adalah, diputuskan ketika masih begitu cinta.”

Ranti terdiam. Dia mencoba memahami perasaan seperti yang diutarakan Riri. Pikiran Ranti bercelaru. Ucapan-ucapan Riri berputar di kepalanya, diuraikan saraf-saraf berpikirnya.

Dari mana aku bisa tahu kalau Ranto sudah tak mencintaiku lagi?

“Tapi aneh juga, kan? Sepertimu misalnya. Kau akan memutuskan hubunganmu karena sudah tak cinta lagi, sedangkan ada kemungkinan pacarmu masih mencintaimu. Itu berarti kau telah menyakiti satu hati, kan? Lalu, kalau kau tak memutuskannya, maka artinya kau akan melewati hubungan tanpa cinta. Itu pasti akan membuat dirimu sendiri tersiksa. Tidakkah menurutmu begitu?” Riri meminta persetujuan Ranti.

“Mungkin…” ucap Ranti tak yakin. “Tapi yang mendorongku untuk memutuskan Ranto adalah, aku tak ingin terus memberinya kepura-puraan. Berpura-pura masih mencintainya padahal tidak. Berpura-pura masih memiliki perasaan seindah saat pertama kali jatuh cinta padanya, padahal perasaan seperti itu sudah tak ada. Aku tak ingin terus jadi penipu dengan memberinya cinta bohongku.”

Riri mengangguk. “Kau benar.”

“Apakah menurutmu Ranto akan terluka?”

Sekarang Riri tertawa. “Aku tak tahu. Kau yang menjalin hubungan dengannya, tentu kau sendiri yang lebih tahu.”

Ranti terdiam.

“Aku pernah membaca, katanya laki-laki lebih cepat bisa move-on ketimbang perempuan. Entahlah benar atau tidak. Tapi aku rasa itu bisa menghiburmu. Berpikir saja begini, Ranto memang akan terluka, tapi dengan cepat dia akan melupakanmu. Karena dia lelaki, pasti lebih kuat.”

“Hemm…,” gumam Ranti. “Menurutmu, kalimat seperti apa yang paling baik untuk kuucapkan pada Ranto nanti? Kalimat yang membuatnya tak terlalu terluka.”

Riri tertawa lagi. “Apa kalimat yang sudah kau persiapkan?”

Ranti berdeham. “Tak banyak.” Dipandanginya Riri. “Mungkin kau bisa menyarankan beberapa?”

Well, aku sendiri tidak punya pengalaman memutuskan lelaki. Tapi jika boleh kusarankan, tinju sedikit bahunya setelah kau mengucapkan apapun kalimat putusmu, lalu lanjutkan dengan kalimat begini…” Riri mendeham. “Ranto, lihat, dengan jadi sahabat kita tak perlu segan memukul. Kita bisa bebas bercanda apabila kita bersahabat saja.”

Ranti bengong sejenak. “Apa bagian pukul-memukul itu penting? Bagaimana kalau dia marah diputuskan lanttas balas memukulku? Bisa saja aku terjungkal dari kursi, kan? Kau tahu, itu mengerikan.”

Riri terbahak. “Baiklah, lupakan bagian pukul bahu itu. Kekhawatiranmu bisa mungkin terjadi mengingat kau yang akan mengucap kata putus. Namun, jangan lupakan kalimat yang menggambarkan bahwa kalian akan baik-baik saja dengan jadi sahabat. Itu perlu agar kalian tetap bisa memiliki hubungan baik sebagai mantan pacar di kemudian hari.”

Ranti mengangguk. “Aku tak akan lupa.”

Ponsel Riri berdering. “Kifli, sepertinya dia sudah datang.” Riri memberitahu setelah melihat layar ponselnya.

Ranti mengangguk lantas mempersilakan cewek yang baru dikenalnya beberapa menit lalu itu untuk menjawab teleponnya.

Riri berbicara di corong ponsel, tak banyak, hanya dua kalimat saja. “Iya sayang…” dan “Aku segera ke situ.”

“Selamat kencan, ya!” seru Ranti begitu Riri selesai bicara.

Riri tersenyum. “Kau juga, semoga sukses dengan agenda memutasikan pacarmu,” balasnya dengan candaan. “Aku pergi ya, Kifli sudah di gerbang.” Riri mengulurkan tangan pada Ranti mereka bersalaman kembali. “Senang berbicara denganmu, Ranti.”

“Ya, terima kasih juga untuk beberapa menitmu di sini.”

Riri mengangguk, “Sampai ketemu lagi.” Lalu dia berbalik pergi, menyongsong kekasihnya di pintu gerbang taman.

Sendiri. Ranti kembali melirik jamnya. Jarum panjang hampir tepat menunjuk angka dua belas. Jam lima sore sudah di ambang pintu. Apa Ranto akan terlambat? Pacarnya itu tak pernah terlambat sebelum ini. Jika hari ini dia terlambat, maka itu akan jadi kali pertama sekaligus kali penghabisan dalam sejarah hubungan mereka.
Ranti kembali menyentuh gelangnya. Apa aku harus mengembalikan gelang ini? apa aku harus mengembalikan beberapa hadiah yang pernah diberikan Ranto untukku? Berapa banyak mereka yang mengembalikan benda-benda pemberian pacar ketika sudah tidak lagi berstatus pacaran?

Ya, mungkin aku harus mengembalikan gelang ini, juga kado lain yang pernah diberikannya.

Tidakkah itu akan semakin melukai perasaannya? Ranto akan semakin terluka karena barang-barangnya dipulangkan balik. Seolah benda-benda itu tak pernah punya arti. Seakan benda-benda yang diberikannya dengan sepenuh hati itu tak pernah dihargai. Seolah-olah dirinya tak pernah dianggap.

Tidak, aku tak harus mengembalikan apa-apa. Ranto tak akan terlalu terluka. Malah mungkin dia akan merasa terhibur karena aku masih memakai benda-benda pemberiannya.

Ranti memandang sekitar. Taman semakin ramai. Gerobak-gerobak jajanan mulai dikerubungi pengunjung. Seperti gula dikerubungi semut. Riuh rendah suara anak-anak ikut meramaikan suasana. Anak-anak yang menangis, yang berteriak-teriak, atau yang tertawa bergelak. Semuanya tumpang tindih bersama deru mesin kendaraan yang lalu lalang di jalan sekeliling taman.

Kalimat Riri, cewek yang hanya dikenalnya hitungan menit beberapa saat lalu, kembali mengiang.

‘Jangan lupakan kalimat yang menggambarkan bahwa kalian akan baik-baik saja dengan jadi sahabat. Itu perlu agar kalian tetap bisa memiliki hubungan baik sebagai mantan pacar di kemudian hari.’

Kalimat yang menggambarkan bahwa mereka akan baik-baik saja dengan bersahabat. Seperti apa kalimat itu tepatnya?

Ran, aku tak punya perasaan lagi untukmu. Aku ingin kita mengakhiri kisah kita dan jadi sahabat saja. Percayalah, kita akan baik-baik saja dengan jadi sahabat. Tak ada yang berubah. Aku akan menyayangimu… sebagai sahabatku.

Apakah begitu? Ya, sepertinya begitu saja cukup. Utarakan kalimat itu lalu pergi. Ranti memantapkan diri.

Sepasang muda-mudi melintas di depannya lalu duduk di bawah pohon dekat dengan kursi tempat dia menunggu. Pasangan itu duduk di akar pohon. Meski tanpa berpegangan tangan, Ranti bisa mengetahui kalau mereka adalah sepasang kekasih. Bahasa tubuh muda-mudi itu menjelaskan status mereka. Pandangan mata mereka ketika berbicara memperlihatkan formula rumit yang tak bisa dijelaskan. Formula yang sedang melanda keduanya. Formula cinta.

Ranti pernah merasa seperti sepasang muda-mudi itu. Ketika untuk pertama kalinya dia jatuh cinta. Pertama kalinya tertarik. Pertama kalinya terpesona dan semakin terpesona. Ranti ingat bagaimana rasanya ketika sudah menjalin hubungan percintaan dengan Ranto. Tapi sejak perasaan cintanya pada Ranto terkikis sedikit demi sedikit, seiring waktu dia sudah tidak merasa begitu lagi.

Tidak, jangan sekarang. Aku tak ingin mengenang kisah cintaku dengan Ranto. Tidak di saat aku siap untuk mengakhiri kisahku.

Kenyataannya, Ranti tak bisa melarang memorinya untuk mengingat. Menunggu membuatnya mengingat kembali perjalanan cintanya besama Ranto. Namun ingatannya semata-semata hanya untuk membunuh waktu dalam menit-menit menunggu, bukan untuk membangkitkan lagi gelora cinta yang pernah membara di hatinya kepada Ranto dulu.

Mereka bertemu di kegiatan bakti sosial di sebuah panti asuhan. Ranti bersama beberapa rekan satu jurusannya bertemu dengan Ranto dan beberapa teman satu ruangnya ketika kegiatan bakti sosial itu. Love at the first sight, begitulah Ranti menyebutnya. Saling pandang, dari mata turun ke hati, maka hati pun berdesirlah.
Selanjutnya, selama beberapa hari kegiatan baksos itu, dia dan Ranto menjadi akrab. Ranto menyatakan cintanya pada Ranti di hari terakhir kegiatan bakti sosial mereka, disaksikan rekan-rekan mereka berdua, di hadapan anak-anak panti. Tak perlu pikir panjang, Ranti langsung berkata ‘ya’ ketika Ranto bertanya dengan sangat gentle. Bersediakah kau jadi pacarku?

Lalu hari-hari terlewati dengan predikat sepasang kekasih yang mereka sandang. Semakin lengket dan semakin membara saja perasaan di hati keduanya. Kemudian hari menutup bulan-bulan, perasaan mereka masih menyala, masih cinta, masih sayang, masih mendamba. Setelah bulan, bulan, bulan, dan bulan terkumpul lagi, Ranti merasa hatinya hambar, perasaannya menjadi tawar, api cintanya tak lagi berkobar. Padam. Saat itulah dia bertopeng di depan Ranto. Dia bukan lagi dirinya yang sebenarnya. Cintanya tidak lagi ada buat seorang Ranto. Cintanya hilang tak berbekas lagi, menguap bagai air yang terus dipanaskan hingga kering. Ranto bukan lagi yang tercinta. Ranto bukan lagi pemilik hati.

Puncaknya, hari ini dia bersiap-siap untuk mengakhiri kebohongannya, mengakhiri kepura-puraannya. Semoga Ranto bisa menerima, dengan lapang dada dan tangan terbuka, dan kemudian jadi sahabatnya. Seperti yang sudah diniatkannya sejak punya hajat untuk berkata putus.

Ranti lagi-lagi melirik jam. Empat menit melewati pukul lima sore. Ranto terlambat, untuk pertama kalinya selama mereka pacaran, dan pasti akan jadi terakhir kalinya juga. Jika mereka membuat janji lagi untuk bertemu di kemudian hari dan Ranto datang terlambat lagi, maka itu adalah terlambat di ranah lain, ranah persahabatan.

Sekarang Ranti melihat layar ponselnya. Barangkali dia tak peka saat benda itu berdering kerena terlalu bising di sekitarnya. Layar ponselnya bersih, tak ada tulisan new message atau missed call di situ. Ranto tak menelepon atau mengirimkan pesan mengabarkan kalau dia akan terlambat.

Kini Ranti mulai menoleh kesana-kemari. Dia memandang ke gerbang masuk taman, mencari-cari sosok Ranto di sana. Tak ada, pacarnya itu belum datang. Untuk pertama kalinya, Ranti merasa gelisah dalam penantian. Sesuatu yang tak pernah dirasakan Ranti sebelumnya. Dia tak pernah gelisah menunggu Ranto karena Sang Pacar tak pernah terlambat. Sekarang, Ranti merasakannya. Dia gelisah. Dan entah bagaimana, itu melahirkan perasaan lain, sensasi lain di hatinya. Belum pernah dirasakan sebelumnya. Sensasi gelisah itu seakan memerangkapnya.

Beginikah rasanya gelisah menanti kedatangan orang yang dicintai?

Ranti memandang jam lagi. Tujuh menit sudah. Ranto sudah terlambat selama itu. “Aku akan meneleponnya,” bisik Ranti. Dia tak mau semakin gelisah, padahal baru tujuh menit saja. Gadis ini mencari-cari nama Ranto di ponsel, dan segera menemukannya. Nama Ranto tertulis indah di sana dengan tambahan kata My Prince setelahnya. Ranti segera memencet tombol hijau.

“Ran…”

Ranti mendongak. Sosok jangkung Ranto sudah tegak di depannya. Jaket pemberiannya sebagai kado ulang tahun beberapa bulan lalu membungkus pas di badan Sang Pacar. Lalu, semua kata yang telah dipersiapkannya tercerai-berai, tak bersisa satupun, digantikan oleh satu kalimat yang menggaung dalam hati dan pikirnya.

Aku masih mencintai lelaki ini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar