Senin, 18 September 2017

Father and Son 2.0



ayah dan putranya
Sampai zaman berakhir, dia tetaplah seorang ayah


Note :
Postingan ini adalah lanjutan postingan sebelumnya. Untuk mendapatkan gambaran cerita yang utuh, sebaiknya baca postingan sebelumnya terlebih dahulu di sini.

*

Putranya tampak tidak berselera dengan sarapan yang dibuatkannya pagi ini, nasi goreng dan telur mata sapi. Padahal dia sering membuatkan menu demikian di pagi-pagi yang sudah lewat. Di ujung meja, putranya menggerak-gerakkan sendoknya, mengaduk-ngaduk isi piring dengan malas. Belum sesendokpun nasi itu masuk ke mulutnya.

Dia berhenti dari makannya dan bertanya, “Nasi gorengnya tidak enak?”

Putranya mengangkat wajah, lalu menggeleng. “Nasi gorengnya selalu enak.”

“Hemm… tidak enak badan?”

Putranya diam.

“Ayah akan ke sekolah untuk mengabarkan pada wali kelasmu kalau kau tidak bisa masuk hari ini.” Dia mengira anaknya tidak selera makan karena sedang kurang sehat. “Makanlah sedikit lalu kembali ke kamar…”

“Tidak apa-apa, Ayah. Aku sangat sehat, sesehat hari-hari kemarin.” Lalu dia mulai menyendok isi piringnya.

Ditatapnya sang putra beberapa saat sebelum meneruskan makannya kembali. Dia mengira percakapan mereka pagi ini berakhir sampai di situ saja, ternyata tidak. Setelah beberapa saat, putranya kembali bersuara. Kalimat sang putra kali ini membuat dia berhenti menyendok.

“Apa Ayah pernah merindukan Ibu?”

Nasi berubah menjadi batu di dalam mulutnya, dia berhenti mengunyah. Berusaha menelan sisa nasinya tanpa mengunyah malah membuat kerongkongannya perih. Putranya belum pernah menyinggung kata ibu dalam kalimat semenyesakkan itu. Selama ini, putranya hanya bertanya pertanyaan-pertanyaan biasa.

Apa ibuku cantik? Ya, ibumu sangat cantik.

Apa ibuku baik? Tentu, ibumu yang paling baik.

Apa Ibu ada di surga? Tuhan sayang ibumu, jadi… ya, dia pasti di surga.

Apa Ibu akan marah jika aku nakal? Tidak, jika kau nakal, dia akan menasehatimu untuk tidak nakal lagi.

Apa Ibu bisa melihatku? Pasti, Nak. Ibumu melihatmu sepanjang waktu.

Selalu pertanyaan-pertanyaan mudah saja selama ini. Dia tak pernah kesulitan menjawab. Sekarang, pertanyaan putranya mengambil subjek lain, dirinya. Apa dia pernah merindukan istrinya? Begitulah adanya pertanyaan putranya. Dan saat ini dia juga yakin jika putranya sedang sangat merindukan ibunya.

“Sepertinya aku bermimpi bertemu Ibu semalam…”

Mendadak dadanya sesak, dia tak bisa berkata-kata.

“Seperti kata Ayah, Ibu sangat cantik…”

Lidahnya semakin kelu. Susah payah dia bertahan untuk tidak membiarkan matanya mengalahkannya di depan putranya.

“Ibu membelai kepalaku lalu kami pergi ke sebuah taman bunga. Ibu memberiku satu bunga paling cantik dan berpesan agar aku membawanya pulang untuk Ayah. Saat aku bangun tadi pagi, hal pertama yang aku ingat adalah bunga pemberian Ibu…”

Mereka diam, sangat lama. Dia tahu kalau putranya sedang menatapnya sekarang, dan dia masih belum siap mengangkat wajahnya untuk menatap sang putra.

“Apa Ayah pernah merindukan Ibu?” Putranya mengulang tanya. “Apa Ayah pernah bermimpi bertemu Ibu?”

Dia tak akan lepas sebelum menjawab. Tapi apa yang harus dijawabnya? Mengakui kalau dia juga merindukan istrinya pasti akan membuat putranya semakin ingat ibunya dan semakin bersedih. Dia tak ingin putranya semakin merasakan ketidakberadaan sosok seorang ibu bersama mereka.

Menahan sesak, dipandangnya sang putra sambil berusaha tersenyum. “Kau beruntung bermimpi bertemu ibumu, Nak.” Nafasnya terasa berat, “Sekarang, bisakah kau menghabiskan sarapanmu dan segera berangkat ke sekolah? Ayah takut kau sudah terlambat…”

Dan percakapan itupun berakhir, dia berharap untuk tidak berhadapan lagi dengan situasi seperti ini di hari-hari esok. Cukup sekali pertanyaan itu membuatnya bingung memilih jawaban, antara mengakui perasaannya sendiri atau menjaga perasaan putranya.

*

Dari dapur, dia beranjak ke kamar putranya. Di sana dia berlutut di depan lemari putranya yang penuh bertempel gambar tokoh kartun kesukaannya. Dia mamandang pantulan wajahnya di depan cermin di lemari kecil itu. Wajah kuyu dan pucat. Dengan tangan gemetar, dibukanya lemari itu. Baju-baju sang putra terlipat rapi di sana. Jaket-jaketnya tergantung di gantungan. Matanya terpaku lama pada seragam merah putih yang tergantung di antara jaket dan beberapa potong kemeja. Perlahan, dia membelai seragam itu, menyentuh kerahnya, kancing-kancingnya, saku kecil di sebelah kiri dan juga dasi merah yang terselip di saku kecil itu. Ditariknya dasi kecil itu lalu diciuminya. Aroma sang putra masih tertinggal di sini. Tak puas, dia mengeluarkan seragam itu dan mendekapnya.

Walau samar, dia masih ingat hari pertama putranya mengenakan seragam merah putihnya. Bukan yang ini tapi seragam yang lebih kecil. Itu sudah lima tahun lalu…
*

Dia sengaja bangun lebih pagi dari biasanya hari ini. Ada peristiwa penting yang akan terjadi. Ini hari pertama putranya masuk Sekolah Dasar. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuat seragam putranya terlihat serapi mungkin. Dia menghabiskan waktu lebih lima belas menit dengan setrikaan untuk membuat seragam merah putih itu tidak memiliki satu kerutan pun.

Setelah itu, dia menjerang air. Putranya belum terbiasa mandi terlalu pagi. Putranya butuh air hangat agar tidak ke sekolah dengan badan menggigil. Sambil menunggu airnya mendidih, dia memanaskan wajan untuk membuat sarapan.

‘Kau butuh seorang istri untuk mengurusmu dan putramu…’

Seorang jiran pernah berkata begitu padanya. Saat itu dia menanggapinya dengan tersenyum. Sekarang, dia kembali tersenyum sendiri sambil mengaduk isi wajan.

Bila aku masih bisa mengurus diriku sendiri dan putraku, mengapa aku harus punya istri lagi?

Begitu airnya mendidih, dia bergegas ke kamar sang putra dan membangunkannya. Tak butuh waktu lama, setelah memandikan putranya mereka kembali ke kamar.

“Apa aku akan bangun sepagi ini tiap hari, Ayah?” Putranya bertanya saat sang ayah memakaikan seragam.

“Kau bukan di taman kanak-kanak lagi, sekolahmu yang sekarang membunyikan lonceng lebih awal. Nanti kau akan terbiasa.”

Lalu putranya diam.

Dia mengancing kemeja sang putra, memakaikan dasinya lalu menyisir rambutnya serapi mungkin.

“Padahal aku bisa melakukannya sendiri, Ayah.” Putranya kembali bersuara.

Dia tersenyum, “Ya, Ayah tahu. Ayah hanya ingin kamu terlihat siap di hari pertamamu…” Dia mengambil bedak, meratakan di telapak tangannya lalu disapukan pada wajah sang putra. “Besok, kau bisa bersiap-siap sendiri. Ayah hanya mengambil hari ini saja.”

Putranya tertawa, “Apa ketika seusiaku, orang tua Ayah juga mengambil hari pertama Ayah?”

Kembali dia tersenyum, “Ya.” Lalu dia mundur beberapa langkah, memandang putranya dengan tatapan bangga. Menatapnya dari puncak kepalanya sampai ujung kakinya.

Itu putraku. Dia sudah beranjak memasuki babak baru dalam hidupnya.

“Ayah, apa aku bisa memakai sepatuku di dalam rumah? itu masih baru, tidak kotor.”

Kali ini dia tertawa, “Tentu. Kau bisa memakainya dan berlari ke seluruh penjuru sesukamu. Khusus hari ini saja. Tapi, jangan buat seragammu kusut. Ayah sudah menyetrikanya dengan sangat baik.”

Putranya lalu mengambil kotak sepatu barunya di bawah kolong tempat tidur. “Ayah mau memakaikannya? Ini hari pertamaku, kan?”

Tawanya kian keras. Dia mengambil sepatu itu dan memakaikannya ke kaki sang putra setelah terlebih dulu menyarungkannya dengan kaus kaki.

“Besok aku akan memakainya sendiri, kan?”

“Hemm…”

“Terima kasih, Ayah.”

Sang putra berjalan lincah mengelilingi kamar sebelum mengikutinya menuju dapur untuk sarapan.
*

Dia mengembalikan seragam itu ke gantungannya. Ditatapnya beberapa lama lagi sebelum menutup pintu lemari. Dari sana dia berjalan ke tempat tidur kecil di tengah kamar. Bantal dan guling tersusun rapi, selimut juga terlipat seperti biasanya di kaki tempat tidur. Perhatiannya tertuju pada boneka beruang besar yang teronggok di kepala tempat tidur di samping bantal.

‘Apa aku masih pantas untuk punya boneka beruang?’

Suatu malam setelah membaca cerita di majalahnya dimana tokoh utama dalam cerita tersebut adalah seekor beruang, putranya bertanya demikian padanya. Saat itu dia berpikir bahwa seharusnya dia sudah membelikan putranya sebuah boneka jauh sebelum dia bisa membaca. Seharusnya dia sudah membelikan boneka ketika putranya masih suka bermain perosotan di taman kanak-kanak.

Keesokan hari, putranya berlompatan girang ketika pulang sekolah dan menemukan sebuah boneka besar yang nyaris sama tinggi dengannya di atas tempat tidur.

‘Ayah, aku akan menamainya Ranko. Seperti nama beruang dalam cerita semalam.’

Dia mendekat dan duduk di atas tempat tidur. “Kau mulai merasa sepi juga, hah? Ranko?” Diambilnya beruang itu dan diletakkannya di atas pangkuan. “Ya, aku tahu… pasti kau juga sepertiku. Seharusnya aku membeli satu lagi benda sepertimu ini agar kau punya teman. Ah, tak apa, kita akan berteman mulai hari ini. Kau akan jadi temanku dan aku akan jadi temanmu… tenang saja.”

Diletakkannya kembali boneka beruang itu di tempatnya semula. Sekarang dia memandang berkeliling ke seluruh penjuru kamar. Memandang sayu pada topi merah putih putranya yang tersangkut di gantungan baju di belakang pintu. Pada raket bulutangkis dan bola bisbol serta pemukulnya di salah satu sudut kamar. Pada kertas-kertas berisi gambar buatan putranya sendiri yang bertempelan di banyak tempat di dinding. Juga pada jendela yang di kacanya bertempelan stiker kartun sejenis dengan yang tertempel di lemari. Dia pernah menegur putranya karena menempel stiker di kaca jendela, tapi putranya tak pernah melepaskannya. Stiker itu masih tetap tertempel di sana hingga hari ini.

‘Bukankah sinar matahari jadi terhalang bila jendela ditempeli seperti itu?’

Kalimatnya ketika menegur putranya dulu kembali terngiang. Dia ingat putranya hanya diam ketika itu. Sebelum keluar kamar, dia sempat menyuruh putranya untuk melepaskan stiker-stiker itu dari jendela. Tapi sang putra tidak melepaskannya. Dia beranjak ke sana, mengusap stiker-stiker itu sambil berusaha membayangkan saat putranya menempel mereka di sana.

Puas mengusap jendela, dia kembali memandang ke seluruh penjuru kamar. Sekarang pandangannya tertuju pada meja belajar, menatap lama semua benda-benda di atasnya. Tas sekolah, buku-buku pelajarannya, mug berisi pensil dan pena, komik-komik dan buku-buku cerita. Tumpukan majalah anak-anak yang sering dibaca putranya juga ikut ada di sana. Lalu perhatiannya tersita pada  piala yang terletak bagian atas meja belajar itu. Ada tiga piala. Dia ingat betul kapan piala-piala itu dibawa pulang putranya.

Dia melangkah mendekat ke meja, memandang piala-piala itu lebih dekat. Semua tulisan di piala itu sama. JUARA I LOMBA MENGGAMBAR. Ya, putranya sangat suka menggambar, karena itulah seluruh dinding kamarnya bertempelan kertas gambar. Piala-piala itu membuktikan betapa sang putra sangat cinta menggambar.

Diraihnya piala-piala itu dan diusapnya satu-satu sebelum diletakkan ke tempat semula. Lalu perhatiannya tertuju pada weker berbentuk panda yang tergeletak di antara buku-buku di atas meja belajar.

‘Ayah, sepertinya aku sudah harus punya weker untuk membantuku lebih disiplin. Kalau aku punya weker, Ayah tak harus susah lagi mebangunkanku tiap pagi…’

Dia tak pernah keberatan membangunkan putranya, sebaliknya dia selalu menikmati rutinitas paginya itu. Namun dia tak mungkin menolak permintaan sang putra untuk membelikannya sebuah weker, toh putranya benar, bahwa dia akan belajar mendisiplinkan diri dengan benda itu. Jadi setelah putranya berangkat ke sekolah, pagi itu juga dia mencari sebuah weker di pasar.

Merasa cukup melihat-lihat kamar putranya, dia beranjak keluar. Ditutupnya pintu kamar sang putra dengan hati tak menentu. Dia tak yakin akan sekuat ini saat masuk ke kamar sang putra di hari-hari esok, sama tak yakinnya dia kalau akan sanggup hidup dalam kesendiriaan yang pasti akan mengiringi hari-harinya hingga tua kelak.

Mulai hari ini sepi akan jadi temannya. Semuanya tak sama lagi. Walau setiap hari mulai esok dia masih menyiapkan sarapan. Masih duduk di kursi kayu di beranda. Masih melihat ayunan di halaman. Masih melihat sepeda itu. Pohon itu, dan juga masih bisa melihat kamar putranya. Tapi semuanya akan ditemukannya dalam keadaan tak sama lagi.

Kemarin, dia masih menjalani hidupnya bersama keyakinan bahwa suatu saat harapan dan impiannya terhadap sang putra akan terwujud satu-persatu seiring berjalannya waktu. Sekarang, hari-hari kosong tanpa harapan dan impian sudah mulai menyambanginya. Namun sekosong dan sesepi apapun hidup yang akan dijalani hingga hari tuanya kelak, itu tak akan merubah statusnya. Sampai dia menutup mata, sampai dunia kiamat, dia tetap seorang ayah bagi putra yang tak lagi bersamanya. Dan begitulah orang-orang akan mengenalnya. Dia tetap seorang ayah meski tak ada lagi yang memanggilnya ayah.

- FIN -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar