Rabu, 20 September 2017

Surat Terakhir untuk Anissa


letter vintage
Dearest Anissa...


Aku ingin meratapi ketidakberuntunganku, meratapi kepengecutanku selama ini yang telah mengakibatkan nelangsa hatiku. Sekarang, ketika sudah terpisah ribuan mil jauhnya, aku baru menyadari bahwa aku laki-laki tolol. Seharusnya dulu aku tak pernah mengambil kesempatan itu, seharusnya dia melarangku pergi agar aku tetap di sana, menjaganya yang belum termiliki. Kini, aku hanya bisa terpekur sambil menatap hampa pada layarku, membaca suratnya dalam keputusasaan.

‘Kami akan melangsungkan pernikahan minggu depan...’

Dari begitu banyak deretan kalimat yang dituliskan dalam suratnya kali ini, kalimat itulah yang paling meremukkanku. Lalu aku menemukan kepedihan menderaku seiring kalimat-kalimat di bawahnya yang terbaca begitu jelas, seakan kalimat itu ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan sekaligus digarisbawahi, seakan kalimat itu bukan kubaca tapi kudengar langsung dari mulutnya. Padahal tidak.

‘Siapa sangka, tak lama lagi aku akan berstatus sebagai seorang istri. Ny. Anissa Ismantyo, namaku akan ditulis selaras dengan nama suamiku nanti. Wanita ini siap menjalani satu tingkat lagi dalam siklus hidupnya, Jun… berumah tangga…’

Ya, kau akan berumah tangga, Anissa. Tapi bukan denganku.

Anissa, dialah gadis kepada siapa perasaanku bermuara, gadis yang kuangan-angankan ribanya menjadi tumpuan kepalaku saat bermanja di kamar pengantin suatu hari nanti, menjadi ibu dari anak-anakku kelak, berpegangan tangan melewati hari-hari tua bersama. Selamanya itu hanya akan jadi angan-angan saja, dalam waktu kurang dari dua minggu lagi, dia akan menjadi milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun lamanya hingga berkarang, tak ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang begitu bodohnya berpikir bahwa gadis yang aku cintai menyadari perasaanku tanpa kuberi tahu dan akan menunggu hingga aku menyematkan cincin di jari manisnya. Aku salah, dia tak pernah benar-benar menyadari, itulah mengapa sekarang hatinya dimiliki oleh laki-laki lain.

Salahku tak mengungkapkan. Aku terlalu percaya diri bahwa diriku yang ditunggunya, terlalu yakin bahwa dia bisa membaca gelagatku, ternyata tidak. Salahku juga tak pernah bertanya. Apakah ada seseorang? Apakah aku yang ditunggu? Apakah ada cinta untukku? Aku tak pernah bertanya, namun sekarang aku mendapatkan jawabannya. Dia menjawab semua pertanyaan yang terlupa kuajukan, menjawabnya sedemikian rinci dalam suratnya kali ini. Bahwa ada seseorang, bahwa bukan aku yang ditunggu, dan bahwa hatinya telah tertambat.

‘Alan lelaki yang baik, Ayah bilang, aku akan bahagia bila menikah dengannya…’

Laki-laki pilihannya, mungkin juga pilihan orang tuanya, bernama Alan. Alan Ismantyo. Tidakkah kamu juga akan bahagia bila bersamaku, Anissa? Hatiku menyeruakkan tanya, aku yakin bahwa aku bisa membuatnya bahagia. Kusesali diriku yang tak ada di sana untuk membuktikannya. Membuktikan bahwa aku bisa membuatnya bahagia, membuktikan langsung padanya juga pada orang tuanya bahwa aku juga lelaki yang baik, bahkan lebih baik dari laki-laki bernama Alan entah siapa itu.

Sesaat kemudian aku sadar statusku, apa yang bisa dibuktikan oleh mahasiswa sepertiku? Apa jaminan kebahagiaan yang bisa kutunjukkan pada mereka? Sedang Si Alan sialan itu mungkin punya begitu banyak yang bisa dipamerkan melebihi diriku. Ayahnya yakin dia akan bahagia bersama laki-laki itu. Itu lebih dari cukup untuk Anissa, orang tuanya merestui.

Salahku tak ada di sana.

Masih terpekur menatap layar. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa ketika aku masih berada di sana, akan kuabaikan peluang mengejar pendidikan yang telah membuatku jauh darinya. Aku tidak akan kemana-mana jika aku tahu bahwa akibat dari kepergianku itu akan membuatku kehilangannya. Untuk pertama kalinya, aku menyesali keputusanku menerima beasiswa melanjutkan pendidikan kemari. Niatku untuk menempati hatinya tentu bisa kesampaian bila aku tetap bersamanya.

Aku ingin mengundur masa kembali pada saat-saat aku dan dia tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali pada kebersamaan yang pernah kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku berpikir dia tahu. Aku berfikir dia tahu ketika kami berlari bergandengan tangan dalam hujan saat pulang sekolah, aku berfikir dia tahu ketika kami berkejaran di taman sambil menjaring kupu-kupu, aku fikir dia tahu ketika kami berbaring beralas rumput sambil menghitung bintang, aku fikir dia tahu ketika aku merangkulnya di pantai untuk berfoto, aku fikir dia tahu.

 Sekarang aku merutuki diriku yang tak pernah memberi-tahukannya. Lagi, aku ingin kembali ke salah satu peristiwa itu dan mengatakan kepadanya bahwa aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa diputar kembali.

Maka di sinilah aku sekarang, tidak di salah satu tempat dimana seharusnya aku memberitahunya dulu, tetapi di dalam kamar sempit di negeri yang terpisah jauh darinya. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Sidney, Australia. Malam ini, menjadi mahasiswa yang kuliah bukan di negeri sendiri karena beasiswa kuanggap sebagai satu kesalahan.

Berfikir bahwa seharusnya aku memberitahukan perasaanku padanya sejak dulu, tak pelak membuatku kembali mengenang masa-masa manis itu, masa-masa manis yang tercatat rapi dalam catatanku. Biarlah, mungkin ini kali terakhir aku membiarkan diriku dimamah kenangan  tentangnya. Setelah ini, Anissa akan benar-benar pergi, dariku dan dari kenanganku…

*

“Jun, mau menunggu hingga gelap ya?”

Aku mengalihkan pandanganku dari menatap curahan hujan yang semakin membuat halaman sekolah tergenang, ke sosok yang berdiri sambil memeluk dada di sampingku. Bahkan jaket yang kupakaikan padanya beberapa saat setelah hujan turun tak sanggup menyelamatkannya dari kedinginan. Anissa sedikit menggigil, seharusnya aku punya jaket yang lebih tebal dari itu.

“Hujannya terlalu deras, bisa sakit kalau nekat pulang sekarang. Tunggu sebentar lagi sampai agak reda.” Jawabku lalu kembali memperhatikan genangan air di pekarangan sekolah yang kian melebar.

“Sudah mulai sepi, gak ada tanda-tanda hujannya akan segera reda nih,” sahutnya.

Aku memandang berkeliling, dia benar, tidak banyak lagi siswa yang bertahan menunggu hujan reda, hanya tinggal beberapa saja. Aku yakin mereka pergi ke sekolah menggunakan angkot, sama seperti aku dan Anissa, jika punya kendaraan pasti sudah sejak tadi mereka menerobos hujan tak peduli betapun derasnya.

“Tunggu beberapa menit lagi, ya!” Aku mencoba menyabarkannya. Kulirik jamku, mendekati setengah tiga, kami sudah menunggu satu jam lebih.

“Berapa menit?”

“Beberapa menit lagi, sampai hujan sedikit reda,” ulangku.

“Kalau tak kunjung reda?”

“Pasti reda,” jawabku optimis, “Tak ada hujan yang tak reda, jangan bodoh.”

“Kalau redanya baru malam nanti? Kamu mau menunggu di sini hingga malam?”

Kupandang dia yang juga sedang memandangku. Selalu begitu, aku sangat hapal sifatnya yang ini. “Nissa, jangan bilang kamu mau menerobos hujan…” aku melotot.

Dia tersenyum, “Itulah yang akan kita lakukan…”

Lalu tanpa sempat kucegah, dia sudah bergerak mendahuluiku. Anissa berlari dalam hujan sambil merentangkan kedua tangannya, dia tertawa-tawa. Gadis itu sangat menikmati apa yang dilakukannya. Gigiku bergemeletukan karena geram, aku selalu kesal bila dia berhujan-hujanan seperti sekarang. Dapat dipastikan kalau besok –mungkin juga lusa- aku akan kesepian di kelas karena dia tidak masuk. Anissa pasti akan demam. Aku ingat itu pernah terjadi beberapa kali, dia izin tidak ke sekolah karena sakit setelah kehujanan sehari sebelumnya. Itulah alasan mengapa aku kesal dengan tingkahnya ini, aku tidak bersemangat melewati hariku di kelas bila dia tak ada.

“Jun, ayo… nanti kita kehabisan angkot!” Di gerbang sekolah, dia berhenti untuk berteriak memanggilku sambil melambaikan tangannya.

Sial. Aku tahu kami tidak mungkin kehabisan angkot, dia juga tidak serius dengan ucapannya. Buku pelajaranku akan basah, jam tangan murahanku akan rusak, itu pasti. Aku merutuk dalam hati ketika berlari kencang menerjang kerapatan hujan menuju tempatnya berdiri menungguku. Anissa semakin keras tertawa. Seluruh pakaianku sudah kuyup begitu tiba di naungan gerbang sekolah, dia juga sama basahnya, malah lebih parah. Anissa sengaja membiarkan dirinya lebih lama diguyur hujan dengan tidak berlari kencang ketika menuju kemari.

“Seru kan? Aku selalu ingin melakukannya tiap kali hujan turun.”

Aku melihat bibirnya agak bergetar, dia tahu dirinya akan kedinginan tapi malah nekat melawan hujan. “Kamu menyakiti dirimu sendiri...” gumamku, rasanya aku ingin memeluknya ke dadaku.

“Ayo!” dia menyambar tanganku, lagi-lagi aku tak bisa mencegah.

Menit-menit berikutnya ketika kami bergerak bersama di bawah guyuran hujan, aku benar-benar lupa kalau beberapa saat lalu sempat tidak setuju dengan idenya ini. Tertawa-tawa, kami berlari berpegangan tangan menuju hentian angkot yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi sekolah. Selama itu, Anissa tidak melepaskan genggamannya di tanganku, jemari kami tetap bertaut hingga tiba di halte. Di sana, tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang menatap keheranan pada kami, Anissa memeluk lenganku. Sisa waktu hingga ketibaan angkot kuhabiskan dengan memandang tanganku yang dipeluknya.

Anissa, aku cinta kamu.

*

Jendelaku basah diterpa tempias, hujan juga baru saja mencurah di sini. Aku masih berada di kursiku, masih memandang pada layarku. Sekarang aku mengingat komunikasi kami selama hampir lima tahun terakhir ini, e-mail. Kami berhubungan lewat tulisan.

‘Terlalu tinggi harga yang harus kubayar untuk mendengar suaramu, Jun. Begitu juga halnya dengan suaraku.’

Dia pernah menulis begitu di salah satu suratnya.

‘Aku masih secantik dulu...’

Kalimat itu juga selalu diutarakannya tiap kali aku mengajaknya menggunakan webcam. Anissa tidak pernah meberiku foto yang baru, dan aku terlalu sungkan untuk meminta. Maka aku hanya bisa menduga seperti apa kecantikannya sekarang lewat surat, menyentuhnya lewat surat dan mendengar suaranya lewat surat. Terakhir kali aku melihat utuh sosoknya adalah saat melepasku di bandar udara Soekarno-Hatta. Aku sudah tak menjenguk tanah airku sejak hari itu.

Kubaca lagi deretan kalimat dalam suratnya ini, entah sudah yang keberapa kali. Dan mataku akan terpaku lama pada kalimat-kalimat yang telah meremuk-redamkan hatiku.

‘Jun, aku tahu kamu tak mungkin pulang, menyesal sekali kamu tak bisa melihatku dalam penampilanku yang paling cantik. Di hari pernikahanku nanti, warnaku akan lebih cantik dari warna sayap kupu-kupu…’

Kupu-kupu. Dadaku sesak. Ya, pasti aku akan menyesal, Anissa. Aku sangat menyesal mengapa tak jadi meneriakkan perasaanku padamu sore itu…

*

Aku tahu idenya kali ini gila. Menjaring kupu-kupu. Oh, ayolah Anissa, kita bukan bocah SD lagi.

“Kamu yakin bisa menjaring mereka dengan itu?” Dia menunjuk pada benda yang kubawa, cabang kering dengan kantong kresek besar yang aku ikatkan pada salah satu ujungnya.

Aku sadar, dia sudah memandangku dengan kening berkerut sejak aku melintasi taman menuju tempatnya menunggu, lebih tepatnya memandang ‘jaring’ yang kubawa. Aku memberinya cengiran, “Salahmu, ngajaknya mendadak, jadi ini yang terbaik yang bisa kubuat. Bisa kita mulai?”

Dia menunjuk pada perdu bunga aneka jenis dan warna yang tumbuh subur di satu sisi taman. “Di sana hutannya…”

Aku tertawa, “Mari berburu!”

“Aku mau yang sayapnya paling indah dan paling lebar. Usahakan menjaring yang seperti itu, ya!” perintahnya di sampingku.

“Mereka semua punya sayap yang indah, Anissa,” jawabku.

“Pasti ada yang paling indah.”

Aku mengangkat bahuku, “Kita lihat saja.”

Kami menghabiskan sore dengan berlarian kesana kemari mengejar puluhan bahkan mungkin ratusan kupu-kupu, yang sepertinya lebih lincah dan gesit ketimbang aku dan Anissa. Kami mengejar kesana kemari dengan jaring kami hingga kelelahan. Alat yang kubuat benar-benar payah, Setiap kali kuayunkan untuk menjerat, kreseknya sudah lebih dulu menutup sebelum berhasil mencapai sasaran. Tak satupun makhluk bersayap indah itu yang berhasil masuk ke sana. Anissa berkali-kali menumpahkan kekesalannya dengan memukul bahuku yang kuterima dengan suka cita. Tiap kali kupu-kupu incaran kami berhasil lolos dari kepungan maka tiap kali itu pula dia akan memukulku.

“Salahmu, bikin jaringnya gak benar.” Kelelahan, dia mengelesoh di rumput.

“Ini bukan hari keberuntungan kita.” Aku ikut duduk bersamanya.

“Dengan jaring tak jelas begitu, jelas ini bukan hari baik kita,” dia kembali mengejek benda buatanku.

“Ya ya ya… aku akan membuat yang lebih baik lagi lain kali.”

Dia mengangkat bahu, “Ya Tuhan, melelahkan sekali.”

Dadaku berdebar menerima kepalanya di bahuku, dia bersandar padaku sambil memejamkan matanya. Aku berdoa untuk sore yang tak segera bertemu malam, aku ingin lebih lama lagi menjadi sandarannya. Tapi waktu tak bisa diakali, gelap datang tepat pada masanya. Aku kecewa ketika dia mengangkat kepalanya dari bahuku.

“Ayo pulang!” dia segera berlari kecil menuju jalan.

Aku bangun dari rumput lalu ikut berlari kecil menyusul di belakangnya, ingin saja aku meneriakkan, Anissa, aku cinta kamu!

*

Hujan kian keras menerpa jendelaku. Tak ada bintang malam ini di langit Sidney, awan gelap menutupinya. Aku bisa melihat pekatnya langit lewat jendelaku yang tak bertirai. Jika tidak sedang hujan atau saat langit cerah, aku sering duduk di dekat jendela itu sambil melihat bintang-bintang. Letak kamarku di lantai sebelas flat mahasiswa ini membuatku bisa jelas memandang langit, memandang bintangnya.

‘Masih suka menghitung bintang?’

Dalam satu surat, dia pernah menanyakanku akan hal yang sangat kusyukuri karena pernah kulalui satu kali dengannya dulu. Ya, tentu saja aku masih suka menghitung bintang, karena di saat menghitungnya aku bisa menghayalkan dia berbaring di sampingku sambil menunjuk langit.

Tetapi sekarang aku bertanya pada diriku, sanggupkah aku menghitung bintang lagi setelah ini? Pantaskah aku masih menghayalkan menghitung bintang bersamanya yang tidak lagi dalam jangkauanku? Aku akan jadi pendosa bila melakukan itu, tak lama lagi dia akan berstatus sebagai istri orang. Aku tak patut lagi menghayalkannya. Berdosakah aku bila mengingatnya untuk kali terakhir ini?

*

“Sudah berapa yang kamu dapatkan?” dia memalingkan wajahnya padaku. Malam ini kami berada di taman yang sama tempat kami pernah dipermainkan kupu-kupu beberapa minggu lalu.

“Seratus tujuh puluh tujuh.” Jawabku jujur, aku memang sudah menghitung sebanyak itu. Tanganku masih menunjuk-nunjuk di udara sampai kudengar dia terbahak.

“Kamu sungguh-sungguh menghitungnya?”

Aku mengangguk, “Kamu tidak?” keningku berkerut.

“Ya Tuhan, Jun. Kamu terlalu serius, aku tidak benar-benar mengajakmu menghitung bintang.” Dia terus tertawa. “Dan kamu sudah menghitung sebanyak itu? Bagaimana kamu melakukannya? Mataku selalu tak fokus tiap kali aku berkedip, jadi aku tak mau repot-repot menghitungnya. Aneh, bagaimana matamu bisa menandai bintang yang sudah kamu hitung dengan yang belum masuk hitungan sedang mereka sama berkilaunya?” dia kembali tertawa.

Kamu juga sama berkilaunya seperti mereka.

Aku segera menurunkan tanganku, hatiku penuh tiap kali mendengarnya tertawa seperti ini. “Sayang sekali, padahal menghitung bintang itu pekerjaan yang mengasyikkan,” ujarku setelah tawanya mereda.

Dia memandangku, “Bagaimana kamu melakukannya?”

Aku tersenyum, lalu beringsut lebih dekat dengannya. “Tidak susah, kamu hanya perlu terus menghitung dalam hati sambil menunjuknya…”

“Bagaimana kita bisa yakin kalau kita tidak menunjuk bintang yang sama yang sudah kita hitung sebelumnya?”

“Maka jangan menunjuk bintang yang sama.”

“Bagaimana kita bisa yakin?” pertanyaannya masih bernada sama.

Aku meraih tangannya, memegang jarinya lalu mulai mengarahkan telunjuknya menunjuk langit. “Tunjuk dan hitung, begitu saja. Kamu bisa berkedip sesering yang kamu mau tapi tanganmu harus terus menunjuk dan hatimu tak boleh berhenti menghitung.”

“Bagaimana kita yakin tidak menghitung bintang yang sama?” dia kembali mengulang pertanyaannya, entah sudah berapa kali, tangannya masih dalam genggamanku.

“Hanya yakin saja…” jawabku.

Dia tersenyum kini. Kulepaskan genggamanku pada jarinya, Anissa menghitung, sesekali matanya berkedip namun tangannya terus menunjuk. Aku menatap sisi wajahnya selama dia melakukan itu, ingin rasanya kudekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik, Anissa, aku cinta kamu…

*

Sepertinya aku menangis.

Aku mengerjap, ada basah jernih yang merembes dari kedua mataku, mengalir di wajah untuk selanjutnya luruh jatuh ke pangkuan. Ya, aku menangis, Dengan mata mengabut, kualihkan pandanganku pada bingkai kecil yang memuat aku dan dia, bingkai kecil yang tak pernah berpindah letaknya dari dulu, tetap di posisi paling atas mejaku, posisi yang mudah dan bisa langsung kulihat. Di sana, aku dan dia tersenyum berlatarkan laut biru dan langit bersih Pulau Dewata. Kujangkau bingkai itu dan kugenggam dengan kedua tanganku.

‘Kalian berdua benar-benar pas, mengapa tidak pacaran saja?’

Masih kuingat seorang kawan yang memotret kami berkata demikian, aku tersipu tika itu sementara Anissa tertawa sambil menahan rambutnya dari tiupan angin Pantai Kuta.

Kususurkan jariku di atas kaca, bergerak perlahan di wajahnya yang tersenyum lepas dalam rangkulanku. Mataku kian basah, kalung hati yang kuberikan sebagai hadiah hari jadinya yang ke tujuh belas menggantung indah di lehernya. Kelasku berlibur ke Kuta Bali seminggu setelah aku memberinya kalung itu, juga tepat seminggu sebelum kami benar-benar menamatkan sekolah menengah. Aku mengenang bagaimana suka citanya diriku saat memasukkan bingkai ini ke koperku hampir lima tahun lalu. Kupilih foto ini karena kalung hati di lehernya. Tuhan, bodohnya aku yang berfikir kalau dia adalah milikku hanya karena dia selalu memakai kalung itu sejak kuberikan. Bodohnya aku hingga merasa tak perlu mengungkapkan rasa.

Aku mendongak, mencoba membendung air mataku sekaligus membebaskan napasku. Melepaskan cinta yang sudah menjadi milik kita adalah berat, tetapi melepaskan cinta yang kita fikir bahwa kita memilikinya, padahal tidak sama sekali… itu perih.

Kembali kutatap bingkai yang masih erat di tanganku. Kuperhatikan sosok kami lebih lekat. Mulai dari buih yang memutih di kaki kami, celanaku yang basah dan kain tipis bergambar bunga-bunga miliknya yang ditiup angin, lenganku di pinggangnya dan kedua lengannya yang mengganyut di bahuku, pada kalung hati itu, lalu pada senyum lepas di wajah kami berdua. Hamparan laut biru dan langit bersih di belakang kami yang selama ini kuyakini sebagai saksi kebahagiaanku, sekarang seperti mengejekku. Mengejek seorang pecundang. Aku ingin kembali ke sana, meneriakkan pada laut biru dan langit bersih di atasnya jika aku adalah pecundang. Aku memang pecundang. Buih putih itu sekarang seperti menertawakanku.

‘Sudah tiga tahun sejak aku mendapatkannya, aku masih menyukai kalung hatimu, Jun. Jika kamu di sini, kado apa yang hendak kau berikan di hari jadiku yang ke-20 ini?’

Air mataku merembes lagi, kalimat penutup dalam suratnya yang aku terima tepat di malam usianya genap dua puluh tahun kembali melintas di kepalaku. Seharusnya aku tidak membalas surat itu dengan gurauan tak penting. Seharusnya aku menulis bahwa aku akan memberikan hatiku, seharusnya aku menuliskan kalimat yang sudah berada di ujung lidahku malam itu.

‘Aku masih menyukai kalung hatimu, Jun…’

Apakah aku salah telah meresponnya tak serius dalam surat balasanku? Dia masih menyukai kalung hatiku. Ya Tuhan, tidakkah kalimatnya menyiratkan bahwa dia masih menantiku hingga hari dia menuliskan suratnya itu? Aku buta, dan dungu. Seharusnya aku menyadarinya dan membalas suratnya dengan satu kalimat serius : aku akan memberimu kalung hati baru yang di dalamnya tertulis nama kita berdua. Kini sudah terlewat.

Kutatap lagi kalung hati itu, seharusnya dulu aku tak perlu ragu berucap ketika meletakkan kadoku dalam tangannya…

*

Aku tak berkedip memandangnya yang tampak berbeda dalam balutan gaun putih itu, dia lebih cantik dari yang biasa kulihat. Malam ini dia merayakan hari jadinya yang ke tujuh belas. Pesta sederhana, dia bukan puteri konglongmerat yang kebanyakan selalu berpesta pora tiap kali merayakan hari penting mereka. Anissa tidak seperti itu, orang tuanya bukan pengusaha atau bos besar, ayahnya hanya seorang pegawai kantor pos sementara ibunya mengajar di sebuah sekolah dasar. Hidupnya bersahaja, hal lain yang aku kagumi darinya.

Di depan kue tart tak begitu besar dimana lilin angka tujuh belas bertengger di atasnya, dia berdiri dengan senyum yang tak putus, ayah dan ibunya mengapit di kiri dan kanannya. Orang-orang di sekelilingnya memberi selamat, mendoakan umur dan kesejahteraannya dalam koor yang menggemuruh. Anissa memanjatkan doanya sebelum memadamkan lilin, aku berharap dia menyebut sekali saja namaku dalam doanya itu. Lalu, penuh sayang dia memeluk dan mencium ayah dan ibunya, kemudian teman-temannya.

Kutatap kotak kecil di tanganku, kado hari jadi untuknya yang kupersiapkan dengan perasaan suka cita. Aku berjalan menujunya, tiap langkah yang kubuat kian menambah debar dadaku. Semua rencana yang telah kufikirkan, deretan kalimat yang sudah kulatih sejak dari rumah mendadak buyar seiring langkahku yang makin hampir. Aku disaput ragu, tidak hanya ragu, aku takut. Dia tersenyum ketika aku sudah berdiri tegak di depannya, terpisah satu langkah saja.

“Selamat ulang tuhan, Nissa… semoga panjang umur…” Ucapan selamat yang sangat biasa. Bukan kalimat yang kupersiapkan.

Dia mengangguk, kembali tersenyum saat aku meletakkan kotakku di tangannya. “Trims, Jun… aku pasti akan menyukainya.”

Bibirku bergerak-gerak, rasanya kalimat itu sudah di ujung lidah, siap melesat keluar. Anissa diam menatapku, menunggu. Dia seakan tahu bahwa masih ada kalimatku yang belum tersampaikan.

“Jun…” aku diam terlalu lama. “Kamu baik-baik saja?” Anissa menatapku dengan alis bertaut.

“Yah, aku baik-baik.” Kuseka pelipisku yang mendadak berkeringat, “Maaf, sepertinya aku harus ke toilet.”

Aku memisahkan diri dari kerumunan di sekitar kue tart, bukan ke toilet, tapi menepi ke sudut ruang. Dari sini mataku mengikuti setiap geraknya. Sesaat tadi, aku hampir yakin bisa mengutarakannya, tapi ternyata tidak.

Kuteguk minumku, mataku masih mengawasinya. “Anissa, aku mencintaimu…” bisikku yang hanya bisa kudengar sendiri.

*

Petir menyambar, kilatannya tampak jelas di jendela. Aku masih memegang bingkai ini. Kupandangi jam di dinding, sudah jauh melewati tengah malam. Aku menyeka mataku, semuanya berakhir saat ini. Waktu telah mengelabuiku, merabunkan mata dan hatiku. Ya, aku telah ditipu oleh waktu. Betapa saat-saat yang kulalui bersamanya dulu begitu meyakinkan, dan lihatlah kini, waktu telah mematahkan keyakinanku dengan fakta yang begitu meyakinkan pula. ‘Kami akan melangsungkan pernikahan minggu depan...’ kalimat itu begitu pasti, begitu meyakinkan, sekaligus menyakitkan. Waktu telah mempermainkanku.

Aku mengerjap beberapa kali untuk mencegah mataku berkabut lagi. Kuhirup udara dalam-dalam, berusaha bernapas dengan hidung yang seakan disumbati gabus. Aku membuka laci paling bawah di sebelah kiri mejaku, kutatap sesaat pada benda yang menjadi satu-satunya isi laci paling bawah itu. Buku tebal bersampul hitam, catatanku, diary-ku yang tiap lembarnya hanya memuat satu nama saja, Anissa. Semua cerita tentangnya tertulis di sini, segala rasa yang kupunya sejak pertama kali perhatianku tersita oleh sosoknya di tahun pertama sekolah menengah hingga perasanku selama jauh darinya terjabarkan dalam buku ini. Mulai besok, aku tak akan lagi menulis apapun tentang Anissa di dalamnya, kisahnya bukan lagi milikku.

Kukeluarkan diary itu dari ruang yang sudah dihuninya hampir lima tahun ini. Aku menyatukannya bersama bingkai yang juga sudah hampir lima tahun tak pernah berpindah dari mejaku. Kutatap kedua benda itu dengan perasaan kosong. Kemudian aku berjalan menuju jendela. Hujan langsung menerpa wajahku begitu kacanya kugeser.

Maafkan pecundang ini, Anissa…

Kembali kutatap kedua benda di tanganku. Ketika petir sekali lagi berkiblat terang dan angin dingin menerpa wajahku, dengan hati perih, aku melempar kedua Anissa di tanganku pada hujan di luar sana.

*

Dearest Anissa…

Aku sering menghayalkan diriku duduk di kursi taman di hari tuaku nanti. Saat itu pasti rambutku telah berubah jadi kapas. Aku membayangkan istriku akan duduk bersama sambil menyandarkan kepalanya di bahuku. Sementara cucu-cucu kecil kami berlarian memutari kakek dan nenek mereka, maka aku akan mengajak istriku mengenang masa-masa indah ketika kami muda dulu. Aku akan mengingatkannya saat kami berlarian dalam hujan, ketika kami dibodohi puluhan kupu-kupu di taman, ketika kami menatap bintang di langit yang jumlahnya tak terhitung, pun ketika kaki-kaki kami digelitiki buih pantai. Pasti akan ada beberapa detil yang hilang, aku tentu tak dapat mengingat semuanya, usia membuat manusia tak mampu mengingat baik. Aku juga tentu sudah pikun saat itu, istriku pun pasti sama pikunnya denganku. Meski begitu, aku yakin tak akan lupa betapa dulu aku mencintainya. Akan kukatakan itu berulang-ulang padanya hingga dia bosan dan menyuruhku berhenti bercerita, tapi aku tak akan berhenti bercerita.

Itu adalah potret hari tua yang masih kuhayalkan hingga kemarin.

Kini aku sadar, hayalan itu terlalu indah untuk terwujud, bahkan mustahil. Bukan karena aku akan melupakan kisahku ketika tua nanti sebab menjadi pikun, tapi karena aku tidak akan memiliki istri seperti itu. Aku tidak akan memiliki istri seorang gadis dimana kenangan-kenangan yang ingin kuceritakan itu pernah kami lalui. Istriku bukan gadis yang pernah bersamaku saat hujan, bukan gadis yang pernah bersamaku saat mengejar kupu-kupu, bukan gadis yang pernah bersamaku saat menghitung bintang, juga bukan gadis yang kupeluk di pantai. Gadis itu tidak ditakdirkan untukku. Dia jodoh orang lain. Kamu akan jadi istri laki-laki lain.

Ya, kamu, Anissa…

Istri yang kuhayalkan duduk bersandar di bahuku di kursi taman ketika aku tua nanti itu adalah kamu.

Ingatkah dirimu pada saat-saat itu, Anissa? Aku tak pernah melupakannya. Tak pernah sekalipun hingga aku menulis ini.

Aku berharap diberi kuasa untuk memutar waktu, sekali saja aku ingin mengembalikan kita ke malam itu lagi. Dengan kado di tangan, aku akan berjalan menujumu di depan lilin tujuh belas-mu dan meneriakkan kalimat yang mewakilkan seluruh rasa yang kupendam terhadapmu, kalimat yang seharusnya sudah kuucapkan ketika kita menghabiskan banyak waktu manis berdua. Aku tak akan terlambat andai berani mengambil kesempatan terakhirku di Kuta, tapi aku terlalu bodoh…

Apakah aku menyesalinya? Ya, aku menyesalinya.  Menyesali diriku sendiri yang tak mampu menyuarakan isi hati. Walau kini kutuliskan, aku sadar tak akan merubah masa depanku, terlebih lagi masa depanmu. Laki-laki itu tetap menjadi masa depan bagimu.

Anissa, untukmu… aku turut berbahagia. Semoga kejujuran terlambat ini tidak mengusik bahagiamu yang akan menjelang bersama lelaki terpilih itu.

Dariku, yang terakhir
Jun

Aku laki-laki yang kalah.

Sunyi mulai mendekapku setelah kuselesaikan baris-baris itu. Serta- merta cahaya yang selama ini berpijar terang di hatiku padam bagai dilanda gerhana, tak ada yang tersisa selain gelap dan dingin.

Anissa, ini terakhir kalinya aku menuliskan kata-kataku untukmu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar