Sabtu, 09 September 2017

Lonely Man

lonely man
rasanya saat ini aku satu-satunya tamu yang datang tanpa pasangan

Untuk ke sekian kalinya, aku kembali menatap mereka, pasangan yang berbahagia. Si pria tampak gagah dalam balutan jas warna gading, celana bagus berwarna serupa berikut dasi kupu-kupu hitam mengkilap yang menyeruak di antara kerah kemejanya yang terkancing sempurna. Si wanita, hari ini menjadi wanita paling cantik dengan pakaian berendanya yang sebagian besar terhampar di lantai. Mereka, mempelai yang dipersatukan cinta dan sebentar lagi akan diikat oleh janji suci pernikahan.

Aku tak menyimak satu pun kata yang diucapkan sang juru nikah. Aku sudah terlalu sering mendengarnya. Ini bukan pertama kalinya aku hadir di pernikahan orang yang kukenal, ini adalah yang kesekian kalinya, aku bahkan sudah bisa menghapal kalimat-kalimat itu. Aku hanya memerhatikan kedua mempelai yang berpegangan tangan, menatap penuh damba, dan akan berciuman setelah mereka diikrarkan sebagai suami-istri. Selalu, aku merasa iri. 

“Sayang, aku ingin terlihat seperti mempelai wanita itu di pernikahan kita nanti .…” Seorang gadis yang duduk pada barisan kursi di depanku berujar pada lelaki di kirinya.

“Kau pasti akan lebih cantik darinya,” balas si lelaki sambil menyampirkan lengan kanannya merangkul pundak si gadis, kekasihnya.

“Aku jadi ingat pernikahan kita tahun lalu .…” seorang pria yang duduk di sampingku berbisik sambil mengecup punggung tangan wanita di sampingnya, istrinya. Si istri tersenyum, merangkul lengan lalu meletakkan kepala di bahu suaminya itu.

Aku tak kenal pasangan kekasih di depanku, yang berniat menikah suatu saat nanti. Juga tak pernah melihat pasangan suami-istri yang sudah menikah tahun lalu di sampingku ini.  Mereka bisa saja kerabat atau kenalan dari mempelai pria, sepertiku. Bisa juga kerabat atau kenalan mempelai wanitanya. Namun melihat pasangan-pasangan ini yang begitu intim dan mesra membuatku iri pada mereka. Entahlah, rasanya saat ini aku satu-satunya tamu yang datang tanpa pasangan. Tidak seperti pria yang lengannya sedang dipeluk istrinya. Tidak seperti lelaki yang sedang merengkuh pundak kekasihnya. Aku sendirian.

Aku ingin merasakan cinta seperti pasangan suami istri di sampingku. Hidup serumah. Bertemu tiap hari. Menghabiskan sore dengan duduk bersama di beranda, sambil ditemani poci teh dan cangkir mengepul. Aku ingin makan malam di satu meja. Berbicara setiap saat tanpa bosan, dan juga bercinta. Suami istri yang saling melengkapi. Saling menjaga dan saling menguatkan seperti yang pernah kulalui suatu masa dulu bersama istriku. 

‘Menikahlah. Aku tidak ingin kau kesepian setelah kepergianku. Temukan seseorang yang tepat untukmu. Jatuh cintalah lagi. Aku khawatir kau akan kesepian setelah aku pergi. Kumohon, jatuh cintalah lagi ….’ 

Penyakit jahanam itu merenggutnya dariku. Membawa pergi seorang istri dari sisi suaminya. Gambaran sosoknya yang rapuh ketika berucap menyuruhku menikah setelah ketiadaannya masih jelas tergambar. Sejelas siang hari. Dia mencemaskan kesendirianku. Kenyataannya, hingga bertahun setelah kepergiannya, aku tidak membawa seorang wanita pun ke rumah untuk menempati bagian ranjang yang pernah menjadi kepunyaannya. Wanita yang akan mengambil alih peralatan dapurnya dan juga pot-pot geranium-nya di halaman belakang. Aku tak pernah bisa jatuh cinta lagi seperti yang diingininya. Hingga kini, ketika warna kelabu mulai menyelip di antara helai hitam rambutku, aku masih berada dalam kesendirian yang dicemaskannya.

‘Jatuh cintalah lagi.’

Kepergiannya seakan ikut membawa pergi cintaku hingga tak bersisa. Meski aku kerap merasa sangat ingin kembali jatuh dan mencinta, tapi tak ada cinta yang bisa kuberikan untuk wanita manapun. Ibarat seorang miskin berjiwa dermawan yang melihat peminta-minta. Dia sangat ingin menjatuhkan satu atau dua keping logam dalam kaleng si peminta-minta, tapi dia tak punya logam untuk didermakan. Begitulah aku, sangat ingin jatuh cinta lagi tetapi tak punya cinta untuk kuberikan. Akhirnya, aku hanya bisa menatap iri pasangan-pasangan yang saling melempar senyum di jamuan-jamuan makan malam yang kuhadiri. Ppasangan-pasangan yang saling berpegangan tangan di lantai-lantai dansa. Pasangan-pasangan yang berdiskusi tentang daftar belanjaan mereka di pusat-pusat perbelanjaan. Pun seperti sekarang, aku mendapati diriku sedang menatap iri pada pasangan-pasangan yang sedang menikmati jamuan makan mereka di hall megah ini sambil bercengkerama bahagia. 

Setelah selesai mengucap janji di depan altar beberapa saat lalu, pesta pernikahan berlanjut ke ruang hingar-bingar ini, ruang maha luas yang dipenuhi meja-meja besar di mana menu-menu mahal berjejer di atasnya. Di tengah ruangan, pengantin baru tampak saling merengkuh mesra sambil membalas sapaan dan ucapan selamat yang ditujukan buat mereka. 

Aku berusaha menikmati pesta ini sebisaku. Seperti kebanyakan pesta pernikahan yang pernah kuhadiri setelah kepergian istriku. Aku berdiri di sudut agak sepi dengan satu seloki anggur di tangan kanan, sementara tangan kiri berada dalam saku celana. Cara pria tak beristri menikmati pesta pernikahan. 

“Yang mana kenalan Anda, mempelai pria atau mempelai wanita?”
  
Aku menoleh pada sosok yang menegurku. Dia adalah lelaki yang tadi duduk di kursi di depanku sambil merangkul pundak kekasihnya. Lelaki muda yang berencana untuk menikah. Jika tadi aku hanya bisa melihat sisi wajah dan bahunya saja, kini aku bisa melihat tampilan keseluruhannya. Eksekutif muda.

“Mempelai prianya, kami sekantor.”

Dia mengangguk. “Saya kerabatnya, kami sepupu jauh,” beritahunya tanpa kuminta. Lalu dia seperti mencari-cari, “Anda datang sendirian? Di mana istri Anda?” Dia bertanya sambil menunjuk pada tanganku yang memegang seloki. Sepertinya lelaki muda ini menemukan cincin kawinku. 

Selama aku hadir seorang diri ke pernikahan-pernikahan orang yang kukenal, baru kali ini ada yang tertarik dengan cincinku, Baru kali ini ada orang yang bertanyakan istriku. “Dia meninggal tujuh tahun lalu," jawabku. 

Lelaki muda itu tampak menyesal, “Maaf .…” 

“Bukan salahmu.” Aku meneguk isi selokiku. 

“Pasti dia wanita yang hebat.” 

Aku tersenyum. “Dia wanita pertama yang membuatku jatuh cinta. Dan hingga sekarang tetap menjadi satu-satunya. Tak ada yang bisa membuatku jatuh cinta lagi meski keinginan untuk itu sering datang .…” 

Si Lelaki Muda menatapku. “Saya ingin menjadi seperti Anda. Mencintai satu wanita saja seumur hidup.” 

Aku menggeleng. “Sebenarnya, aku ingin jatuh cinta pada wanita lain, ingin mencintai seseorang seperti aku mencintainya dulu. Namun itu hanya akan jadi keinginan saja. Aku bagai tak punya cinta lagi.” 

“Sayang…!” seseorang berseru. 

“Oh, hai … kau mendapatkannya?”

Lelaki muda yang baru saja menjadi lawan bicaraku menyongsong kekasihnya yang bergerak cepat ke arah kami dengan buket bunga di tangan. Gadis itu akan segera jadi pengantin. Mereka berpelukan sambil tertawa. Aku tersenyum memandang mereka. Diawali jatuh cinta, tak lama lagi mereka akan menikah lalu hidup berumah tangga.

Ah, aku ingin jatuh cinta, menikah dan berumah tangga, sekali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar