Jumat, 22 September 2017

Ranto


sunset
Apakah aku akan rindu Ranti setelah ini?


Pasta giginya habis. Tube itu benar-benar kosong. Ranto merutuk dalam hati. Bagaimana dia bisa lupa kalau pasta giginya kosong? Menahan dongkol, Ranto mengguyur air ke kepala, memulai aktivitas mandi sorenya. Hari ini dia melewatkan prosesi menyikat gigi.

Ranto meninggalkan kamar mandi yang berada di salah satu sudut di dalam kamar kos-nya dengan berlilitkan handuk lima menit kemudian. Dia menghabiskan beberapa menit untuk mengubek-ubek isi lemarinya, mencari baju yang sedikit rapi. Begitulah nasibnya jika kau jadi anak kos. Kau akan lupa kalau odolmu habis, kau akan sulit mendapatkan baju yang terlipat rapi dalam lemari pakaianmu, dan…

“Ran, barusan setrikaan kita dipinjam Firdaus lagi. Punya dia masih di tempat reparasi tuh katanya.” Azhar, kawan sekamar Ranto berkata di sela-sela kegiatannya di depan komputer. Dia sepertinya sedang mengerjakan tugas kuliah.

Ya, begitulah. Jadi anak kos juga berarti bahwa barang-barangmu adalah milik orang lain yang satu gedung kos denganmu. Tadi Azhar menyebut ‘kita’ padahal jelas-jelas setrikaan itu milik Ranto pribadi, yang dibekalkan ibunya ketika berangkat dari rumah untuk hidup mandiri sebagai anak kos.

Ranto mendengus kesal, dia mengibas-ngibaskan satu kaus yang ditariknya dari dalam lemari. Kaus itu yang paling rapi di antara tumpukan bajunya meski dengan kerut di beberapa bagian. Dia tak punya cukup waktu untuk mengambil setrika ke kamar anak bernama Firdaus itu, apalagi untuk menyetrika. Waktunya sempit. Dia harus segera berangkat menuju Taman Riyadhah untuk bertemu Ranti, pacarnya hampir setahun ini.

Dia dan Ranti sudah pacaran selama sebelas bulan tujuh belas hari, Ranto ingat betul tanggal mereka jadian. Dia masih menyimpan kalender tahun lalu di antara tumpukan modul kuliah di meja belajarnya. Di dalam kalender itu, dia membulatkan satu tanggal pada satu bulan, dimana pada tanggal itu kata cinta pada Ranti disuarakannya. Ranto bahkan menarik tanda panah dari tanggal tersebut dan menuliskan ‘Ranto love Ranti’ di ujung garis.

Tadi siang Ranti meneleponnya, mengajak bertemu di Taman Riyadhah tepat jam lima sore. Ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu padanya. Jika saja Ranti tidak menelepon mengajak bertemu, maka dialah yang akan menelepon gadis itu. Ada satu hal juga yang ingin diberitahukannya kepada Ranti. Satu hal semisal, aku tidak lagi mencintaimu, Ran. Tepat sekali, hari ini, Ranto akan mengucap kata putus pada Ranti. Dia sudah tak lagi memiliki perasaan cinta kepada gadis itu.

Mereka janji bertemu jam lima sore. Ranto melihat jam di dinding kamar, pukul empat lewat tiga lima. Untuk menempuh jarak dari kosnya ke Taman Riyadhah dia butuh waktu sepuluh menit menggunakan motor. Artinya, dia punya waktu lima belas menit untuk bersiap-siap. Dia harus sudah berangkat pukul empat lewat lima puluh agar tiba tepat pukul lima di taman Riyadhah.

Ranto belum pernah terlambat sejauh ini, dan dia sudah bertekad tak akan terlambat juga di hari terakhir dirinya menyandang status sebagai pacar Ranti. Lima belas menit lagi, dia harus sudah berkendara menuju ke sana.

Hubungan mereka sejauh ini berjalan baik-baik saja. Ranto sangat sadar segala kebaikan pada diri seorang Ranti, cinta pertamanya. Mereka tak pernah punya masalah, dan nyaris tak pernah bertengkar. Jika dulu diminta untuk mengurutkan hal-hal yang membuatnya jatuh cinta kepada gadis itu, Ranto sedikit pun tidak akan kesulitan. Dia akan membuat daftar panjang berisi segala detil tentang seorang Ranti yang membuat hatinya terpaut. Dia akan menulis dengan perasaan suka cita. Sekarang, jika diminta mengurutkan, Ranto memang masih ingat, tapi dia akan menulisnya dengan perasaan hambar, bukan lagi dengan perasaan suka cita seperti dulu. Bahkan tidak mustahil akan melewatkan beberapa detil itu.

Maafkan aku, Ranti. Aku tak bisa lagi jadi kekasihmu. Bukan karena kau tidak menarik lagi. Bukan karena hatiku yang berkhianat. Tapi karena tak ada rasa lagi yang tertinggal dalam diriku untukmu. Rasa itu habis sudah…

Ranto menarik celana jeans dari dalam lemari. Tak kalah kusut dengan kaus yang baru saja membungkus tubuh bagian atas pinggangnya. Ah, peduli setan, celana kusut atau rapi tidak akan berpengaruh apa-apa baginya hari ini. Dia segera memakai celana, melempar handuk ke atas tempat tidur lalu berdiri di depan cermin.

Ran, hari ini kita putus! Berhenti menganggap aku adalah kekasihmu!

Apakah kalimat singkat begitu cukup? Tidak, itu kalimat laki-laki tak berperasaan.

Ran, mulai saat ini kau sudah bisa melirik laki-laki lain. Cari yang kira-kira bisa menggantikanku di hatimu. Karena mulai saat ini aku berhenti jadi kekasihmu…

Begitu? Tidakkah itu terdengar kejam. Menyuruhnya melirik laki-laki lain, kalimat putus macam apa itu?

Ran, cerita kita telah usai…

Kenapa malah terdengar seperti lirik sebuah lagu? Bukan mustahil itu adalah judulnya.

Ranto menyeringai di depan cermin.

Ran, kita putus yuk!

Ya Tuhan, itu kedengaran seperti bercanda saja. Ranti pasti akan meresponnya dengan tawa terpingkal-pingkal hingga berair mata.

Ran, siap tidak siap, terima atau tidak. Pokoknya mulai hari ini hubungan kita harus di-loe-gue-end-kan!

Berlebihan sekali. Sama sekali bukan style seorang Ranto.

Dengan ini, aku nyatakan hubungan perkasihan kita tutup buku.

Gila.

Ran, kau adalah cinta pertama terbaik yang pernah kumiliki. Aku minta maaf, hari ini cinta pertama itu harus berakhir. Aku sudah tidak memiliki perasaan itu lagi. Mulai sekarang aku akan menyayangimu sebagai teman…

Begitu saja cukup.

Ranto merapikan diri, kembali terngiang percakapannya dengan Ranti siang tadi di telepon. Ranti bilang, dia akan membicarakan satu hal dengannya. Mengapa sangat kebetulan begini? Hal apakah yang akan dibicarakan Ranti? Apapun itu, yang jelas tidak akan lebih mengagetkan dari pada yang akan diutarakannya pada gadis itu.

Namun tak urung juga, Ranto bertanya-tanya gerangan hal apakah yang ingin dibicarakan Ranti dengannya di sana nanti. Dari nada bicara Ranti tadi, sepertinya itu adalah hal yang sangat serius. Tapi agenda menamatkan hubungan mereka yang akan dipeloporinya juga tak kalah serius. Siapa yang akan berbicara nanti? Dia lebih dulu atau pacar yang akan segera jadi mantannya dalam hitungan menit ke depan yang mengambil kesempatan bicara pertama. Tak penting siapa yang lebih dulu, yang jelas hari ini hubungan mereka akan berakhir, tamat, selesai, khatam.

“Ada janji sama Ranti, ya?” Azhar menegur.

“He eh.” Ranto meneruskan aktivitas merapikan diri di depan cermin tanpa menoleh pada teman sekamarnya itu.

“Kencan ke mana?”

“Bukan kencan,” jawabnya singkat, masih tanpa menoleh.

“Lalu?”

Ranto memalingkan mukanya melihat Azhar yang kini duduk menghadapnya di depan meja komputer mereka. “Aku akan memutuskan Ranti,” jawabnya datar lalu kembali menghadap cermin. “Itu agenda pertemuanku dengan Ranti sore ini…”

“HAH?!”

“Aku akan mengakhiri hubunganku dengan Ranti…” Ranto mengulang kalimatnya.

“Serius?” Azhar berseru tak percaya.

“Aku tidak akan bermain-main dengan hal semacam itu. Ya, aku sangat serius.” Ranto menjawab mantap, penuh keyakinan.

Azhar diam beberapa saat, menatap punggung Ranto yang masih berdri di depan cermin. “Kenapa? Kau sudah punya gebetan baru yang lebih cantik dari Ranti?”

“Tidak.”

“Atau Ranti selingkuh di belakangmu?”
“Entahlah. Tapi aku yakin Ranti tidak selingkuh, tidak satu kali pun.”

Azhar mengernyit, “Lalu kenapa?”

“Aku hanya sudah tak mencintai Ranti lagi, itu saja.”

“Sudah tak mencintai?”

“Ya, aku tak mau menjalani hubunganku bersama Ranti dengan berpura-pura kalau aku masih mencintainya. Aku tak mau membohongi Ranti lebih lama lagi. Dia berhak mendapatkan yang lainnya, bukan membuang-buang waktu dengan orang yang tak lagi punya perasaan padanya.”

Azhar terdiam. Dia menangkap kebenaran dalam kalimat temannya itu. Tidak mau memanipulasi perasaan, begitu maksudnya. Dia memandang bingkai di atas meja kecil di samping tempat tidur Ranto, “Pantas akhir-akhir ini kamu jarang natap foto itu lama-lama.”

Ranto melirik bingkai yang dimaksud Azhar. Di dalamnya, dia dan Ranti berdiri berpegangan tangan berlatar belakang biru laut UjĂ´ng Blang.

Lelaki ini menatap seluruh penjuru kamar kos-nya, kenangan bersama Ranti tidak hanya bingkai itu. Di sudut kamar dia menemukan beberapa benda. Gitar, dia bersama Ranti kerap menyanyi bersama. Beberapa pasang sepatu sport-nya, Ranti selalu mengawaninya ketika membeli sepatu-sepatu itu. Di atas meja belajar, dia juga menemukan Ranti-Ranti lain. Tumpukan novel, semua buku-buku itu adalah bacaan-bacaan yang juga sangat disukai Ranti. Dia kerap menghabiskan beberapa jam bersama Ranti di toko buku untuk memburu novel-novel bestseller, tema sci-fi khususnya. Di sana juga tersusun beberapa disc, semuanya adalah lagu-lagu kesukaan mereka berdua.

Ranto mendesah, “Aku akan memindahkan bingkai itu nanti.”

Teman sekamarnya terbahak. “Biar saja di situ. Ranti kan cantik. Biar bingkai itu jadi hiasan kamar. Siapa tahu besok-besok kamu rindu dia lagi, kan bisa natap tuh gambar,” godanya.

Apakah aku akan rindu Ranti setelah ini?

Ranto berhenti menyisir, mencerna pikirannya sendiri. “Mengapa aku harus rindu dia? Aku ingin memutuskannya karena aku sudah tak cinta. Bukankah itu otomatis juga akan menutup kemungkinan aku akan merindukannya?”

“Hei, jangan salah. Sedikit banyak, mantan pacar itu bisa ngangenin juga loh. Waktu SMA aku pernah mutusin cewekku. Saat itu aku yakin banget alasanku mengakhiri hubungan kami karena aku sudah tak cinta. Namun tahukah? Lewat satu bulan kemudian, aku dibantai perasaan kangen yang teramat sangat pada mantan cewekku itu,” Azhar memberitahu. “Sampai sekarang, sesekali aku masih ingat dia.”

Ranto menyeringai, dia selesai dengan rambut dan wajahnya. Sekarang berusaha menyamarkan kerut di kausnya dengan menggosok-gosok telapak tangannya di badan. Kerut itu tetap sejelas sebelumnya. “Wajarlah saat itu kamu kangen pacarmu itu. Usia sekolah menengah kita masih labil, masih plin-plan, belum mantap dengan keputusan yang dibuat.” Ranto membela diri.

“Bukan masalah usia. Ini tuh masalah perasaan… dan waktu. Lihat sekitar, mereka yang sudah dewasa juga sering kangen mantan pacar setelah beberapa bulan berlalu.”

Ranto mendecak, kesal dengan ucapan Azhar yang baginya terdengar menggurui, dan lebih kesal lagi karena kerut di bajunya sama sekali tak berkurang. “Baiklah, aku tak akan memindahkan foto itu. Kita coba sebulan, kalau ternyata aku tidak kangen, bingkainya kumusnahkan.”

Azhar terbahak kembali.

“Mungkin untuk saat ini, aku hanya akan menelungkupkannya saja.”

Azhar semakin keras terbahak.

Ranto menyerah dengan kausnya. Dia kembali membuka lemari, tangannya bergerak di antara gantungan jaket lalu mengeluarkan salah satu. Yang diambilnya adalah jaket kaus bertudung, warnanya abu-abu. Ranto menatap jaket di tangannya beberapa saat, Ranti memberikan jaket ini sebagai hadiah hari jadinya.

‘Kamu masih suka ngoleksi jaket, kan? Semoga kadoku ini bisa menambah koleksimu…’

Ranto terkenang saat Ranti memberinya jaket itu.

“Aku jadi kepikiran pacarmu itu, Ran. Bagaimana kalau dia masih begitu mencintaimu? Pasti nanti dia akan meraung-raung begitu mendengar kata putus darimu.”

Ranto mengabaikan ucapan temannya itu. Jaket di tangannya masih ditimang-timang. Tak ada salahnya membuat Ranti sedikit gembira di saat terakhir. Setidaknya, Ranti bisa tersenyum melihat jaket pemberiannya masih dipakai sebelum kemudian dia akan bersedih karena diputuskan. Ranto membuka zipper jaket itu dan mengenakannya. Kausnya yang kusut kini tersamarkan di balik jaket itu. Penampilannya juga jadi lebih rapi beberapa tingkat dari sebelumnya.

“Kau sudah punya kalimat yang baik? Betapun sudah tak cintanya dirimu pada Ranti, kau tetap harus menjaga perasaannya, kan?” Azhar kembali bersuara, “Jangan ucapkan kalimat yang bisa membuatnya hancur sehancur-hancurnya.”

“Seperti?”

“Seperti…” Azhar berdeham. “Ranti, makin ke sini kau makin jelek saja di mataku. Aku tak tahan lagi. Aku mau kita putus!”

Ranto berbalik memandang Azhar yang masih duduk menghadapnya. Layar Komputer di belakangnya sedang menampilkan screensaver, balok nama Azhar berputar-putar di layar. “Aku belum cukup gila untuk berkata demikian.”

“Itu kalimat yang aku katakan ketika memutuskan cewekku yang aku ceritakan tadi. Aku ingat dia langsung menangis setelah mendengar kalimatku,” kenang Azhar.

Ranto tak bisa menahan tawa. “Kau sungguh-sungguh berkata seperti itu?”

“Ya, itulah yang aku katakan. Sebulan setelahnya, ketika aku mulai merasa kangen dia, aku menyesal pernah berkata begitu padanya.” Azhar menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. “Maka aku sarankan padamu, Sobat. Pilihlah kalimat yang tepat pada saat kau ingin mengakhiri hubunganmu. Berpisah baik-baik itu sangat berpengaruh untuk menjaga hubungan kita dengan mantan pacar di masa mendatang. Berpisah baik-baik agar dapat menjalin hubungan baik pula pasca putus…” Azhar terdengar seperti sedang menasehati dirinya sendiri.

“Tentu, itulah yang akan aku lakukan. Aku ingin tetap bersahabat dengan Ranti. Walau bagaimanapun, Ranti pernah menjadi bagian terbaik dalam hidupku.”

Azhar mengangguk, “Jadi, kalimat macam apa yang akan kau katakan padanya nanti?”

“Yang jelas bukan kalimat yang tadi kau sebutkan. Aku tak mau dihajar Ranti dengan hak tingginya.”

Azhar terbahak, lagi. “Kalau aku jadi Ranti, meski kalimatmu sesejuk oasis di gurun pasir tapi intinya satu, minta putus… aku akan tetap menjejalkan hak tinggi ke mulutmu.”

Ranto hanya mengangkat bahunya untuk merespon kalimat Azhar. Dia bergerak ke meja kecil di samping tempat tidur, mengambil jam tangannya di dekat bingkai foto yang tadi sempat dibicarakannya. Ranto mengenakan jamnya, setelah itu menatap fotonya bersama Ranti. Sedetik kemudian, bingkai itu sukses ditelungkupkan.

“Ck… ck… ck… sadisnya.” Azhar berdecak di kursinya.

“Aku hanya tidak lagi mencintainya. Semakin cepat aku memutuskan hubungan kami, maka itu semakin baik. Ranti bisa segera bertemu dengan seseorang lain, tak perlu membuang waktu dan tenaganya untuk aku yang tak lagi mencintainya. Bukankah begitu?”

Azhar mengangguk-angguk. “Pemikiran bijaknya memang seperti itu sih. Tapi bagaimana bila Ranti lebih terluka dari yang bisa kau bayangkan. Bagaimana bila dia begitu kuat mencintaimu sehingga akan berlarut-larut sekian lama dalam luka yang kau sebabkan? Bagaimana bila dia menutup hatinya untuk lelaki lain karena lukanya terlalu dalam? Bukankah itu tidak baik?”

“Mana lebih baik? Memberinya kejujuran menyakitkan atau membahagiakannya dengan kebohongan terus-menerus?”

Azhar terdiam. Setelah mengerjap beberapa kali dia bersuara. “Ya, semakin cepat kau memutuskannya itu semakin baik.”

“Nah, itu dia, akhirnya kau paham.”
“Apa Ranti adalah cinta pertamamu?”

Ranto melirik jamnya, dia masih punya beberapa menit. “Dulu aku pernah beberapa kali menyukai perempuan, tapi kepada Ranti lah aku mengutarakan perasaanku untuk pertama kalinya. Yah, aku memang telat mendapatkan cinta pertama. Tidak di masa SMA sepertimu. Ranti juga pernah bilang kalau aku adalah cinta pertamanya.”

“Hemm… cinta pertama itu tak mudah dilupakan.”

“Aku tahu,” tukas Ranto. “Tapi bukan berarti cinta pertama tak boleh dilepaskan, kan? Bila sudah tak cinta lagi, cinta maha pertama pun hilang istimewanya, Kawan.”

“Di mana kau melihatnya pertama kali?”

“Percaya atau tidak, aku mengalami apa yang mereka sebut love at the first sight…”

“Wow…”

Ranto tersenyum. “Kami bertemu pertama kali di panti asuhan, jurusanku dan Ranti mengadakan baksos. Saat perkenalan di hari pertama, aku langsung jatuh cinta dengannya. Aku mengutarakan perasaanku pada Ranti di hari terakhir kegiatan baksos, disaksikan ramai orang, teman-teman kami dan anak-anak panti asuhan itu.”

Ranto tersenyum sendiri mengingat bagaimana raut gembira di wajah bersemu merah Ranti hari itu, sangat menggemaskan.

‘Bersediakah kau jadi pacarku?’

Ranto masih ingat kalimatnya ketika meminta Ranti menjadi kekasihnya.

‘Ya…’

Hanya satu kata itu saja dari Ranti. Tapi Ranto dapat membaca banyak kata di matanya, dapat melihat luapan emosi yang menggelora di sana. Kata-kata tak perlu lagi. Ranto sudah membaca semua perasaan Ranti kepadanya hari itu lewat matanya.

“Kau sangat mencintainya hari itu, dan hari ini tak ada sedikit pun cinta yang tersisa untuknya?”

“Ya Tuhan, Har. Mengapa kita terus berputar-putar di situ-situ saja?”

Azhar menyeringai. “Aku hanya tak habis pikir. Koreksi ya kalau aku salah…” Azhar memutar kursi untuk merubah posisi duduk, sekarang tepat mengahadap Ranto. “Ranti cinta pertamamu. Kamu tidak tertarik dengan gadis lain. Dia juga belum pernah selingkuh. Yang aku perhatikan selama ini hubungan kalian baik-baik saja. Lalu Ranti, dia cantik. Tipe gadis yang mudah bikin orang jatuh cinta deh pokoknya. Terus dia lembut, sopan, tutur bahasanya menyejukkan…”

“Har, aku belum lupa semua poin lebih yang dimilikinya,” Ranto memotong kalimat Azhar.

“Nah itu dia. Aku heran, bagaimana caranya kau bisa tidak punya sedikit pun sisa cinta pada Ranti. Lain hal bila kau memang sedang tertarik dengan perempuan lain yang lebih segalanya dari Ranti.”

“Kau pernah berhadapan dengan keadaan seperti ini? Bayangkan kau punya satu ember air yang akan kau gunakan untuk menyiram satu pot bunga. Kau masih bisa menyiram bunga itu terus menerus selama air dalam embermu masih ada. Tapi begitu air dalam ember itu habis maka kau akan berhenti menyiramnya, kan?”

Azhar menggeleng, “Jika pot itu berisi bunga paling indah, aku akan mencari air sampai ke ujung dunia. Aku akan mengisi emberku lagi dan melanjutkan menyiram pot bunga itu sampai kapan pun. Selamanya kalau bisa.”

“Bukan kau yang sedang mengalaminya, Har.”

“Kau hanya bosan, Ran. Itulah masalahnya. Kau bosan dengan Ranti, kau jenuh.”

Jenuhkah aku?

Ranto mencari-cari jawaban dalam hatinya. Tak ada kata jenuh di sana. “Tidak, Har. Aku hanya tak punya cinta lagi buat Ranti. End story!

“Hemm… di mana kalian akan bertemu?”

“Taman Riyadhah.”

“Taman Jodoh.”

“Taman Cinta.”

“Kau akan mengakhiri hubungan percintaanmu di Taman Cinta? Ironi sekali.”

“Sebenarnya aku ingin mengajaknya bertemu di KafĂ©, tapi Ranti lebih dulu meneleponku dan mengajak bertemu di taman itu. Aku mengiyakan saja. Toh tempat tidak begitu penting.”

Good luck, Sobat! Kalau hatimu telah mantap, go ahead…” Azhar memutar kursinya kembali. Siap untuk melanjutkan lembar tugasnya yang tertunda.

Ranto memperhatikan sekali lagi pantulan dirinya di cermin.

“Hey, tapi aku masih penasaran…” Azhar kembali membuka suara, padahal sesaat tadi dia sudah menyerah. “Kalimat putus seperti apa sih yang akan kau ucapkan untuk Ranti?”

“Aku lebih suka kau penasaran sampai mampus,” kata Ranto semena-mena.

Azhar hanya menyengir. “Aku hanya ingin bilang, jangan lupa untuk mengatakan bahwa kau akan terus ada sebagai sahabatnya. Katakan juga bahwa dia masih bisa mengandalkanmu di masa-masa sulitnya.”

“Wow, Romeo… sepertinya kau sangat berpengalaman dalam hal memutuskan cewek,” sindir Ranto.

Azhar mengangkat bahu dan berbalik kembali ke layar komputernya. Dia tidak bersuara lagi. Sepertinya kali ini dia benar-benar menyerah.

Ranto mengambil kunci motor. Memasukkan ponselnya ke saku celana. Mengambil helm lalu berjalan ke pintu. “Aku pergi,” pamitnya pada Azhar yang dijawab dengan gumaman. Teman sekamarnya itu sudah kembali tenggelam dalam lembar tugasnya.

Ranto melihat arloji. Dia sudah terlambat beberapa menit dari waktu yang direncanakannya untuk berangkat agar tiba tepat jam lima di Taman Riyadhah. Sepertinya ini akan jadi kali pertama dia terlambat menepati janji. Ternyata niat untuk tak akan terlambat di hari terakhir menyandang predikat sebagai pacar Ranti tak bisa ditepatinya. Ini karena dia terlalu menurutkan Azhar yang banyak omong sehingga terlambat berangkat. Ah, tak apa, hanya sekali ini saja dia terlambat selama sejarah hubungan pacarannya dengan Ranti.

Ranto berkendara menuju Taman Riyadhah yang terletak di jalan masuk kota. Sepanjang perjalanan dia terus mengulang-ngulang kalimat yang sudah dipersiapkannya sejak di kos. Selama itu pula, dia membayangkan seperti apa reaksi Ranti ketika mendengarnya. Apakah gadis itu akan menerima kata putusnya dengan lapang dada dan tangan terbuka? Atau malah insiden hak tinggi seperti yang sempat dibayangkannya bersama Azhar di kos tadi yang menjadi bagiannya? Tidak, Ranti gadis baik. Dia pasti bisa mengerti.

Ranto memarkir motornya di luar taman, sama sekali tak mengira kalau Taman Riyadhah bisa sangat ramai sore  ini. Dia sudah terlambat selama enam menit, belum lama memang. Tapi untuk ukuran orang yang tak pernah terlambat, enam menit adalah waktu yang tidak sedikit.

Bergegas, Ranto masuk dan segera mencari-cari sosok Ranti. Sangat mudah menemukan gadis itu. Bahkan Ranto yakin akan langsung mengenali bila hanya melihat punggungnya saja dari kejauhan. Ranto berjalan menuju tempat duduk gadis yang masih berstatus pacarnya itu. Ketika jaraknya kian dekat, Ranto terpegun. Ranti tampak gelisah di tempat duduknya, kepalanya bergerak kesana kemari, mencari seseorang. Mencari sosok Ranto, kekasihnya yang belum datang menemuinya.

Dia mencariku. Dia gelisah menungguku yang belum datang padanya. Dia gelisah menunggu pacarnya yang belum pernah terlambat satu kali pun selama ini. Sekalinya aku terlambat, tentu saja itu akan menggelisahkannya.

Ranto meneruskan langkah. Dia semakin jelas melihat ekspresi Ranti yang cemas. Lalu dia melihat Ranti memencet-mencet tombol ponselnya. Ya Tuhan, gadis itu terlihat begitu sendiri, begitu bingung, begitu rentan, dan bagai kehilangan keyakinannya.

Akankah dia kehilangan tangan tempatnya berpegang jika aku tak lagi menjadi kekasihnya?

Ranto semakin dekat. Dia kini bisa melihat seluruh detil yang ada pada Ranti, dari puncak kepalanya hingga ujung kakinya. Termasuk gelang berbandul hati yang ada di lengan kiri gadis itu. Gelang pemberiannya masih setia melingkari lengan Ranti hingga detik ini.

Gelang itu masih setia. Dan orang yang pernah memberikannya akan mengucap pisah hari ini. Ironi sekali.

Ranto tegak berdiri di depan Ranti yang masih menunduk. Mendadak dia ragu dengan niatnya datang kemari, ragu dengan tekadnya untuk mengakhiri hubungannya dengan gadis di depannya ini.

“Ran,” panggil Ranto lirih.

Gadis itu mendongak. Mereka bertatapan.

Ranto tenggelam dalam mata jernih Ranti yang bagai sedang berkaca-kaca. Oh, tidak, mata itu memang sedang berkaca-kaca.

Lalu, semua kata yang telah dipersiapkan Ranto tercerai-berai. Tak bersisa satupun. Semua kata itu digantikan oleh satu kalimat yang menggema dalam hati dan pikirannya.

Aku masih mencintai gadis ini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar