Minggu, 17 September 2017

Dara dan Si Lelaki


love bus
Semesta berkonspirasi untuk mendekatkan mereka


Hari ini, sangat kebetulan, mereka duduk sebangku. Dara selalu menemukan laki-laki ini berada di angkot yang sama dengannya saat berangkat kuliah. Berkacamata, bercelana katun, dan kemeja lengan panjang terkancing sempurna hingga ke kerahnya. Sepatunya adalah pantofel tua, dan tas ranselnya yang berwarna hitam tanpa aksen apa-apa itu selalu kelihatan berat.

Penampilan laki-laki ini selalu begitu. Hanya warna celana katun dan kemeja lengan panjangnya saja yang berganti-ganti setiap hari. Gaya rambutnya pun sangat sederhana, belah tengah. Dapat dipastikan, sekali pandang saja orang-orang akan langsung menilainya sebagai laki-laki cupu, tak tahu mode, tak mengikuti tren, dan ketinggalan zaman. Bahkan pasti ada yang menilainya lebih parah.
         
“Kampungan…”

Dara menoleh pada dua gadis yang tampak saling berbisik sambil sesekali melirik ke arah tempat duduknya dan laki-laki berambut belah tengah yang sedari tadi terpekur pada bukunya itu. Tempat duduk mereka dengan dua gadis yang sepertinya mahasiswi ini saling bersisian. Dara dan si lelaki di satu sisi sementara dua gadis mahasiswi itu di sisi berseberangan. Dara tahu, yang menjadi bahan bisik-bisik kedua gadis itu bukanlah dirinya, tapi laki-laki yang sebangku dengannya.

Karena khawatir kalau si lelaki akan mendengar bisik-bisik mencemooh dua mahasiswi itu, Dara memaksakan diri untuk berdeham. Bermaksud mengirimkan isyarat kepada dua cewek mahasiswi di kursi sebelah. Sayangnya, dehaman itu ternyata tak membuat mereka paham. Padahal jarak mereka sangat dekat. Dengan jarak demikian dekat, bukan mustahil laki-laki yang mereka bicarakan dengan mimik merendahkan itu akan mendengar.

“Aku yakin dia anak udik yang baru tiba di kota…”

“Kuper pastinya…”

Bisik-bisik itu masih terus berlanjut. Sampai…

“Apa pribadi seseorang selalu dinilai berdasarkan cara mereka berpakaian?”

Dara terhenyak di kursinya, tepat di sebelah lelaki itu. Dia memang sudah menduga kalau si lelaki ikut mendengar omongan usil dua cewek di sebelah, tapi dia tidak menyangka laki-laki di sampingnya akan merespon secepat itu. Nada bass-nya terdengar sedap meski kalimatnya terkesan menikam.

Dua cewek di bangku berseberangan melongo menatap pada laki-laki yang sekarang sudah menutup bukunya dan melepas kacamatanya. Kini dia sedang memandang dengan tatapan teduh dan berkharisma, jauh dari kesan marah, pada dua cewek di bangku sebelah.

“Saya memang berasal dari kampong. Udik dan kuper. Tapi setidaknya saya lebih tahu sopan-santun ketimbang saudari berdua, yang tampaknya sangat menikmati ketika membicarakan orang lain yang dianggap aneh dengan cara yang begitu merendahkan. Saya berdoa semoga saudari berdua tidak dibicarakan orang dengan cara tidak baik di masa mendatang. Karena saya percaya… karma itu ada.”

Dua cewek di bangku sebelah semakin melongo, diam bagai ada yang menahan lidah mereka. Si laki-laki mengenakan kacamatanya kembali dan meneruskan membaca.

Di tempat duduknya, Dara tersenyum samar. Dia kagum pada kepintaran laki-laki di sampingnya dalam hal membungkam mulut orang yang kurang ajar. Tapi, dalam hati diam-diam Dara berterima kasih pada dua cewek di bangku sebelah. Hari ini, setelah sekian lama kerap satu angkot, karena ulah dua cewek itu, Dara akhirnya mendapat kesempatan mendengar suara lelaki ini untuk pertama kalinya. Dan dia menyukainya. Rasa kagum itu membuat rasa tertarik Dara semakin berkembang.
*
Pagi ini, Dara masuk ke angkot dan segera menyadari kalau hanya bangku di samping si laki-laki yang masih kosong. Ke sanalah dia membawa langkah dan menghempaskan bokongnya. Hari ini, mereka kembali sebangku untuk kedua kalinya.

Tak ada buku yang terbuka di pangkuan si lelaki hari ini. Dia hanya bersidekap lengan di dada dan memandang ke luar melalui jendela. Sampai angkot berhenti di halte dekat kampusnya dan dia turun, si lelaki masih memandang ke luar jendela.

Dalam perjalanan menuju gedung kuliahnya, Dara bertanya-tanya, apakah si lelaki menyadari keberadaannya selama ini? Apa lelaki itu sadar kalau mereka selalu satu angkot setiap hari? Apakah si lelaki tahu kalau tadi adalah kali kedua mereka duduk sebangku?
*
Besoknya mereka sebangku lagi, dan masih saling diam. Besoknya dan besoknya dan besoknya lagi terus sebangku dan masih juga saling diam. Semesta sepertinya tengah berkonspirasi untuk mendekatkan Dara dan si lelaki lewat tempat duduk angkot. Entah keanehan apa yang sedang terjadi, bangku di samping si laki-laki selalu saja kosong begitu Dara masuk angkot. Kadang hanya tinggal satu-satunya dan kadang tidak, namun meski bukan satu-satunya yang kosong, Dara akan tetap menuju bangku di samping si laki-laki.

Lama-lama, itu menjadi sebuah hal yang menciptakan gambaran bagi penumpang angkot itu yang seringnya selalu ditumpangi oleh orang-orang yang sama setiap hari. Bangku itu tidak boleh diduduki oleh orang selain mereka di jam pagi. Mereka, Dara dan si lelaki sederhana itu, adalah kawan sebangku.

Benar, sejauh ini mereka hanya kawan sebangku.

Dara tidak tahu kalau si lelaki sudah menyematkan cincin di jari seorang gadis di kampungnya. Dara tidak tahu kalau si lelaki sudah diikat janji pertunangan, Dara tidak tahu kalau perasaan yang dipendamnya pada si lelaki hanya sebatas perasaan selama mereka sebangku di dalam angkot, tidak bisa lebih lagi.

Hingga suatu hari, mata dan pikiran Dara terbuka. Langsung terbuka ketika mereka bicara untuk pertama kali. Dan sayangnya… itu juga menjadi percakapan terakhir mereka.

“Rasanya aneh ya… tidakkah kamu merasa begitu?” Si laki-laki membuka percakapan.

Dara mengangguk. “Aneh yang berterusan… Tapi aku senang mendapat teman sebangku yang sama tiap hari.”

Si lelaki mengangguk. “Kamu ambil ilmu apa?”

“Hukum.”

“Wah, hebat… dulu aku gagal.”

Mereka saling menatap, untuk pertama kali. “Kamu pernah ingin kuliah di jurusan yang sama?” tanya Dara.

Si lelaki mengangguk. “Nyatanya tidak berjodoh. Aku malah nyasar ke Biologi. Tapi aku mencintai pekerjaanku sekarang, jadi guru biologi asik juga.”

Dara mengangkat alis, “Kamu seorang guru?”

Si laki-laki mengangguk, “Apa aku kelihatan tidak meyakinkan sebagai seorang guru?”

Dara tertawa, “Aku kira kamu masih mahasiswa sepertiku.”

“Hei, bukankah aku tak pernah turun di halte yang sama denganmu? Sekolah tempatku mengajar ada di halte setelahnya.”

Dara tersenyum. “Ya ya ya… aku tahu kamu tak pernah turun di halte kampus. Hanya saja, kamu tampak terlalu muda untuk jadi guru.”

“Yah, aku langsung melamar jadi guru honor setelah kuliahku selesai. Aku tak ingin menggantung anak gadis orang terlalu lama. Ada mahar yang harus kutunaikan. Dan aku hanya bisa menunaikannya dengan bekerja.”

Dara merasa lidahnya kelu. Setelah sekian hari hatinya bahagia berada sebangku dengan si lelaki, kini dia harus menelan pahitnya kenyataan. Selamanya cinta dalam hatinya tak akan pernah tersampaikan. Dara salah. Kesalahannya karena telah lancang menyimpan cinta untuk calon suami orang.

Begitulah. Mata dan pikiran Dara terbuka. Kenyataan sudah terpampang, jelas dan tanpa ragu. Kini dia tahu, cincin di jari si lelaki yang selalu dilihatnya bukanlah sekedar cincin suasa penghias jari, tapi cincin tanda ikatan tak boleh diganggu. Bahkan sekedar menyimpan suka saja adalah dosa.

Itu adalah percakapan pertama dan terakhir Dara dengan si lelaki. Setelah hari itu, mereka tidak lagi sebangku. Dara memilih untuk berhenti menggunakan angkot itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar