Jumat, 15 September 2017

Loving, Suffering, and Happy Ending : Aries


break up
Ternyata cara kerja cinta itu begitu diam-diam dan senyap



“Ketika cintamu tidak mendapatkan tempat pada hati yang kamu pilih, itu bukan karena kamu pecundang, tak cukup baik atau tak cukup pantas. Hanya, cintamu butuh sebuah hati yang sedikit lebih luas, sedikit lebih besar dan sedikit lebih lapang untuk menampung cintamu yang besar. Kenapa? Karena kamu dan cintamu spesial…”

*

Akhirnya aku jatuh cinta juga.

Kupikir, aku akan melewati masa mudaku tanpa sempat merasakan jatuh cinta. Kupikir, aku akan langsung menikah dengan seorang wanita di saat aku sudah bisa disebut pria dewasa, menikah karena tuntutan usia. Meski saat itu mungkin aku akan jatuh cinta pada istriku, tapi saat itu tentu usiaku tidak semuda sekarang. Sejauh ini, aku melewati masa mudaku dengan pikiran semacam itu, bahwa aku tak akan pernah jatuh cinta lalu pacaran. Aku bahkan nyaris meyakininya.

Namun sekarang aku jatuh cinta. Aku. Jatuh. Cinta. Oh, Godthis can’t be real. Tapi aku benar-benar sedang jatuh cinta.

Aku mengenalnya pertama kali bukan secara tidak sengaja. Kebetulan berada begitu jauh dariku. Dia adik kelaku, aku lebih duluan dua tahun jadi mahasiswa di fakultas kami dibanding dia. Tapi, momen kedekatan kami kupikir bisa jadi adalah sebuah kebetulan kecil. Aku ingat hari itu dia sedang bergelut dengan tugasnya di perpust, tampak begitu depresi dan tidak bahagia. Dan ekspresi tidak bahagianya itulah yang membuatku tertarik memperhatikannya lama-lama. Dan tahukah, ternyata cara kerja cinta itu begitu diam-diam dan senyap. Ada yang berdesir di dadaku dalam masa yang singkat itu. Hatiku berujar heran, apa yang terjadi pada mataku selama ini hingga buta tak melihat kalau Zamera Libra itu ternyata menggemaskan? Jadi, kuletakkan buku di tanganku untuk kembali terjepit bersama buku-buku lainnya di rak perpustakaan.

Kupikir, dia siap merobek buku tugasnya ketika aku datang ke mejanya. Ketika kutawarkan bantuanku, dia tersenyum cerah. Melenyapkan semua rona tidak bahagia di dirinya. Anehnya, aku juga turut merasa seakan semua energi negatif meninggalkanku. Lalu, yang dilakukannya adalah, menyodorkan buku tugasnya padaku sambil berujar, ‘Kak Aries datang di saat yang tepat, aku hampir aja bunuh diri’. Dan yang kulakukan hanyalah, terpesona pada anak-anak rambut di sekitar wajahnya yang lepas dari kuncirannya.

Dan hanya dengan begitulah, aku jatuh cinta.
*

“Kapan harus dikumpulin?”

Libra memberiku cengirannya. Aku hapal sekali gelagatnya yang ini. Cengiran itu mewakili "secepatnya" atau "dalam minggu ini" atau "besok".

Okey, nanti malam kukerjain. Besok sebelum ke kelas, kamu ambil aja ke kelasku, bisa?” Libra mengangguk dan sekali lagi memberiku cengirannya.

Kadang, ingin saja aku meneriakkan padanya kalau aku suka dan sayang dia, kalau aku sudah jatuh cinta padanya. Tapi yang terjadi padaku pada saat yang "kadang-kadang" itu adalah, aku takut dia akan menolakku, atau memberiku jawaban yang lebih meyakitkan lagi semisal "Aku sudah menganggap Kak Aries bagai kakakku sendiri."

Aku tak ingin dia menolakku dengan jawaban apapun. Itu membuatku takut kehilangan perasaanku padanya. Kehilangan cinta yang sudah sempat kurasakan. Aku juga takut jika kunyatakan cintaku, selain menolakku, Libra juga akan menjauh. Membayangkan diriku kehilangan saat-saat kebersamaan kami, saat-saat aku mendapati diriku menyukai semua yang ada pada diri Libra, kehilangan semua detik yang kulewati dengannya, itu membuatku takut luar biasa. Jadi, "kadang-kadang" itu berlalu begitu saja. Aku tidak meneriakkan apapun padanya.

“Nanti pulang dengan siapa?”

Libra menyeruput habis es jeruknya hingga sedotannya mengeluarkan bunyi ribut. Ini juga adalah kebiasaannya sebelum berlanjut ke kebiasaan lainnya: membersihkan mulutnya langsung dengan punggung tangannya meski di atas meja jelas-jelas menggeletak kotak serbet. “Sama Gemini, Kak,” jawabnya.

Gemini adalah sahabat karibnya. Sangat karib sampai aku sempat mengira mereka adalah saudara kembar tidak identik. “Oh. Bagaimana kabarnya dia?”

Libra mengangkat bahunya, “Kupikir Gemini butuh suasana baru, kemarin aku baru aja nyaranin dia pindah kosan.”

“Pindah kosan? Kenapa sampai harus begitu?”

Libra tersenyum penuh misteri. “Hanya masalah perasaan.”

Aku mengernyit. Libra bilang, "hanya"? Tidakkah dia setuju kalau "perasaan" bukanlah masalah yang bisa dikategorikan "hanya"?

Libra sejenak menerawang. Angin yang berembus dari fan di langit-langit kantin kembali mengusik anak-anak rambut di sekeliling wajahnya. Aku mati-matian menahan hasrat agar tidak mengulurkan tanganku lalu menyentuh helai-helai itu dan menyelipkannya di belakang telinganya. Gigiku sampai bergemelutukan karenanya.

“Kak Aries pernah mengalami, menyukai seseorang dengan begitu dalamnya tapi tak bisa mengutarakan pada orang tersebut bahwa Kak Aries suka?”

Di kursiku, seluruh anggota dan indraku berubah kaku demi mendengar pertanyaan Libra.

“Nah, kira-kira begitulah yang saat ini dialami Gemini. Yang lebih parahnya, kesempatan buat Gemini untuk bersama dengan orang yang dia sukai itu nyaris nol besar. Malah kupikir tak ada peluang sama sekali…”

Aku menyukaimu, Libra… apakah kesempatanku untuk bersamamu juga nol besar? Apakah peluangku dapat bersatu denganmu adalah tak ada sama sekali?

“Beberapa hari ini, aku di kosan Gemini sampe larut malam. Dia butuh seseorang untuk mengawaninya melewati fase patah hatinya. Dan di sini dia hanya punya aku untuk menemaninya. Kasihan dia lho, Kak…”

Aku berdeham, “Gemini naksir suami orang?”

Sejenak Libra tertegun, lalu tertawa renyah dan memukul lenganku. “Enggak, bukan. Amit-amit...”

“Terus? Suka sama suami kakak perempuannya? Kok peluang mereka bisa bersatu bisa sampe nol besar gitu?”

Libra tertawa makin keras. Ini juga adalah kebiasaannya dalam menanggapi leluconku, tak pernah tidak tertawa, meski kadang leluconku cukup garing dan biasa bagi orang lain. Kupikir, itu adalah cara Libra menghargaiku usahaku melucu. Jadi, kini dia tertawa meski menurutku candaanku kali ini sama garingnya dengan candaanku yang sudah-sudah. Lalu dia meneruskan kebiasaannya: memukul lengan atau lututku atau kadang menusuk dadaku dengan telunjuknya. Seperti sekarang.

“Gemini gak punya kakak ipar.”

“Lantas, dia mendam perasaan buat siapa sampai gak ada peluang sama sekali buat bisa bersatu?” tanyaku ingin tahu.

“Rahasia.”

Okey, kalau gitu jawaban tugasmu juga bakal rahasia semua.”

“Yah, Kak Aries kok gitu,” rengeknya manja.

Ini juga salah satu kebiasaannya yang kusuka. Kadang aku sengaja menggodanya dengan menolak membantunya mengerjakan tugas kuliahnya pakai bermacam alasan: ngantar nyokap ke arisan seminggu penuh, bentrok jadwal fitness, adikku minta dikawani nonton ke xxi, atau tugas sendiri sedang menumpuk. Dan Libra dengan manjanya akan merengek-rengek padaku untuk tetap dibantuin, sedang aku menikmati caranya merengek padaku.

“Kak Aries, Pleaseplease…” Sekarang Libra mencondongkan badannya ke arahku, menumpukan lengan kirinya di meja sementara tangan kanannya menggoyang-goyangkan bisepku. Wajahnya menampilkan ekpsresi ter-memelas sedunia yang entah dipelajarinya dari mana. Ini adalah salah satu momen yang paling kunikmati. Aku merasa jadi hero buat Libra saat aku mengiyakan rengekannya.

Aku tersenyum. “Iya iya… kan tadi udah kubilang buat ngambil ke kelas besok.”

Libra tertawa senang. “Makasih, Kak.”

Anytime…,” kataku.

Apapun akan kulakukan demi menyenangkanmu, Libra… apapun.

“Aku balik kelas lagi ya, Kak. Pak Dharma tidak pernah menolerir keterlambatan sesingkat apapun.”

“Oke, sampai ketemu besok.”

Libra mengangguk.

Gadis itu menyandang tasnya, tersenyum singkat padaku lalu berbalik pergi. Kumanfaatkan tempo yang singkat sebelum sosoknya hilang itu dengan memandangi gerakan kunciran rambutnya yang selaras dengan langkah kakinya. Lalu sebuah kesadaran mutlak mencuat dalam hatiku. Aku sadar, aku pasti tak bisa hidup tanpa memandang kunciran itu.
*

Libra meneleponku pagi-pagi buta. Katanya, dia akan membantu karibnya pindah kosan. Nyawaku belum terkumpul semua saat dia menyebut nama Gemini. “Siapa Gemini?” tanyaku setengah tidur sambil menendangi selimut.

“Ya ampun, Kak…” Di ujung sana Libra terdengar putus asa. “Itu Gemini, temanku, masa gak ingat sih!”

“Oh… iya. Gemini yang menyukai seseorang dengan peluang dapat bersatu nol besar, aku ingat sekarang.”

“Kebangetan,” kata Libra tidak senang.

Ingatanku tertuju pada Gemini, cewek enerjik yang selama ini selalu tampak ceria setiap kali kami bertemu. Kata Libra dia baru patah hati dan baru keluar dari rumah sakit. Kasihan, cinta bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Pertanyaannya, apakah nasibku akan sama dengan Gemini jika peluangku bersatu dengan Libra juga nol besar?

“Kak Aries,” panggil Libra.

“Ya?”

“Bantuin Gemini pindahan, mau ya?”

Aku mengucek mata, “Kamu ikut?”

“Tentu saja.”

Aku bangkit berdiri dan duduk di tepi ranjang. “Aku mandi dulu.”

“Oke.”

“Bentar lagi kujemput di rumah…”

“Nah, itu oke banget.”

Tawa Libra di ujung obrolan menghangatkan pagiku. Aku turun ke lantai bawah, menemui mamaku dan memberitahukan padanya kalau aku tak bisa mengantarkannya belanja bulanan karena ada tugas kelompok mendadak. Tapi adikku malah meledekku, katanya, aku tidak benar-benar ada tugas kelompok, tapi punya kencan dengan pacarku. Pertimbangan adikku karena ini hari minggu. Kalau saja Libra sudah resmi jadi pacarku, kurasa adikku sedang berkata jujur. Tapi, Libra bukan pacarku.
*

Kata Libra, Gemini sudah siap menyongsong hari baru di tempat baru. Tapi yang kutemukan di teras kosan itu adalah, sesosok hantu. Gemini persis orang yang kehilangan motivasi untuk hidup. Entah karena dia baru saja sakit, entah karena perasaan tak berbalas atau mustahil terbalas yang dipendamnya terhadap entah siapa, telah mengikis semua semangat hidupnya hingga tak bersisa. Aku kasihan melihat cewek malang itu. Sejenak kemudian, aku malah mengkhawatirkan diriku sendiri. Apa aku akan jadi seperti Gemini suatu saat nanti ketika Libra tidak bisa menerima perasaanku padanya?

“Ada lagi yang mau dibawa, Gem?”

Gemini menolehku sejenak lalu menggelengkan kepalanya. “Gak ada, Kak. Itu yang terakhir,” jawabnya lesu. "Makasih sudah bantuin."

Kupikir, gadis ini tidak sepenuh hati ingin pindah kos. Bagai ada sebagian kecil dirinya yang masih ingin berada di tempat ini. Tapi dia tentu punya pertimbangan sendiri, dan aku tak punya hak mempertanyakannya. Kususul Libra―gadis yang berhak penuh atasku meski aku belum jadi siapa-siapanya dan dia belum jadi siapa-siapaku selain cinta diamku―yang sudah lebih dulu menuju mobilku dengan jinjingan berisi entah apa milik Gemini.
*

“Kalau misalnya aku ingin jadi lebih sekedar teman buat Libra, apa pendapat Libra?”

Sudah kuputuskan. Aku tak ingin jadi seperti Gemini. Aku tak siap. Tak akan pernah siap. Aku tak sanggup jadi seperti Gemini. Tak akan pernah sanggup. Kata Libra, Gemini memendam perasaannya sekian lama, sekian lama. Dan apa yang terjadi padanya setelah sekian lama menyimpan perasaan? Dia berubah jadi mayat hidup. Bagaimana jika dia memendam perasaannya lebih lama lagi? Kupikir, dia akan kehilangan jiwanya.

Maka aku tak ingin memendam perasaanku kepada Libra lebih lama lagi. Aku tak ingin kehilangan jiwa ketika cintaku ternyata tak berbalas. Jadi sebelum aku dan perasaanku berjalan terlalu jauh lagi, sebelum cintaku berlangsung lebih lama lagi, aku patut mengutarakannya. Jika pun Libra menolak, kupikir aku tak akan jadi serapuh Gemini yang sudah memendam perasaan terlalu lama. Namun nyatanya, aku keliru…

Libra menatapku dengan mimik yang sukar kuartikan. Untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, aku merasa seperti tak pernah mengenalnya. Libra berubah asing dan tak terkenali dengan raut wajahnya itu. Kurasakan keringat bergulir di punggungku, luruh mengikuti lekuk tulang belakangku. AC mobilku mendadak tak dingin lagi. Diam Libra merubah susunan udara, mengacak-acak detik waktu dan mengacaukan segala dimensiku. Dan gelengannya serasa bagai tangan gaib yang merobek rongga dada dan meremas hancur hatiku hingga jadi abu. Kurasakan cahaya di dalam diriku menjauh sebelum akhirnya padam dan menyisakan gelap belaka.

“Aku gak bisa, Kak… maaf. Aku gak bisa.”

Hanya itu saja. Hanya begitu saja. Ternyata aku keliru. Kupikir aku akan baik-baik saja dan tak akan berubah jadi Gemini. Kenyataannya, aku tepat menjadi seperti Gemini, bahkan mungkin lebih parah.

Libra memalingkan wajahnya. Apakah terlalu sakit baginya melihat tatapanku yang hilang binar? Atau dia merasa bersalah telah memadamkan api yang sebelumnya masih menyala di hatiku? Memadamkan hingga padam, tanpa menyisakan sedikit pun bara hangat.

Gemini, kini aku tahu seperti apa patah hati yang kamu rasakan.

Aku jatuh cinta, tadinya. Kini… aku patah hati.

Libra menurunkan kaca mobil, menjengukkan kepalanya keluar. “Gemini…!!! Cepatlah…! Kami tidak bisa menunggumu selamanya!” 

Di samping Libra, di balik kemudi, aku ingin menukar semua yang kumiliki demi bisa mengundur masa ke beberapa menit yang lalu. Akan kuperbaiki kesalahanku dengan tak pernah mengungkapkan perasaanku pada Libra. Hanya supaya aku tidak pernah tahu betapa perihnya penolakan.
*

So they say that time, takes away the pain but I’m still the same…

Heartache yang dilagukan One OK Rock mengalun sama pilu dengan judulnya dari music playerku, menemaniku bergeletakan di kasur. Kata adikku saat membangunkanku tadi pagi, kamarku mulai beraroma tak sedap akhir-akhir ini. Tadinya aku ingin mengatakan padanya kalau aroma tak sedap itu disebabkan karena kakaknya jarang mandi akhir-akhir ini. Tapi kupikir sebab utamanya bukan itu, tetapi patah hati. Bau tak sedap ini adalah aroma patah hati.

Kalau saja kutahu patah hati bisa sesakit ini, tidak aku membiarkan diriku jatuh pada cinta ketika anak-anak rambut Libra memesonaku di perpustakaan suatu waktu dulu. Kalau saja kutahu…

Pintu kamarku terbuka, sosok Leo muncul di pintu. “Kabarnya ada bangkai mati di kamarmu.”

Bangkai mati katanya? Keparat betul. Bangkai saja sudah predikat yang sangat busuk, dan playboy tengik ini malah berani bilang bangkai mati? Pasti dia belum pernah jadi pihak yang ditolak.

“Enyahlah…,” sahutku sambil kubenamkan wajahku ke bantal. Kakak sepupuku itu pasti sudah lebih dulu bicara dengan adikku di lantai bawah. Lalu lagu One OK Rock berhenti. Aku mendongakkan kepalaku, Leo Faturrahman sialan sok kecakepan itu baru saja mencabut wayer music playerku. “Aku sedang gak ingin bicara tentang apapun,” kataku lalu kembali kubenamkan kepalaku ke bantal.
Ranjangku berdecit. Sepupuku itu pasti sudah duduk di tepi tempat tidurku.

“Sekalinya jatuh cinta malah berujung patah hati, ck…ck…ck… kasian.”

“Pergi saja!”

“Aku jarang-jarang datang ke sini, sekalinya aku datang malah diusir? Yang benar saja, Bro!" protesnya. "Patah hati boleh, tapi jangan memusuhi seluruh dunia dong,” katanya dengan nada menyebalkan.

“Bukan urusanmu.” Pertanyaannya, darimana dia bisa menyimpulkan kalau aku sedang patah hati? Jangan bilang dari aroma kamarku.

“Hei, Dik… mau kuberi nasihat?”

“Urusi saja urusanmu dirimu sendiri!” Aku sangsi kakak sepupuku itu mau mendengarku.

“Ketika cintamu tidak mendapatkan tempat pada hati yang kamu pilih, itu bukan karena kamu pecundang, tak cukup baik atau tak cukup pantas. Hanya, cintamu butuh sebuah hati yang sedikit lebih luas, sedikit lebih besar dan sedikit lebih lapang untuk menampung cintamu yang besar. Kenapa? Karena kamu dan cintamu spesial…”

Aku terdiam. Rasanya aneh sekali mendengar Leo ngomong begitu. Kukira dia hanya mahir membuat cewek-cewek terpesona dengan ketampanannya, dan pengaruhnya sebagai sahabat dari seorang aktor. Nyatanya dia bisa bijak juga.

“Suatu saat nanti, kamu akan tahu ketika kamu berjumpa dengan pemilik hati luas itu. Semua hanya masalah waktu.”

Aku masih mendiamkan diri, tapi kalimat-kalimat Leo masuk sepenuhnya ke kepalaku.

Ranjang berdecit lagi. “Jangan lupa datang ke resepsi pernikahanku, undangannya sudah kukasih sama Bibi.”

Apa, dia akan menikah. Apa yang aku lewatkan? Hemm... pantas saja omongannya jadi bijak, rupanya dia sudah insaf jadi playboy. Aku mendongak dari bantal, sosok sepupuku sudah di pintu. “Hey…!” Dia berbalik. “Apa kamu pernah patah hati?”

Sejenak dia diam bagai menerawang lalu menggeleng.

“Tentu saja kamu gak pernah. Kamu, kan, playboy, membuat orang patah hati adalah keahlianmu," kataku sinis. "Kalau kamu gak pernah merasakan patah hati, maka jangan pernah menasehati orang lain tentang patah hati dengan omong kosong apapun. Kamu tidak tahu apapun tentang patah hati!”

Sejenak Leo tertegun. “Maaf, aku memang gak paham.” Ada jeda. “Mungkin karena itu aku malah membuat orang lain patah hati, dulu...”

“Kamu bajingan,” umpatku. "Aku jadi berpikir, kalau aku ini hanya korban hukum karma dari bakatmu yang suka bikin cewek-cewek patah hati. Sepupuku suka matahin perasaan orang, dan sekarang aku yang ngerasain karmanya. Sempurna sekali. Jangan harap aku mau datang ke nikahanmu," pungkasku lalu kembali kubenamkan kepalaku ke bantal. 

Tak kudengar lagi suara Leo. Pasti dia sudah pergi. Anehnya, kalimat-kalimat mantan playboy itu masih saja terngiang dalam kepalaku. Seperti kalimat-kalimat itu terjebak di dinding-dinding kamarku.

Note :
Loving, Suffering, and Happy Ending berlanjut ke sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar